Memanfaatkan
Retakan untuk Menciptakan Retakan Baru
Melihat format buku, penulis tidak mengawali idenya
dari apa yang terjadi di masyarakat atau pasar melainkan melihat apa yang
terjadi pada individu yang menurut penulis sebagai crackers. Bab I buku ini
memaparkan tentang fenomena sosial yang terjadi belakangan ini oleh penulis buku ini dianggap sebagai pemicu cracking.
Namun di sisi lain, di pendahuluan buku, penulis
langsung memunculkan nama-nama crackers. Ketika membaca itu, dalam benak saya
langsung muncul anggapan bahwa buku ini yang memasukkan mereka ke dalam
kelompok orang-orang yang mengubah “dunia”
(bisnis) menjadi seperti sekarang
ini. Misalnya, makin maraknya persaingan harga di bisnis telekomunikasi. Tapi
benarkah mereka yang mengubah dunia bisnis, bukankah mereka yang justru
memanfaatkan perubahan itu sendiri. Dengan kata lain, bukankah perubahan itu
sendiri sebagai suatu keniscayaan?
Pada awalnya saya menganggap, pendekatan ini
berpotensi menimbulkan polemik seperti orang memperdebatkan siapa yang ada
lebih dulu, telur atau ayam. Yang dipaparkan penulis dalam Bab I memang
spesifik yang terjadi di Indonesia. Namun bukan berarti Indonesia berdiri
sendiri atau lepas dari pengaruh global. Seperti yang saya tulis pada MIX-
Marketing Communications Edisi Mei lalu,
bahwa ada hipotesis perubahan yang terjadi saat ini dipicu oleh tiga
hal. Pertama adalah liberalisasi perdagangan dan persaingan global yang
mendorong terjadinya peningkatan persediaan barang yang selanjutnya mendorong
terjadinya penurunan harga.
Yang kedua adalah bahwa makin kayanya konsumen,
termasuk di Indonesia. Tingkat pendapatan rata-rata per kapita orang Indonesia
kini berada diatas US$ 3000. Konsekuensinya adalah perilaku belanja mereka juga
berubah. Venu Madhav, Executive Director of Client Leadership Nielsen
mengatakan bahwa saat ini konsumen lebih rela untuk mengeluarkan uang mereka.
“Mereka lebih berani untuk membeli kategori yang tidak pernah dibeli, sementara
yang sudah pernah membeli produk tersebut, akan mencari versi premiumnya,” kata
Venu.
Yang ketiga, karena persaingan yang meningkat,
siklus hidup banyak produk, secara dramatis, makin pendek. Ini berarti ,
konsumen semakin dibombarbir dengan tawaran produk baru, inovatif, lebih baik
dan layanan sepanjang waktu. Gagasan ini juga muncul di kalangan konsumen
Indonesia.
Perubahan tersebut sejatinya menciptakan peluang dan
ancaman. Pebisnis seperti Hasnul Suhaimi – CEO XL -- membaca perubahan itu
dengan mengambil langkah-langkah yang tidak biasa. Jadi apakah Hasnul menjadi
pemicu perubahan itu? Disinilah maksud saya, ayam dan telurnya. Di
pendahuluan buku ini, seain Hasnul.
penulis menyebut Prijono Sugiharto (CEO Astra International), Emirsyah Satar
(CEO Garuda Indonesia), dan Agus Ruswendi (CEO Bank BJB) sebagai leader yang
buan hanya mengubah haluan perusahaan, tapi juga mengubah wajah industri.
Namun demikian, penulis buku ini nampaknya menyadari
hal itu. Karena itu, dalam “prakata” penulis jauh-jauh sudah menekankan
pendekatan yang dilakukan dalam penulisan buku ini. “Sudah lama saya
berkeinginan menulis buku yang dibuat berdasarkan kajian mendalam meggunakan
pendekatan “grounded” dengan tujuan menemukan sebuah model kepemimpinan yang
cocok dalam alam perubahan Indonesia.”
Justru pendekatan itu yang menjadi kekuatan buku
ini. Saya membayangkan seandainya buku ini tidak dimulai dari para crackers,
buku ini menjadi generic. Ini karena terlalu banyak tulisan yang membahas
tentang perubahan social – seperti fenomen Facebook dan Twitter -- yang terjadi
belakangan ini. Menyadari hal itu, penulis buku ini buru-buru menulis, “Mari
kita buka pikiran dan jangan tergesa-gesa menganggap sudah tahu hanya karena
Anda tinggal di dalamnya…..”
Grounded theory adalah pendekatan yang reflektif dan
terbuka. Dalam pendekatan ini pengumpulan data, pengembangan konsep-konsep
teoritis, dan ulasan literature berlangsung dalam proses siklis –
berkelanjutan. Sebagai suatu pendekatan yang berpotensi untuk menghasilkan
teori, grounded dimulai tanpa adanya hipotesis. Pendekatan ini juga
memungkinkan data dan penarikan sampel teoritis dijadikan sebagai panduan untuk
memilih kerangka konseptual dan teori yang muncul.
Melalui pendekatan itu, penulis berhasil merumuskan
Crackers. Mereka ini bukan hanya penemu
(inventor), mereka juga pengubah industri yang membuat pesaing-pesaing
mereka menjadi memikirkan ulang bisnisnya sekaligus menciptakan peluang baru
bagi industry-industri yang selama ini belum ada atau tidak berkembang.
Demikian pula pula yang dilakukan Crackers. Mereka
lahir dalam suasana transformative yang menimbulkan banyak perubahan. Bagaimana
bisa? Karena mereka jeli melihat peluang dari retakan dan menciptakan retakan
baru.
Menurut penulis, cracking zone ditandai oleh empat
hal. Pertama, industry dikuasai oleh tiga atau empat pemain besar yang mengunci
pasar dengan kekuatan oligopolisnya. Kedua, ada kebutuhan transformative yang
ditandai oleh perubahan peta kekuatan pada salah satu pemain utama (atau
pendatang baru). Perubahan peta kekuatan itu antara lain ditandai dengan
kegiatan seperti reinvestasi atau perluasan kapasitas, keberanian merekrut CEO
baru dengan reward diatas rata-rata industry atau pembongkaran cara kerja
organisasi pada salah satu pelaku.
Ketiga, adanya kapabilitas baru yang dimiliki salah
satu pelaku yang ditandai dengan akumulasi harta-harta tak kelihatan
(intangible) seperti teknologi , pengetahuan, atau system management. Keempat,
ada gejala ekonomi yang ditunjukkan dengan perubahan-perubahan indicator pasar
seperti populasi (seperti otonoi daerah), perubahan alokasi, pendapatan, dan
perubahan perilaku konsumen yang menjadi pemicu cracking. Anda berada dimana?
Silakan baca buku ini.
Judul Buku: Cracking Zone
Penulis: Rhenald Kasali
Penerbit: PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta
Tahun Terbit: 2010
Tebal buku: 356 halaman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar