Generative AI mengubah cara peneliti bekerja, tetapi di balik kemudahannya, ada batasan etika yang menjadi bom waktu. Bagaimana jika artikel ditolak karena deteksi AI?
Beberapa hari lalu, saat Anne Gregory, Professor of
Corporate Communication Huddersfield University,
sharing tentang penulisan jurnal di Research Center LSPR of Communications &
Business Institute, saya sempat menanyakan soal penggunaan Generative
Artificial Intelligence (GenAI) dalam penulisan di jurnal. Jawaban Anne,
tergantung pada jurnalnya. Maksudnya ada jurnal yang menuntut tidak ada sama
sekali penggunaan AI dalam penulisan, ada juga yang membolehkan.
Dalam konteks memboleh ini, Anne Gregory mengatakan bahwa ada
kebutuhan untuk mengumukan bahwa penelitian dan penulisannya laporan yang dikirim
ke jurnal itui menggunakan bantuan AI.
Dalam diskusi di komunitas peminat ilmu perilaku konsumen
beberapa bulan lalu, saya juga sempat menanyakan hal setrupa kepada Prof. Fandy
Tjiptono. Saat itu, komunitas tersdebut mendiskusikan soal toipik-topik terkini
dalam penelitian perilaku konsumen. Jawaban Prof Fandy juga seperti yang disampaikan
Anne Gregory.
Pengalaman saya dan teman-teman saat mengirimkan artikel
untuk sebuah jurnal, artikel kami ditolak karena penggunaan AI (deteksi
Turnitin) melebihi 25 %. Kami disarankan untuk menurunkan besaran penggunaan Ainya
lebih lebih rendah 25%.
Yang saya alami dengan penolakan artikel karena deteksi AI
yang tinggi menunjukkan salah satu tantangan nyata dalam penggunaan teknologi
AI, termasuk dalam konteks penelitian kualitatif. Hal ini mencerminkan
pentingnya memahami batasan dan ekspektasi yang diterapkan oleh institusi
akademik dan penerbit jurnal terkait dengan etika penggunaan AI.
Kendala semacam ini tidak hanya menyoroti perlunya
penyesuaian penggunaan GenAI untuk memenuhi standar akademik, tetapi juga
menekankan urgensi untuk mengeksplorasi dan mengembangkan praktik yang etis dan
transparan.
Namun, harus diakui potensi GenAI dalam mendukung berbagai
aspek penelitian kualitatif tetap signifikan jika diterapkan secara bijaksana
dan bertanggung jawab.
GenAI menawarkan peluang besar dalam meningkatkan kualitas
penelitian kualitatif dengan berfungsi sebagai co-author, platform percakapan,
pendidik, dan asisten peneliti. Namun, penerapan GenAI memunculkan tantangan
etika yang harus diperhatikan, seperti privasi data, transparansi, serta
keadilan dalam proses penelitian.
Dalam konteks ini, etika menjadi landasan penting untuk
memastikan penggunaan GenAI dilakukan secara bertanggung jawab dan sesuai
dengan prinsip-prinsip moral, terutama dalam melindungi kerahasiaan data,
memperoleh persetujuan partisipan, dan menghindari potensi bahaya bagi subjek
penelitian (Vianello et al., 2023).
Penggunaan GenAI dalam penelitian kualitatif memerlukan
kejelasan dan keterbukaan, termasuk pengungkapan bahwa hasil penelitian
sebagian dihasilkan dengan bantuan alat ini. Selain itu, penting untuk
mempertimbangkan bias bawaan dalam data pelatihan GenAI, yang dapat memengaruhi
hasil analisis.
Bias ini, seperti yang dijelaskan oleh Anis & French (2023), dapat menyebabkan hasil yang
tidak akurat atau tidak adil jika tidak ditangani dengan baik. Oleh karena itu,
transparansi dalam penggunaan GenAI dan pengakuan keterbatasannya menjadi aspek
penting dalam menjaga validitas dan reliabilitas penelitian.
Di sisi lain, Elali & Rachid (2023) menunjukkan bahwa GenAI dapat
digunakan untuk fabrikasi dan plagiarisme dalam publikasi ilmiah, yang
mengancam integritas penelitian. Mereka mengusulkan peningkatan proses tinjauan
sejawat yang lebih transparan dan pengembangan pedoman etika untuk mengatasi
tantangan ini.
Sementara itu, Marshall & Naff (2023) menyoroti bahwa
meskipun GenAI dapat memperkenalkan metode baru dalam pengumpulan dan analisis
data, penggunaannya juga membawa risiko etika yang besar.
Dalam penggunaan GenAI, kontrol interpretasi tetap berada di
tangan peneliti manusia. Peneliti harus tetap menjaga nilai dan asumsi mereka
dalam proses interpretasi untuk memastikan hasil yang bermakna dan etis.
Dalam banyak kasus, alat ini berfungsi untuk meningkatkan
kemampuan peneliti, bukan untuk menggantikannya. GenAI harus dipandang sebagai
instrumen yang mendukung, bukan sebagai entitas otonom dalam penelitian
kualitatif.
REFERENSI
Anis, S., & French, J. A. (2023). Efficient,
explicatory, and equitable: Why qualitative researchers should embrace AI, but
cautiously. Business & Society, 62(6), 1139–1144. https://doi.org/10.1177/00076503231163286
Elali, F. R., & Rachid, L. N. (2023). AI-generated
research paper fabrication and plagiarism in the scientific community. Patterns,
4(3), 1–4. https://doi.org/10.1016/j.patter.2023.100706
Marshall, D. T., & Naff, D. B. (2023). The ethics of
using artificial intelligence in qualitative research. https://doi.org/10.31235/osf.io/3rnbh
Vianello, A., Laine, S., & Tuomi, E. (2023). Improving
trustworthiness of AI solutions: A qualitative approach to support ethically
grounded AI design. International Journal of Human-Computer Interaction, 39(1),
1405–1422. https://doi.org/10.1080/10447318.2022.2095478