Mendobrak Langit-Langit Kaca
“Jangan-jangan
kesetaraan gender itu utopia?” itu pertanyaan saya. Kenapa? Seabad lalu, Kartini mencita-citakan emansipasi perempuan.
Kini kaum perempuan telah mengambil peran di semua bidang, baik di bisnis, politik,
dan aktivitas sosial lainnya. Perempuan yang memperoleh gelar doktor kini
mencapai jumlah yang besar dibandingkan masa sebelumnya, perempuan yang menjadi
profesional di perusahaan juga menapak karir ke atas. Mereka adalah produk
kesetaraan antara peran di dalam rumah dan di luar rumah.
Namun yang
terjadi -- seperti yang ditulis Advertising
Age dalam whitepapernya yang bertema The
New Female Consumer, tahun lalu -- persepsi publik yang masih menancap kuat
adalah mereka tetap saja dirancang sebagai chief
operating officer di rumah. Whitepaper tersebut disusun berdasarkan riset
terhadap 870 responden pria dan perempuan di Ameria Serikat. Mereka ingin
melihat pergeseran yan terjadi dalam peran perempuan, da mengeksplorasi besar potensi pasar dari
kalangan ibu-ibu rumah tangga.
Saya membayangkan
di Amerika Serikat yang praktek bisnis dan demokrasinya begitu berkembang,
persepsi publik masih menempatkan perempuan di rumah. Dalam tradisi gender
kita, perempuan juga diberi sebutan wanita. Denotasi dari kata ini adalah wani dithatha atau berani ditata
sehingga menimbulkan konotasi perempuan jarang diposisikan sebagai sosok yang
berada atas. Ia selalu di bawah untuk siap menerima perintah. Siapa yang
memerintah? Ya suami di rumahnya. Sampai sekarang persepsi itu masih lekat di
masyarakat.
Membahas semua
hal yang kurang mendukung karir perempuan, menghasilkan prasangka bahwa
perempuan mempunyai peluang gagal dalam karir yang lebih besar dari pria. Di
sisi lain, sangat jarang diskusi tentang kelemahan pria. Inilah yang lalu
menenggelamkan pertanyaan, apakah pria memiliki kelebihan lebih banyak dari
perempuan. Sangat sedikit diskusi tentang keterkaitan antara karakteristik yang
seringkali melekat pada kaum pria dan hal-hal yang seringkali negatif pada
manager pria dalam memberikan kontribusi pada kinerja perusahaan.
Banyak penelitian
tentang lambatnya kaum perempuan meraih posisi management puncak Tharenou (1998) misalnya, mengatakan,
perempuan yang ingin mencapai posisi puncak di management seringkali gagal karena
penghambat yang tak kelihatan. Penghalang itu ibarat langit-langit kaca (glass ceiling). Meski kesamaan derajat
disuarakan sejak puluhan tahun silam, namun stereotipe perempuan nomor dua
masih ada.
Tidak gampang
untuk bisa mengalami pergerakan ke atas. Selain karena persepsi yang sudah
menjadi tradisi (mitos?) -- bahwa perempuan itu lemah, halus perasaan sehingga
sulit untuk bertindak tegas, kurang trengginas, dan lain-lain karakter yang
menjadi lawan dari pria yang tegas, tegar, kokoh, cepat, dan lebih mengandalkan
pikiran dari pada perasaan – hambatan juga muncul dari lingkungan sekeliling
seperti keluarga, masyarakat, dan tempat perempuan berinteraksi termasuk di
lingkungan kerja mereka.
Ada juga yang
meragukan kualitas dan karakteristik perempuan. Pada 2005, dalam pidatonya di
suatu kesempatan, Lawrence Summers – Presiden Harvard University – mengajukan
hipotesis jangan-jangan lebih sedikitnya perempuan yang menjadi ilmuwan
dibandingkan lelaki dikarenakan kemampuannya memang berada di bawah lelaki. Pernyataan
itu langsung menimbulkan gelombang protes yang membuat Summers mengundurkan
diri.
Ilustrasi tentang
Summers tersebut dikutip Catherine Kaputra – perempuan yang pernah bekerja
mulai dari museum hingga periklanan di Madison Avenue New York – untuk
menjelaskan betapa kalangan akademisi sekelas Summers pun masih belum memahami
posisi perempuan. Dalam buku The Female
Brand: Using the Female Mindset to Succeed in Business ini, Kaputra mengakui bahwa masalah gender
sampai kini menjadi isu yang sensitif. Karena stereotipe masa lalu, beberapa
perempuan bisa jadi masih terkejut – bahkan marah -- bila mendengar – meski
masih eksploratif – pernyataan yang menunjukkan adanya perbedaan gender. Mereka
tidak ingin lagi dibedakan karena takdirnya sebagai perempuan.
Melalui bukunya,
Kaputra ingin memberikan wawasan baru tentang keunikan mindset perempuan dan
bagaimana perempuan dapat memaksimumkan kariernya serta sukses dalam kehidupan
dengan memanfaatkan semua aset yang lekat pada dirinya. Dari penggunaan kata “we” untuk menyemangati perempuan di
hampir semua bab di buku ini, Kaputra ingin mempertegas bahwa buku ini memang
ditujukan untuk perempuan.
Berbeda dengan
buku-buku tentang perempuan di bisnis – dimana sebagian besar menemmpatkan
perempuan sebagai objek – melalui buku The
Female Brand ini, Kaputra ini menunjukkan bahwa perempuan sebenarnya
memiliki banyak kelebihan yang sudah pasti tidak dimiliki lelaki. Bahkan dalam
konteks mengembangkan karir, perempuan memiliki apa yang tidak bisa dilakukan
oleh lelaki.
Satu per satu
Kaputra memaparkan kelebihan atau setidaknya kesamaan perempuan dan lelaki.
Diawali dengan otak. Misalnya, Kaputra mengakui bahwa berdasarkan penelitian,
ukuran ota perempuan 9% lebih kecil dari rata-rata otak lelaki. Namun, katanya,
jumlah sel otaknya hampir sama. Jaringan dan pilinan syarafnya juga lebih padat
sehingga memungkinkan perepuan melihat suatu persoalan dalam tinjauan yang
lebih luas dibandingkan lelaki. Hal lainnya, seperti diketahui otak manusia
terdiri otak kanan dan kiri. Nah dalam memproses stimulus berupa pernyataan
(verbal), gambar dan emosi, lelaki hanya menggunakan satu otak, sementara
perepuan menggunakan keduanya.
Penggunaan otak
kanan dan kiri ini sangat penting manakala sesorang harus mengambil keputusan,
ermasuk dalam bisnis. Dalam bukunya, Counterintuitive
Marketing: Achieve Great Results Using Uncommon Sense (Free Press), Kevin
Clancy dan Peter Krieg -- masing-masing chairman dan CEO, dan president dan COO
Copernicus Marketing Consulting and Research – menulis tentang pengambilan
keputusan yang dikendalikan oleh hormon testosterone. Menurut mereka, keputusan
yang dikendalikan oleh hormon seks jantan utama dan berfungsi antara lain
meningkatkan libido dan energi itu dicirikan oleh kecenderungan pengambilan keputusan
secara cepat, intuitif, dan bahkan meremehkan.
Pernyataan mereka itu didukung oleh data hasil riset pada
tahun 1998 yang dilakukan oleh Copernicus. Penelitian itu menemukan bahwa
sebagian besar keputusan, diambil secara buru-buru, sedikit sekali didasarkan
pada data hasil riset, dan fokus pda hasil jangka pendek. Penelitian yang
dilakukan dengan mewawancarai 293 orang marketing manager di Amerika Serikat
itu juga menemukan bahwa pola pengambilan keputusan model ini secara signifikan
lebih banyak dilakukan oleh para eksekutif marketing senior pria.
Sebaliknya, seperti yang dituturkan Kaputri, perempuan
mempunyai orientasi yang luas. Pemimpin perempuan lebih menyukai hal-hal yang
bersifat melatih dan menasehati, kerjasama, melibatkan banyak orang (sahabat/tim)
dalam mengambil keputusan, dan kebersamaan diantara beragam anggota kelompok. Di
bagian ini (hal. 9) Kaputri mengakui beberapa kelebihan yang dimiliki lelaki.
Misalnya, lelaki lebih objektif dan analitis dalam membuat keputusan. Lelaki
juga lebih focus dalam mencari jalan terbaik saat menghadapi masalah, dan
sebagainya.
Kaputra tidak bermaksud untuk mendiskusikan terlalu jauh perbedaan,
kekurangan dan kelebihan perempuan maupun lelaki. Kaputra hanya ingin
menunjukkan kepada kaum perempuan bagaimana caranya menggunakan segala karakter
yang dimiliki perempuan untuk berhasil dalam karir dan bisnis. Dalam konteks ini, pada intinya Kaputra
menyarankan perempuan untuk membangun personal brand. Maksudnya, agar berhasil
kalangan perempuan haruslah berpikir seperti sebuah brand. Dengan menggunakan
paradigma ini, perempuan diharapkan berpikir bahwa mereka bukanlah lelaki dan
jadilah perempuan.
Bagaimana
melakukan branding? Kaputra menyarankan beberapa hal. Misalnya, harus fokus.
Ini karena menurut Kaputri dalam branding tidak ada kata ”dan”. Tapi ini bukan
berarti perempuan tidak boleh merambah ke bidang lain. Boleh namuan harus
saling melengkapi. Kaputra memberi contoh teman perempuannya yang berhasil.
Carol, demiian nama sahabatnya itu, asebenarnya seorang insinyur. Akan tetapi
dia menyukai pekerjaan lain yang bertujuan untuk membantu orang lain. Maka
jadilah ia seorang pelatih kepemimpinan yang menggunakan teknologi untuk
membantu kliennya dalam meningkatkan wawasannya.
Hal kedua yang
perlu dilakukan adalah ”harus beda”. Pada dasarnya, dalam branding, diperlukan
suatu identitas. Nah, untuk membangun identitas itu, seseorang harus anti
keseragaman. Untuk menemukan perbedaan itu, seseorang, menurut Kaputri, harus
melakukan audit sehingga menemukan kekuatan dan kelemahan, ancaman serta
peluangnya.
Ketiga, temukan
”Ruang Putih”. Remis kaputri ini mengingatkan kita pada strategi ”Samudra Biru”
yang diajukan W. Chan Kim dan Renée Mauborgne pada 2005 lalu. Menurut Kaputri,
dalam membangun identitas, perempuan harus bisa menonjolkan bakatnya yang
membuat individu menjadi unik. Ii terutama pentying bagia yang merasa ”kurang”
terkenal.
Kaputri memberi
contoh bagaimana Barack Obama pada 2008 bertarung dan memenangkan pemilihan
awal atas Hillary Clinton. Saat itu, dari sisi popularitas dan dana, Obama
kalah oleh Hillary yang juga lebih berpengalaman. Namun, tawaran ”Change” yang
diajukan Obama mengalahkan tawaran ”Experience” yang diajukan Hillary. Obama
juga menemukan ”ruang putih” dalam hal penggalangan dana. Dia mendapti peluang
memanfaatkan internet untuk menggalang dana dari kalngan menengah ke bawah yang
selama itu belum pernah berkontribusi dalam memberikan ”sumbangan” kampanye.
Melalui internet, Obama mendapatkan donator yang menyumbangkan dana $ 100 atau
kurang dari itu.
Banyak hal yang perlu
dilakukan perempuan dalam hal branding. Namun yang membuat unik dalam branding
perempuan adalah kemampuan meleverage “media” untuk membangun gambaran
identitas. Perempuan mempunyai senjata lebih besar dalam gambaran identitas.
Tidak seperti lelaki yang terbatas, perempuan punya pilihan mulai dari busana,
warna, gaya rambut, asesoris hingga make-up. Melalui ini, perempuan bisa
menciptakan sesuatu yang membuat dia keluar dari kerumunan pribadi generik dan
membuat memorable.
Membaca buku ini
menghantarkan saya pada kesimpulan bahwa buku ini memang perlu dibaca oleh
perempuan yang ingin berhasil. Kenapa? Selain sarat dengan tip dan contoh
keberhasilan perempuan menjadi eksekutif perusahaan, buku ini menjadi lain
karena ditulis oleh seorang perempuan yang berhasil menatapi karir
bisnisnya.
Rempoa, 23 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar