Realitas baru saat memberikan isyarat pada pengelola dan
pemilik merek agar cepat-cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah
cepat. Bagaimana caranya?
Hari ini, pasar
benar-benar crowded. Coba saja Anda
ke pusat perbelanjaan Roxy Mas atau Mal Ambassador Jakarta atau mal-mal
lainnya. Dari handphone hingga keripik jagung, air putih sampai minuman ringan,
dan produk kemasan hingga jasa paket pengiriman, kita dapat menyaksikan serunya
persaingan saat ini. Demikian pula kalau menonton program TV, browsing
internet, buka handphone, dan media massa lainnya, setiap jam, bahkan menit
selalu dipertontonkan gambar dan tawaran produk atau merek.
Situasi itu,
menurut Richard A. D’Aveni – seorang professor manajemen strategic dari Dartmouth
College, memberikan pesan kepada pemilik atau pengelola merek bahwa saat ini
menghadapi hypercompetition. Pada kondisi seperti itu, pemilik atau pengelola
merek mendapat peluang untuk terus menerus menghasilkan keunggulan kompetitif baru yang bisa menghancurkan,
membuat usang, atau meredam keuntungan pemimpin industry; atau malah sebaliknya
tergilas.
Hypercompetition bukan
merupakan hasil dari resesi global atau nasional. Juga bukan akibat dari kelebihan
kapasitas global di sebagian besar industri. Hypercompetition tidak akan pergi begitu
saja. Dia melaju sambil menjatuhkan siapa saja yang tidak bisa menyesuaikan
diri dengannya. Tak ada yang bisa menghentikannya, apalagi mengembalikannya ke
situasi normal. Bahkan raksasa seperti General Motors, IBM, dan Kodak pun tidak
mampu menghentikannya. Alih-alih mengerem, karena ketidakberhasilannnya untuk
menyesuaikan diri, mereka pun tergilas.
Ada hipotesis yang
mengatakan bahwa perubahan itu dipicu oleh tiga hal. Yang pertama adalah bahwa
liberalisasi perdagangan dan persaingan global yang mendorong terjadinya
peningkatan persediaan barang yang selanjutnya mendorong terjadinya
penurunan harga. Salah satunya adalah
adanya gelombang masuknya produk China di Indonesia.
Yang kedua adalah
bahwa makin kayanya konsumen, termasuk di Indonesia. Tingkat pendapatan
rata-rata per kapita orang Indonesia kini berada diatas US$ 3000.
Konsekuensinya adalah perilaku belanja mereka juga berubah. Venu Madhav,
Executive Director of Client Leadership Nielsen mengatakan bahwa saat ini
konsumen lebih rela untuk mengeluarkan uang mereka. “Mereka lebih berani untuk
membeli kategori yang tidak pernah dibeli, sementara yang sudah pernah membeli
produk tersebut, akan mencari versi premiumnya,” kata Venu.
Yang ketiga, karena
persaingan yang meningkat, siklus hidup banyak produk, secara dramatis, makin
pendek. Ini berarti , konsumen semakin dibombarbir dengan tawaran produk baru,
inovatif, lebih baik dan layanan sepanjang waktu. Contoh paling sederhana
adalah pendeknya masa “image” atau gengsi telepon seluler. Saat ini, Anda
mungkin masih bangga bila memegang Blackberry Tourch. Namun, bulan depan, saya
jamin nilai “image”nya turun sehingga memaksa Anda untuk berganti telepon
seluler meski yang lama masih berfungsi dengan baik.
Sebagai reaksi
terhadap perkembangan dan perubahan di pasar tersebut , banyak organisasi yang
memfokuskan perhatiannya pada upaya meningkatkan efisiensi operasional mereka.
Harapannya, setidaknya dengan meningkatkan efisiensi, maka mereka mempunyai
ruang yang lebih luas dalam menurunkan harga. Dengan kata lain strategi ini
mengasumsikan bahwa ketika pasar dipenuhi oleh banyak produk --- didorong oleh
teknologi yang memungkinkan produsen memproduksi barang yang sama -- pasar akan
menjadi generik sehingga harga menjadi alternative penting.
Namun solusi harga
dapat membahayakan kemampuan mereka untuk bersaing di masa depan. Mereka hanya
akan berada dalam perlombaan ke bawah menuju harga terendah. Pada kondisi ini,
suatu merek dapat bertahan manakala mereka dapat menemukan cara-cara yang akan
membujuk pelanggan mereka untuk membayar lebih banyak atau membeli lebih banyak
produk atau layanan mereka.
Beberapa perusahaan
lainnya memilih mengembangkan produk dan layanan yang diproduksi dan dideliver
oleh pihak ketiga yang efisien dengan mengorbankan basis pengetahuan mereka
sendiri dan bahkan mengorbankan merek mereka sendiri yang secara perlahan hanya
menjadi label tanpa nilai. Cara yang dilakukannya adalah dengan menciptakan
produk baru yang ditujukan untuk pasar baru yang akan image namun menginginkan
harga yang “di bawah.’
Namun yang terjadi dalam decade terakhir ini bukan sekadar ramainya
produk atau merek. Perkembangan teknologi informasi, terutama di bidang
komunikasi dan internet, membuat akses konsumen ke informasi menjadi begitu
mudah. Akibatnya, konsumen sekarang menjadi semakin cerdas, kiritis dan ingin
lebih demokratis. Ekspektasi konsumen sekarang semakin tinggi. Mereka
mengharapkan nilai lebih banyak di produk yang mereka beli sehingga tidak lagi
hanya berpikir tentang apa yang sesuatu dari apa yang mereka bayar.
Mereka akan meminta pertanggungjawaban produsen , apakah yang produsen
janjikan sesuai dengan realtitas yang dirasakannya. Demkian pula, konsumen ingin
produsen juga seperti mereka, dan mereka ingin itu terjadi sekarang. Mereka
juga menuntut layanan yang lebih
individual. Situasi itulah yang kini dihadapi para pemilik atau pengelola
merek.
Phenomena itu seolah olah mengharuskan brand brand untuk segera
menyesuaikan diri agar eksis di pasar yang sangat demokratis belakangan ini. Di
pasar inilah brand brand harus bersaing secara real. “Segala bentuk pencitraan
menemui ujian yang berat, karena konsumen menuntut kebenaran lebih dibanding
tahun tahun lalu,” kata Janoe, seorang kreatif dari Dentsu Indonesia.
Menghadapi perkembangan ini, beberapa merek bereaksi dengan meningkatkan
tawaran kepada pelanggan mereka. Apple
misalnya, selalu melakukan inovasi terusr menerus terhadap pemutar iPod,
iTunes, iPhone, iPad, dan sebagainya. Demikian pula dengan Toyota yang telah
membuktikan dirinya sebagai salah satu produsen mobil yang paling inovatif.
Salah satunya adalah inovasinya pada mobil hibrida Prius. Contoh-contoh semacam
itu menunjukkan bahwa produsen bisa membangun daya saing dengan tidak terlalu
menggantung pada efisiensi, namun dengan berinnovasi melalui penciptaan nilai
dan inspirasi baru bagi pelanggan.
Apple terkenal sebagai perusahaan industry yang inovatif baik dari sisi
design maupun produknya sendiri. Termasuk dalam strategi komunikasi
pemasarannya. Masih ingat kehebohan yang terjadi prototipe iPhone 4G yang
hilang di sebuah bar dan didapatkan blog teknologi Gizmodo, April tahun lalu?
Ceritanya berawal dari Gray Powell, seorang yang bekerja di kantor pusat Apple,
yang tak sengaja meninggalkan prototype iPhone 4 di bar bernama Gourmet Haus
Staudt yang berlokasi dekat kantor Apple di California. Kecerobohannya ini
membuat orang-orang mengetahui beberapa detail mengenai iPhone 4G.
iPhone milik Powell ditemukan oleh seorang pengunjung bar. Sebenarnya,
orang itu telah mencari siapa pemiliknya. Namun karena tak ada yang mengaku,
dia lalu menggondol iPhone tersebut. Akhirnya, iPhone 4G itu jatuh ke tangan
Gizmodo. Menurut laporan, Gizmodo harus membayar ribuan dolar untuk mendapatkan
barang spesial itu yang lalu menuliskannya di blognya. Buntutnya, iPhone 4
banyak dibicarakan orang , bahkan nama Gray Powell sempat menduduki posisi 5
pencarian paling populer di Google.
Inovatif dan kreatif adalah konsep yang berbeda. Kreativitas adalah
tentang ide atau berpikir dengan cara yang berbeda tentang suatu masalah, atau
bahkan datang dengan ide-ide yang benar-benar baru. Sementara itu, innovasi
bisa diterjemahkan sebagai kreativitas yang diterapkan. Kreativitas juga tidak
sama dengan perbaikan, yang mungkin disebut 'kreativitas rutin'. Namun, baik
inovasi dan perbaikan membutuhkan kreativitas murni yang berfungsi.
Bila asumsi ini diterima, maka merek bisa berfungsi sebagai inspirasi
bagi kreativitas, memberikan arahan dan memberikan parameter dalam mana
kreativitas harus terjadi. Dengan kata lain, kreativitas harus pada merek.
Dalam kondisi pasar dimana konsumen dibanjiri dengan kampanye komunikasi
visual dan verbal yang menarik seperti sekarang ini, memahami pengertian
tentang merek sebagai entitas bermakna menjadi makin penting. Sebuah merek tetunya
tidak hanya memberikan sinyal atribut yang sama untuk suatu produk. Merek
memberikan makna tertentu yang membuat suatu pribadi menjadi makin berarti dan
relevan.
Pada kondisi ini, komunikasi pemasaran memainkan peran utama dalam
penciptaan makna merek. Ini karena iklan dan promosi cenderung menyuntikkan
keyakinan tertentu tentang merek ke pasar. Artinya ketika berkomunikasi dengan
komsumen, seorang pemasar tidak hanya sekadar menyampaikan makna merek, namun juga
harus mampu memprovokasi komponen pribadi yang relevan di dalam individu.
Dalam konteks inilah menjadi merek yang kreatif dan inovatif menjadi
penting. Kreativitas memang melibatkan kebaruan, tetapi kebaruan tidak harus “baru
bagi dunia." Lalu bagaimana? Saya kutip pendapat Leo Burnett tentang kreativitas
dalam periklanan. Menurut dia, kreativitas adalah seni membangun hubungan baru
dan bermakna antara hal-hal yang sebelumnya tidak berhubungan dengan cara yang
relevan, dipercaya, dan rasa yang baik.
Rempoa, 30 April 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar