Minggu, 08 Desember 2024

GEN-AI DALAM PENELITIAN: ETIKA ATAU EFISIENSI?


Generative AI mengubah cara peneliti bekerja, tetapi di balik kemudahannya, ada batasan etika yang menjadi bom waktu. Bagaimana jika artikel ditolak karena deteksi AI?

Beberapa hari lalu, saat Anne Gregory, Professor of Corporate Communication  Huddersfield University, sharing tentang penulisan jurnal di Research Center LSPR of Communications & Business Institute, saya sempat menanyakan soal penggunaan Generative Artificial Intelligence (GenAI) dalam penulisan di jurnal. Jawaban Anne, tergantung pada jurnalnya. Maksudnya ada jurnal yang menuntut tidak ada sama sekali penggunaan AI dalam penulisan, ada juga yang membolehkan.

Dalam konteks memboleh ini, Anne Gregory mengatakan bahwa ada kebutuhan untuk mengumukan bahwa penelitian dan penulisannya laporan yang dikirim ke jurnal itui menggunakan bantuan AI.

Dalam diskusi di komunitas peminat ilmu perilaku konsumen beberapa bulan lalu, saya juga sempat menanyakan hal setrupa kepada Prof. Fandy Tjiptono. Saat itu, komunitas tersdebut mendiskusikan soal toipik-topik terkini dalam penelitian perilaku konsumen. Jawaban Prof Fandy juga seperti yang disampaikan Anne Gregory.

Pengalaman saya dan teman-teman saat mengirimkan artikel untuk sebuah jurnal, artikel kami ditolak karena penggunaan AI (deteksi Turnitin) melebihi 25 %. Kami disarankan untuk menurunkan besaran penggunaan Ainya lebih lebih rendah 25%.

Yang saya alami dengan penolakan artikel karena deteksi AI yang tinggi menunjukkan salah satu tantangan nyata dalam penggunaan teknologi AI, termasuk dalam konteks penelitian kualitatif. Hal ini mencerminkan pentingnya memahami batasan dan ekspektasi yang diterapkan oleh institusi akademik dan penerbit jurnal terkait dengan etika penggunaan AI.

Kendala semacam ini tidak hanya menyoroti perlunya penyesuaian penggunaan GenAI untuk memenuhi standar akademik, tetapi juga menekankan urgensi untuk mengeksplorasi dan mengembangkan praktik yang etis dan transparan.

Namun, harus diakui potensi GenAI dalam mendukung berbagai aspek penelitian kualitatif tetap signifikan jika diterapkan secara bijaksana dan bertanggung jawab.

GenAI menawarkan peluang besar dalam meningkatkan kualitas penelitian kualitatif dengan berfungsi sebagai co-author, platform percakapan, pendidik, dan asisten peneliti. Namun, penerapan GenAI memunculkan tantangan etika yang harus diperhatikan, seperti privasi data, transparansi, serta keadilan dalam proses penelitian.

Dalam konteks ini, etika menjadi landasan penting untuk memastikan penggunaan GenAI dilakukan secara bertanggung jawab dan sesuai dengan prinsip-prinsip moral, terutama dalam melindungi kerahasiaan data, memperoleh persetujuan partisipan, dan menghindari potensi bahaya bagi subjek penelitian (Vianello et al., 2023).

Penggunaan GenAI dalam penelitian kualitatif memerlukan kejelasan dan keterbukaan, termasuk pengungkapan bahwa hasil penelitian sebagian dihasilkan dengan bantuan alat ini. Selain itu, penting untuk mempertimbangkan bias bawaan dalam data pelatihan GenAI, yang dapat memengaruhi hasil analisis.

Bias ini, seperti yang dijelaskan oleh Anis & French (2023), dapat menyebabkan hasil yang tidak akurat atau tidak adil jika tidak ditangani dengan baik. Oleh karena itu, transparansi dalam penggunaan GenAI dan pengakuan keterbatasannya menjadi aspek penting dalam menjaga validitas dan reliabilitas penelitian.

Di sisi lain, Elali & Rachid (2023) menunjukkan bahwa GenAI dapat digunakan untuk fabrikasi dan plagiarisme dalam publikasi ilmiah, yang mengancam integritas penelitian. Mereka mengusulkan peningkatan proses tinjauan sejawat yang lebih transparan dan pengembangan pedoman etika untuk mengatasi tantangan ini.

Sementara itu, Marshall & Naff (2023) menyoroti bahwa meskipun GenAI dapat memperkenalkan metode baru dalam pengumpulan dan analisis data, penggunaannya juga membawa risiko etika yang besar.

Dalam penggunaan GenAI, kontrol interpretasi tetap berada di tangan peneliti manusia. Peneliti harus tetap menjaga nilai dan asumsi mereka dalam proses interpretasi untuk memastikan hasil yang bermakna dan etis.

Dalam banyak kasus, alat ini berfungsi untuk meningkatkan kemampuan peneliti, bukan untuk menggantikannya. GenAI harus dipandang sebagai instrumen yang mendukung, bukan sebagai entitas otonom dalam penelitian kualitatif.

REFERENSI

Anis, S., & French, J. A. (2023). Efficient, explicatory, and equitable: Why qualitative researchers should embrace AI, but cautiously. Business & Society, 62(6), 1139–1144. https://doi.org/10.1177/00076503231163286

Elali, F. R., & Rachid, L. N. (2023). AI-generated research paper fabrication and plagiarism in the scientific community. Patterns, 4(3), 1–4. https://doi.org/10.1016/j.patter.2023.100706

Marshall, D. T., & Naff, D. B. (2023). The ethics of using artificial intelligence in qualitative research. https://doi.org/10.31235/osf.io/3rnbh

Vianello, A., Laine, S., & Tuomi, E. (2023). Improving trustworthiness of AI solutions: A qualitative approach to support ethically grounded AI design. International Journal of Human-Computer Interaction, 39(1), 1405–1422. https://doi.org/10.1080/10447318.2022.2095478

 

 

Minggu, 25 Februari 2024

GOOGLE SCHOLAR’S RANKING ALGORITHM

 


Dalam lanskap akademik yang semakin digital, Google Scholar muncul sebagai penjaga gerbang yang penting untuk penyebaran penelitian ilmiah. Dengan mengadopsi algoritma peringkat yang canggih, Google Scholar tidak hanya menentukan artikel mana yang muncul di permukaan tetapi juga bagaimana penemuan ilmiah dibagikan dan diterima oleh komunitas global.

Melalui kaca pembesar algoritma ini, artikel dengan relevansi tinggi, jumlah sitasi yang substansial, dan pengakuan akademik mendapatkan sorotan, memberikan dorongan bagi peneliti untuk tidak hanya menghasilkan karya berkualitas tetapi juga untuk memahami dinamika di balik visibilitas digital mereka. 

Ini bukan hanya tentang menciptakan penelitian yang menarik tetapi juga tentang memanfaatkan teknologi untuk memastikan bahwa penelitian tersebut menjangkau audiens yang tepat.

Namun, muncul pertanyaan kritis: apakah upaya untuk memaksimalkan peringkat dalam mesin pencari akademik ini mendorong inovasi atau hanya mendorong penyesuaian strategis yang mungkin mengaburkan esensi sejati dari penemuan ilmiah? Di sinilah perdebatan tentang Academic Search Engine Optimization (ASEO) menjadi relevan, memicu diskusi tentang keseimbangan antara optimasi dan integritas akademik.

Apa Itu Google Scholar’s Ranking Algorithm

Dalam era digital saat ini, keberadaan dan aksesibilitas artikel ilmiah di dunia maya menjadi kunci untuk menjangkau audiens yang lebih luas dan memaksimalkan dampak penelitian. Algoritma peringkat Google Scholar berperan vital dalam proses ini, menentukan bagaimana dan seberapa mudah artikel dapat ditemukan oleh para peneliti dan akademisi yang mencari literatur terkait.

Memahami faktor-faktor yang mempengaruhi algoritma ini—mulai dari relevansi, jumlah sitasi, hingga nama penulis dan publikasi—bukan hanya strategi untuk meningkatkan visibilitas karya ilmiah, tetapi juga sarana untuk mengoptimalkan kontribusi penelitian terhadap komunitas ilmiah global.

Algoritma peringkat Google Scholar adalah sistem yang digunakan oleh Google Scholar untuk menentukan urutan dan relevansi artikel ilmiah dalam hasil pencarian, berdasarkan faktor-faktor seperti relevansi teks, jumlah sitasi, kebaruan, dan otoritas penulis atau publikasi.

Dengan menelisik lebih dalam ke dalam mekanisme Google Scholar, peneliti dapat mengarahkan upaya mereka agar sesuai dengan kriteria-kriteria yang dihargai oleh mesin pencari akademik ini, membuka peluang lebih besar bagi penemuan dan dialog ilmiah yang berkelanjutan.

Algoritma peringkat Google Scholar menggabungkan beberapa faktor menjadi satu formula peringkat. Faktor-faktor utama yang mempengaruhi peringkat suatu dokumen adalah relevansi, jumlah sitasi, nama penulis, dan nama publikasi.

Google Scholar sangat memfokuskan pada judul dokumen. Dokumen yang mengandung istilah pencarian dalam judulnya cenderung ditempatkan di posisi teratas dalam daftar hasil pencarian. 

Google Scholar juga tampaknya mempertimbangkan panjang judul: dalam pencarian untuk istilah 'SEO', dokumen dengan judul 'SEO: An Overview' akan diberi peringkat lebih tinggi daripada dokumen dengan judul 'Search Engine Optimization (SEO): A Literature Survey of the Current State of the Art'.

Meskipun Google Scholar mengindeks seluruh dokumen, jumlah total istilah pencarian dalam dokumen memiliki sedikit atau tidak ada pengaruh pada peringkatnya. Jumlah sitasi memainkan peran penting dalam algoritma peringkat Google Scholar.

Secara rata-rata, artikel di posisi teratas memiliki jumlah sitasi yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan artikel di posisi terendah. Hal ini berarti, untuk mendapatkan peringkat yang baik di Google Scholar, banyak sitasi sangat penting. Google Scholar tampaknya tidak membedakan antara sitasi mandiri dan sitasi dari pihak ketiga.

Jika kueri pencarian mencakup nama penulis atau nama publikasi, dokumen yang memuat salah satunya kemungkinan akan diberi peringkat tinggi. Misalnya, sebagian besar dari 100 hasil teratas pencarian untuk 'arteriosclerosis and thrombosis cure' adalah artikel tentang berbagai topik medis dari jurnal Arteriosclerosis, Thrombosis, and Vascular Biology, banyak di antaranya tidak menyertakan istilah pencarian baik dalam judul maupun teks penuhnya. Selain itu, pencarian standar Google Scholar tidak mempertimbangkan tanggal publikasi artikel.

Namun, Google Scholar menawarkan fungsi pencarian khusus untuk 'artikel terbaru', yang membatasi hasil pada artikel yang diterbitkan dalam lima tahun terakhir. Google Scholar juga mengklaim mempertimbangkan reputasi publikasi dan penulis, namun tidak ada data yang cukup untuk meneliti pengaruh faktor-faktor ini, sehingga tidak dibahas dalam konteks ini.

Google Scholar dijelaskan sebagai 'mesin pencari berbasis undangan': hanya artikel dari sumber terpercaya dan artikel yang 'diundang' (disitasi) oleh artikel yang sudah terindeks yang dimasukkan ke dalam database. 'Sumber terpercaya', dalam hal ini, adalah penerbit yang bekerja sama langsung dengan Google Scholar, serta penerbit dan webmaster yang telah meminta Google Scholar untuk merayapi database dan situs web mereka.

Setelah artikel dimasukkan ke dalam database Google Scholar, Google Scholar mencari file PDF yang sesuai di web, bahkan jika penerbit terpercaya sudah menyediakan teks lengkap. Tidak ada bedanya di situs mana PDF dipublikasikan; misalnya, Google Scholar telah mengindeks file PDF artikel dari situs penerbit, situs universitas, halaman rumah pribadi, dan SciPlore.org. PDF yang ditemukan di web ditautkan langsung di halaman hasil Google Scholar, selain tautan ke teks lengkap penerbit.

Jika ada beberapa file PDF dari sebuah artikel, Google Scholar mengelompokkannya untuk meningkatkan peringkat artikel. Misalnya, jika versi prapublikasi dari sebuah artikel tersedia di halaman web penulis dan versi final tersedia di situs penerbit, Google mengindeks keduanya sebagai satu versi. Jika kedua versi berisi kata-kata yang berbeda, Google Scholar mengasosiasikan semua kata yang terkandung dengan artikel tersebut​​.

BAHAN DISKUSI

Optimasi mesin pencari akademik (ASEO) sering kali menimbulkan perdebatan dalam lingkup akademis. Beberapa menganggapnya sebagai strategi untuk memperluas jangkauan dan keterbacaan penelitian, sementara lainnya melihatnya sebagai potensi ancaman terhadap integritas ilmiah.

Kritik utama terhadap ASEO berasal dari kekhawatiran bahwa praktik ini mendorong penulis untuk menyesuaikan karya ilmiah mereka berdasarkan algoritma mesin pencari daripada berfokus pada kualitas dan dampak teknis penelitian itu sendiri.

Sikap skeptis terhadap ASEO mencerminkan ketegangan antara kebutuhan untuk meningkatkan visibilitas penelitian dan risiko manipulasi sistematis yang dapat merusak kepercayaan pada proses penelitian ilmiah.

Meskipun penolakan terhadap ASEO mungkin didorong oleh keinginan untuk menjaga standar akademik, ada juga argumen bahwa mengabaikan praktik SEO dalam konteks akademik dapat membatasi penyebaran pengetahuan.

Dalam era digital saat ini, di mana akses informasi sangat didominasi oleh mesin pencari, mengoptimalkan karya ilmiah untuk pencarian akademik bisa menjadi langkah penting untuk memastikan penelitian dapat diakses oleh audiens yang lebih luas.

Namun, tantangan utama adalah menemukan keseimbangan antara optimisasi dan integritas akademik. Bagaimana masyarakat akademik dapat memastikan bahwa peneliti tetap memprioritaskan kualitas dan orisinalitas penelitian sambil juga memanfaatkan alat digital untuk meningkatkan visibilitas karya mereka? 

Solusinya terletak pada pengembangan pedoman ASEO yang tidak hanya fokus pada teknik optimasi, tetapi juga pada penguatan standar etika dalam publikasi ilmiah.

Selain itu, mesin pencari akademik perlu terus menyempurnakan algoritma mereka untuk membedakan antara optimasi yang sah dan manipulasi yang tidak etis. Dengan demikian, akan tercipta lingkungan di mana penelitian berkualitas tinggi secara alami mendapatkan peringkat dan visibilitas yang layak tanpa perlu berlebihan mengandalkan taktik SEO.

Dalam konteks ini, dialog terbuka dan kolaborasi antara komunitas akademik dan pengembang mesin pencari akademik menjadi kunci. Dengan memahami kebutuhan dan batasan masing-masing pihak, mungkin untuk merumuskan praktik ASEO yang mendukung diseminasi pengetahuan tanpa mengorbankan integritas ilmiah.

ACADEMIC SEARCH ENGINE OPTIMIZATION

Di dunia akademik, kepentingan utama seseorang menulis artikel adalah dibaca dan dipelajari orang lain. Namun demiian, seperti yang digagas dalam perilaku (konsumen), sebelum dibaca orang harus mengetahui bahwa artikel itu ada. Pertanyaannya, bagaimana supaya orang tahu bahwa artikel itu ada?




Di digital, ada konsep optimasi mesin pencari akademik (Academic Search Engine Optimization - ASEO), yang bertujuan untuk mengoptimalkan literatur ilmiah agar lebih mudah diindeks dan ditemukan oleh mesin pencari akademik seperti Google Scholar.

Dibandingkan dengan optimasi mesin pencari (Search Engine Optimization - SEO) untuk halaman web, ASEO memiliki perbedaan signifikan, termasuk target mesin pencari yang berbeda (tidak ada pemimpin pasar tunggal seperti Google di dunia akademik). Tantangan dalam mendapatkan indeksasi (banyak literatur akademik tidak tersedia di web terbuka) salah astunya adalah keterbatasan dalam memodifikasi artikel yang sudah diterbitkan, dan fokus pada judul dan abstrak daripada teks penuh artikel.

Beberapa peneliti tertarik untuk memastikan bahwa artikel mereka terindeks oleh mesin pencari akademik seperti Google Scholar, IEEE Xplore, PubMed, dan SciPlore.org. Hal ini sangat meningkatkan kemampuan mereka untuk membuat artikel tersedia bagi komunitas akademik.

Tidak hanya penting bagi penulis untuk memastikan artikel mereka terindeks, tetapi juga penting untuk memperhatikan posisi artikel dalam daftar hasil pencarian. Seperti halnya hasil pencarian berperingkat lainnya, artikel yang ditampilkan di posisi teratas lebih mungkin dibaca.

Di dunia web, optimasi mesin pencari (SEO) untuk situs web merupakan prosedur yang umum. SEO melibatkan penciptaan atau modifikasi situs web sedemikian rupa sehingga memudahkan mesin pencari untuk merayapi dan mengindeks kontennya.

Komunitas besar yang membahas tren terbaru dalam SEO dan memberikan saran untuk webmaster melalui forum, blog, dan newsgroup, telah berkembang pesat. Bahkan, artikel penelitian dan buku tentang SEO juga telah tersedia.

Ketika SEO pertama kali diperkenalkan, banyak yang menyatakan kekhawatiran bahwa praktik ini akan mendorong spam dan penyesuaian yang berlebihan, dan memang, spam mesin pencari menjadi masalah serius. Namun, saat ini, SEO telah menjadi prosedur yang umum dan diterima luas, dan secara keseluruhan, mesin pencari berhasil mengidentifikasi spam dengan cukup baik.

Argumen terkuat untuk SEO mungkin adalah fakta bahwa mesin pencari itu sendiri menerbitkan panduan tentang cara mengoptimalkan situs web untuk mesin pencari. Namun, informasi serupa tentang mengoptimalkan literatur akademik untuk mesin pencari akademik, sepengetahuan kami, belum ada.

Situasi ini menimbulkan tantangan khusus dalam dunia akademik, di mana visibilitas dan aksesibilitas penelitian dapat sangat berpengaruh pada penyebaran dan pengakuan karya ilmiah. Tanpa panduan yang jelas tentang cara mengoptimalkan literatur akademik untuk mesin pencari akademik, para peneliti dan akademisi mungkin tidak memanfaatkan sepenuhnya potensi mesin pencari akademik untuk meningkatkan jangkauan dan dampak penelitian mereka.

Oleh karena itu, pengembangan dan penyebaran praktik terbaik dalam optimasi mesin pencari akademik menjadi penting untuk memastikan bahwa karya ilmiah dapat dengan mudah ditemukan dan diakses oleh komunitas akademik dan peneliti di seluruh dunia.

ASEO tidak dimaksudkan sebagai cara untuk "menipu" mesin pencari akademik, melainkan sebagai upaya untuk membantu mesin pencari memahami konten karya ilmiah agar dapat membuatnya lebih mudah diakses dan tersebar luas.

Meskipun ada kemungkinan beberapa peneliti akan mencoba meningkatkan peringkat mereka dengan cara yang tidak sah, masalah serupa juga dihadapi dalam pencarian web reguler, dan mesin pencari akademik diharapkan dapat mengatasi spam dengan sukses seperti yang telah dilakukan mesin pencari web.

Dalam jangka panjang, ASEO dianggap akan memberikan manfaat bagi semua pihak: penulis, mesin pencari, dan pengguna mesin pencari.

RUJUKAN

Beel, J., Gipp, B., & Wilde, E. (2010). Academic Search Engine Optimization (ASEO). Journal of Scholarly Publishing, 41(2), 176–190. doi:10.3138/jsp.41.2.176

Jumat, 23 Februari 2024

CEMOOH

 


*CEMOOH*

Kevin Durant adalah pemain bola basket profesional Amerika. Dia diakui sebagai salah satu pemain terbaik di dunia. Lahir pada 29 September 1988, Durant memulai karir profesionalnya di NBA setelah dipilih sebagai pilihan kedua secara keseluruhan oleh Seattle SuperSonics pada NBA Draft 2007.

Melalui perjuangan yang panjang dan kesabaran, dia kemudian menjadi bagian penting dari Oklahoma City Thunder (yang merupakan relokasi dari Seattle SuperSonics), Golden State Warriors, dan terakhir Brooklyn Nets.

Durant dikenal karena kemampuan mencetak poinnya yang luar biasa, keefisienan di lapangan, dan tinggi badannya yang mencapai hampir 7 kaki, yang memberinya keuntungan dalam melakukan tembakan di atas pemain bertahan.

Beberapa hari lalu (22 Februari 2024) sesaat sebelum pertandingan Phoenix Suns melawan Dallas Mavericks, Durant mengalami kejadian yang kurang menyenangkan. Seorang penggemar wanita, mengenakan pakaian pendukung Dallas Mavericks, dan seorang penggemar lainnya, melontarkan umpatan kasar kepadanya. Kejadian tersebut berlangsung di American Airlines Center di Dallas.

Durant, mendengar ini, tidak langsung melanjutkan pemanasan pra-pertandingan tetapi memilih untuk berbalik dan menghadapi situasi tersebut. Ia mendekati dua penggemar -- seorang wanita dan seorang pria --  yang memegang cangkir bir penuh.

Apa yang dilakukan Durant?

Dia memulai sebuah dialog. Durant mengatakan kepada kedua penggemar tersebut, walaupun mereka telah mengucapkan kata-kata yang kurang sopan kepadanya, namun dia memahaminya. Dia mengerti bahwa hal tersebut mungkin dipicu oleh pengaruh alkohol atau gairah yang meluap karena pertandingan.

Selama interaksi, penggemar wanita tersebut mencoba untuk memperpanjang tangannya kepada Durant, sebuah gestur yang mungkin menunjukkan penyesalan atau keinginan untuk berdamai. Durant, dengan sabar, mendengarkan dan berbicara dengan mereka, menekankan bahwa meskipun mereka melihatnya sebagai bintang olahraga, ia tetaplah seorang manusia dengan perasaan dan martabat.

Durant bisa saja meminta agar mereka diusir dari pertandingan, namun Durant memilih untuk bertindak lebih bijaksana dengan membiarkan mereka tetap menyaksikan. Dia berharap hal itu bisa membuat mereka berpikir ulang tentang tindakan mereka.

Kejadian ini bukan hanya tentang seorang atlet yang menghadapi cemoohan tetapi juga tentang bagaimana Durant memilih untuk mengatasinya dengan empati dan pengertian, mengajarkan pelajaran tentang kemanusiaan dan rasa hormat yang seharusnya menjadi dasar interaksi kita, baik di dalam maupun luar arena olahraga.

Secara bijak, dalam situasi seperti itu, Durant mempertimbangkan konsekuensi dari reaksinya, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi penggemar. Sebagai seseorang yang dikenal luas, ia sadar bahwa cara dia menanggapi bisa berpengaruh besar.

Karena itu, naluri bijaknya mendorong dia bereaksi dengan kedewasaan, menunjukkan pemahaman yang dalam tentang hubungan antara penggemar dan atlet. Durant menekankan bahwa meskipun dia terprovokasi, ada cara yang lebih positif dan konstruktif dalam berinteraksi, yang lebih dari sekedar mencari reaksi.

Dia juga menggarisbawahi bagaimana atlet sering kali hanya dilihat sebagai objek hiburan dan bukan sebagai individu yang memiliki perasaan dan kehidupan pribadi.

Kejadian ini dijadikannya sebagai kesempatan untuk mengingatkan semua orang bahwa atlet juga manusia yang berhak mendapatkan rasa hormat dan empati. Melalui tindakannya, Durant ingin menyoroti pentingnya menjaga kemanusiaan dalam segala situasi, termasuk dalam persaingan olahraga.

Insiden ini memberikan pelajaran tentang betapa pentingnya pengampunan dan memilih interaksi yang memperkuat, bukan yang merendahkan. Durant memanfaatkan momen ini bukan hanya untuk menjaga reputasinya, tetapi juga untuk mendorong suasana yang lebih positif dan saling menghormati, baik di dalam maupun luar lapangan.

Ini menunjukkan bahwa dengan memilih untuk bertindak dari tempat empati dan pertimbangan, kita bisa membuat perbedaan yang signifikan, bahkan di hadapan tantangan dan provokasi.

Bagian Atas Formulir

 

 

Senin, 05 Februari 2024

BELAJAR, LUPA, DAN BELAJAR KEMBALI

 


Orang buta huruf di abad ke-21 bukanlah mereka yang tidak bisa membaca dan menulis, tetapi mereka yang tidak bisa belajar, melupakan, dan belajar kembali.  Alvin Toffler (1970)

Alvin dan Heidi Toffler adalah pasangan suami istri yang terkenal sebagai futuris, penulis, dan pemikir sosial Amerika. Alvin Toffler (1928-2016) dikenal luas karena karyanya yang mempelajari perubahan dalam masyarakat, terutama terkait dengan perkembangan teknologi dan dampaknya terhadap ekonomi, pekerjaan, dan struktur sosial.

Heidi Toffler (1929-2019), istrinya, sering kali berkolaborasi dengan Alvin dalam penelitian dan penulisan, meskipun kontribusinya kadang kurang dikenal oleh publik.

Alvin Toffler terutama dikenal lewat bukunya "Future Shock" (1970), yang mencetuskan istilah "future shock" untuk menggambarkan perasaan ketidakstabilan dan disorientasi yang dialami orang-orang akibat perubahan cepat dalam masyarakat.

Awalnya, "Future Shock" adalah buku yang ditulis oleh futuris Alvin dan Heidi Toffler pada tahun 1970. Dalam buku ini, penulis mendefinisikan "future shock" sebagai kondisi psikologis yang dialami oleh individu dan masyarakat secara keseluruhan.

Definisi paling sederhana dari istilah tersebut adalah persepsi pribadi tentang "terlalu banyak perubahan dalam waktu yang terlalu singkat".

Buku ini, yang menjadi bestseller internasional, berawal dari sebuah artikel berjudul "_The Future as a Way of Life_" yang dimuat dalam majalah Horizon edisi musim panas tahun 1965. "Future Shock" telah terjual lebih dari 6 juta kopi dan telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa.

Dalam era abad ke-21, sebuah kutipan dari Alwin Toffler mengemuka, The illiterate of the 21st century will not be those who cannot read and write, but those who cannot learn, unlearn, and relearn, (Orang buta huruf di abad ke-21 bukanlah mereka yang tidak bisa membaca dan menulis, tetapi mereka yang tidak bisa belajar, melupakan, dan belajar Kembali,  Future Shock, Chapter 12 hal. 427) menggambarkan transformasi paradigma pembelajaran.

Toffler menegaskan bahwa buta huruf di era kontemporer bukan lagi ditandai oleh ketidakmampuan membaca dan menulis, melainkan oleh ketidakmampuan untuk belajar, melupakan, dan belajar kembali. Pernyataan ini memicu refleksi tentang esensi pembelajaran di zaman yang serba cepat dan penuh dengan perubahan ini.

Pembelajaran konvensional yang sekedar mengandalkan kemampuan literasi dasar kini terasa kurang relevan. Yang lebih signifikan adalah kemampuan individu untuk secara konstan memperbarui pengetahuan mereka sesuai dengan perkembangan zaman. Misalnya, pemahaman tentang identitas gender yang terus berkembang menuntut kemampuan untuk memperbarui pemahaman lama dengan informasi terkini.

Fenomena ini mengindikasikan bahwa kekakuan dalam pemikiran atau ketidakmampuan untuk beradaptasi dengan perubahan dapat menjadi hambatan besar dalam era pasca-modern. Dengan perubahan yang terjadi begitu cepat, terutama di bidang teknologi, setiap konsep atau "fakta" yang dianggap benar hari ini, bisa jadi sudah usang esok hari.

Pertanyaan tentang bagaimana seseorang dapat efektif dalam proses belajar untuk melupakan dan belajar kembali menjadi relevan. Pendekatan yang disarankan adalah mencari sumber informasi yang kredibel dan dapat diandalkan, yang dapat membantu memperbarui pengetahuan dengan informasi terkini dan akurat.

Hal ini menuntut kemampuan kritis dalam memilih sumber informasi dan kesadaran untuk terus mengasah kemampuan berpikir.

Platform pembelajaran seperti Pathways menjadi contoh bagaimana teknologi dapat dimanfaatkan untuk mendukung proses pembelajaran yang dinamis, menawarkan akses ke sumber daya yang kredibel dan relevan dengan minat serta kebutuhan pengguna.

Ini menandai evolusi dalam cara pembelajaran dilakukan, di mana pembelajaran menjadi proses yang berkelanjutan, adaptif, dan selaras dengan kebutuhan zaman.

Perubahan psikologis dalam pendekatan pembelajaran menunjukkan bahwa era ini membutuhkan lebih dari sekedar pengetahuan; diperlukan kemampuan untuk secara fleksibel menavigasi perubahan, mempertanyakan ulang kebenaran yang dianggap mutlak, dan secara aktif mencari pembelajaran baru.

Ini bukan hanya tantangan, tetapi juga peluang untuk pertumbuhan dan adaptasi di dunia yang terus berubah.

Rabu, 31 Januari 2024

AUTHENTIC LEADERSHIP


Dalam lima hingga tujuh tahun terakhir, kata Bill George dari Harvard Business School, telah terjadi penurunan kepercayaan masyarakat terhadap para pemimpin. Situasi ini, menunjukkan adanya tuntutan perlunya pemimpin bisnis baru di abad ke-21. Pemimpin ini diharapkan lebih transparan, etis, dan otentik, dengan fokus tidak hanya pada keuntungan, tetapi juga pada dampak sosial dan lingkungan, serta membangun hubungan yang lebih berarti.

George dikenal sebagai seorang profesor praktik manajemen di Harvard Business School dan mantan ketua serta CEO dari Medtronic. Di Harvard, George mengajarkan tentang kepemimpinan, etika, dan tanggung jawab perusahaan, berbagi pengetahuannya dan pengalamannya dari dunia bisnis nyata. Sebagai pemimpin Medtronic, sebuah perusahaan terkemuka di bidang teknologi medis, ia membantu membawa perusahaan tersebut ke tingkat kesuksesan yang lebih tinggi.

George juga terkenal karena bukunya yang berjudul "Authentic Leadership" dan telah memberikan kontribusi penting dalam diskusi tentang kepemimpinan otentik dan etika dalam praktik bisnis. Pengalaman dan pengetahuannya dalam kepemimpinan telah membuatnya menjadi salah satu suara yang dihormati dalam bidang manajemen dan kepemimpinan.

Pertanyaannya, apakah kepemimpinan otentik itu? "Kepemimpinan otentik adalah tentang menjadi diri sendiri dan memimpin dari hati.," kata Brené Brown. Kepemimpinan otentik adalah tentang menjadi diri sendiri sebagai pemimpin, tidak meniru orang lain. Ini berarti memahami nilai-nilai dan tujuan pribadi, membangun hubungan berarti, dan mencapai hasil dengan integritas. Mereka lahir dari pengalaman hidupnya.

Simon Sinek, seorang penulis buku "Start With Why," berpendapat bahwa lepemimpinan otentik adalah tentang menjadi transparan dan jujur ​​dengan diri sendiri dan orang lain. Sementara penulis buku laris seperti The 7 Habits of Highly Effective People, First Things First; Stephen R. Covey mengatakan bahwa kepemimpinan otentik adalah tentang membangun hubungan yang kuat berdasarkan kepercayaan dan saling menghormati.

George sendiri mendefisikan kepemimpinan otentik adalah tentang menciptakan perubahan positif di dunia.  Salah satu contohnya adalah Daniel Vasella, mantan Ketua dan CEO Novartis. Lahir pada tahun 1953 di Fribourg, Swiss, Vasella menghabiskan masa kecilnya berjuang melawan berbagai penyakit serius. Pengalaman-pengalaman ini tidak hanya membentuk keinginannya menjadi seorang dokter, tetapi juga mendorongnya untuk terus berjuang menghadapi kesulitan hidup.

Kisah hidup Vasella diwarnai oleh berbagai cobaan yang ekstrem sejak usia dini. Dia mengalami keracunan makanan pada usia empat tahun, asma di usia lima tahun, yang kemudian diikuti oleh penyakit TBC dan meningitis.

Pengalaman-pengalaman ini membawa Vasella ke dalam kesendirian dan kesakitan yang mendalam, terutama ketika ia harus menjalani pengobatan jauh dari orang tua. Namun, dalam kesulitan itu, Vasella menemukan kekuatan dan belas kasih melalui interaksi dengan seorang dokter yang akhirnya memberikan pengaruh besar dalam hidupnya.

Tak hanya berjuang dengan penyakit, Vasella juga menghadapi tragedi pribadi yang mendalam. Kematian kakak perempuannya karena kanker dan kemudian kehilangan ayahnya saat Vasella berusia remaja, menambah lapisan kesulitan dalam kehidupannya. Dalam masa-masa sulit ini, dia menemukan pelarian dalam persahabatan dan cinta yang pada akhirnya membantunya menemukan arah dan tujuan hidup.

Pendidikan medis Vasella berlangsung dengan cemerlang, namun pengalaman masa kecilnya yang penuh cobaan membuatnya memilih untuk tidak hanya menjadi praktisi medis. Dia ingin berdampak lebih luas.

Kesempatan ini muncul ketika Vasella memasuki dunia farmasi. Di Sandoz, dan kemudian di Novartis, dia menunjukkan kemampuan kepemimpinannya. Masa-masa di Amerika Serikat, baik sebagai perwakilan penjualan maupun manajer produk, memperkaya pengalamannya dan membawanya pada posisi kepemimpinan yang lebih tinggi.

Sebagai CEO Novartis, Vasella tidak hanya membawa perusahaan ke puncak industri farmasi global, tetapi juga mewujudkan visinya untuk membantu masyarakat melalui pengembangan obat-obatan baru yang menyelamatkan jiwa, seperti Gleevec untuk leukemia mieloid kronis. Gaya kepemimpinannya yang berpusat pada belas kasih, kompetensi, dan persaingan, merupakan refleksi dari pengalaman hidupnya yang sarat dengan ujian dan belas kasih.

Pengalaman Vasella hanya satu dari puluhan yang diberikan oleh pemimpin otentik yang melacak inspirasinya langsung dari kisah hidup mereka. Ketika ditanya apa yang memberi mereka kekuatan untuk memimpin, pemimpin-pemimpin ini secara konsisten menjawab bahwa mereka menemukan kekuatan mereka melalui pengalaman transformasi. Pengalaman-pengalaman itu memungkinkan mereka untuk memahami tujuan yang lebih dalam dari kepemimpinan mereka.

Vasella adalah contoh bagaimana kepemimpinan yang autentik seringkali bersumber dari pengalaman hidup yang transformatif. Kekuatan untuk memimpin, bagi banyak pemimpin seperti Vasella, ditemukan melalui pengalaman yang mengubah pandangan mereka tentang tujuan kepemimpinan yang lebih dalam.

Vasella bukan hanya seorang pemimpin perusahaan, tetapi juga seseorang yang menunjukkan bagaimana kesulitan hidup dapat diubah menjadi kekuatan untuk menginspirasi dan membawa perubahan positif bagi banyak orang.

Kisah Daniel Vasella mengajarkan beberapa pelajaran moral penting. Pertama, ketahanan dan kemampuan untuk menghadapi kesulitan adalah kunci untuk mencapai kesuksesan. Kedua, empati dan belas kasih dapat membuat dampak besar dalam kehidupan orang lain.

Ketiga, pentingnya mengubah pengalaman negatif menjadi pelajaran positif untuk pertumbuhan pribadi. Keempat, mencari dukungan ketika dibutuhkan adalah langkah penting dalam mengatasi tantangan.

Kelima, kepemimpinan yang efektif tidak hanya tentang pencapaian tujuan, tetapi juga tentang bagaimana memperlakukan dan memotivasi orang lain. Terakhir, menggunakan kekuatan dan bakat untuk kebaikan lebih besar menunjukkan makna sukses sejati.

Kisah Vasella menunjukkan bagaimana ketekunan, empati, dan keinginan untuk berkembang dapat mengubah kesulitan menjadi kekuatan menginspirasi.

REFERENSI:

George, B., Ibarra, H., Goffee, R., & Jones, G. (2017). Authentic Leadership. Harvard Business Review Press.

Selasa, 30 Januari 2024

SALAH PILIH



Keputusan dalam dunia bisnis sering kali membawa konsekuensi jangka panjang yang bisa mengubah arah perusahaan. Kisah unik antara Sony Vaio dan Apple, seperti yang dilaporkan oleh The Verge, menawarkan contoh menarik tentang bagaimana pilihan yang tampaknya kecil dapat memiliki dampak signifikan pada masa depan sebuah produk.


Seperti diceritakan The Verge, ada kesamaan Visi dan benang merah antara pendiri Sony, Akio Morita dan pendiri Apple, Steve Jobs. Keduanya punya dream membuat produk yang orang lain belum membuatnya dan memasarkan produk tersebut. Mereka berdua tidak takut untuk mengambil risiko dan mencoba hal-hal baru.

“_Create your product and then create your market_", bukan sekedar mengikuti pasar saja.

Walkman menjadi contoh kesuksesan Sony dan iPod yang kemudian iPhone dll menjadi contoh kreasi Steve Jobs.

Tahun 1996, Sony mendirikan Vaio, merek komputer pribadi. Nama Vaio merupakan akronim dari Video Audio Integrated Operation. Vaio adalah komputer portabel pertama dari Vaio, dirancang untuk pengguna yang mengutamakan kepraktisan dan gaya.

Pada tahun 1997, Vaio mengenalkan seri SXP, yang ditargetkan untuk profesional dengan fitur canggih seperti prosesor Intel Pentium M dan layar beresolusi tinggi. Keduanya sukses di pasaran dan membantu Vaio menjadi merek terkemuka. Tahun 2000, Vaio meluncurkan seri VAIO P, komputer sangat tipis dengan layar sentuh, menambah daftar inovasi Vaio.

Namun, penjualan Vaio menurun mulai tahun 2006 karena persaingan yang ketat dan pergeseran ke perangkat mobile. Kerugian finansial yang dialami Sony mencapai 4,5 miliar dolar AS pada tahun 2013.

Pada tahun 2014, Sony menjual bisnis PC Vaio ke Japan Industrial Partners untuk meminimalkan kerugian. Meskipun masih beroperasi, Vaio tidak kembali ke popularitas sebelumnya dan pada tahun 2023 hanya memiliki 2,5% pangsa pasar komputer pribadi di Jepang.

Bisnis PC Vaio yang dilepas oleh Sony ternyata juga punya sejarah unik yang melibatkan Apple dan pendirinya, Steve Jobs. Nobuyuki Hayashi, seorang penulis lepas dari Jepang yang sudah lebih dari dua puluh tahun melaporkan tentang Apple – seperti dikutip The Verge – mengungkapkan cerita tentang ketertarikan Jpbs pada Vaio.

Merujuk keterangan Kunitake Ando, eks presiden Sony, Hayashi menceritakan sebuah pertemuan yang diadakannya dengan Jobs di Hawaii pada tahun 2001.

Setelah bermain golf bersama eksekutif Sony lainnya, kata Ando, "Steve Jobs dan seorang eksekutif Apple lainnya menunggu kami di akhir lapangan golf dengan memegang VAIO yang menjalankan Mac OS."

Tahun 1997, Jobs menutup bisnis "klon" Mac. Jobs menutup bisnis "kloning" Macintosh yang melisensi sistem operasi Apple untuk dipakai di komputer buatan perusahaan lain. Jobs menilai bisnis ini merusak ekosistem dan brand Mac. Seluruh produsen komputer selain Apple pun tak boleh memakai Mac OS lagi, “kecuali Sony Vaio”. Menurut Ando, ini karena Jobs mengagumi lini notebook Vaio sehingga "bersedia membuat pengecualian".

Namun, waktunya tidak tepat. Saat itu penjualan laptop berbasis Windows perusahaan baru saja mulai meningkat. Negosiasi antara Sony dan Apple tidak mencapai titik temu karena sebagian besar managemen Sony lebih memilih Windows sebagai basis OS nya, gagal membuahkan kolaborasi laptop Vaio dan Mac OS.

Keputusan ini menunjukkan bagaimana preferensi manajemen dan kondisi pasar saat itu dapat mengarah pada kesempatan yang hilang. Steve Jobs, yang dikenal memiliki hubungan dekat dengan Sony dan mengagumi Akio Morita, bahkan menggunakan laptop Vaio untuk pengujian selama transisi Apple dari hardware berbasis PowerPC ke prosesor Intel.

Jika saja Sony memilih untuk "mengizinkan" Vaio menggunakan Mac OS, mungkin nasib Vaio akan sangat berbeda, menjadi produk yang tetap relevan dan bersaing di pasar bersama produk-produk Apple.

Cerita ini menekankan bahwa keputusan bisnis yang dibuat bukanlah berdasarkan keuntungan atau manfaat jangka pendek, melainkan visi jangka panjang dan keberanian untuk membuat atau memilih keputusan.

Walaupun upaya kolaborasi antara Sony Vaio dan Mac OS akhirnya tidak terwujud, pengalaman ini tetap menyisakan pelajaran penting tentang nilai inovasi dan pentingnya membina kemitraan strategis.

Di tengah dinamika bisnis yang terus berubah dengan cepat, keberanian untuk mengeksplorasi kolaborasi baru dan mengambil risiko menjadi faktor penting dalam memastikan sebuah merek tetap relevan dan berhasil.

Sumber:

https://www.theverge.com/2014/2/5/5380832/sony-vaio-apple-os-x-steve-jobs-meeting-report