The Changing of Indonesia Media
Environment
Lansekap media di
Indonesia kini benar-benar berubah, bukan hanya platformnya, secara geografis
juga bergeser. Terjadi paradoks yang cukup besar. Disparitas yang terjadi
antara kota dan pedesaan di Indonesia dalam mengakses media membuat praktisi
marketing communications harus memikirkan ulang strateginya.
Di banyak negara Eropa, pasar koran telah mencapai
tingkat kejenuhan. Ini terjadi sejak beberepa tahun lalu. Penelitian yang
dilakukan biro Audit Sirkulasi Media (26/10/2009) menyebutkan bahwa secara
keseluruhan sirkulasi koran mengalami penurunan. Rata-rata oplah 400 koran di
Amerika Serikat turun sekitar 10,6 persen dalam enam bulan terakhir tahun 2008,
dan April sampai September 2009, menjadi sekitar 30,4 juta eksemplar. Penurunan
ini lebih besar, jika dibandingkan dengan masa enam bulan sebelumnya, Oktober
2008 - April 2009, sebesar 7,1 persen. Fenomena ini memberikan gambaran bahwa
sebagai media penyampai informasi, koran menjadi kurang efektif dalam menjangkau
audience.
Bagaimana dengan Indonesia, hasil survei Nielsen
menunjukkan bahwa angka pembaca koran semakin menurun secara signifikan, dari
perolehan 28 persen pada kuartal pertama tahun 2005 menjadi hanya 19 persen
pada kuartal kedua tahun 2009. Survei Media Index ini dilaksanakan di 12
market, yakni di 9 kota besar di Indonesia dengan 3 greaters area. Kesembilan
kota itu adalah Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Medan,
Palembang, Makassar, dan Denpasar.
"Media Index tidak dilaksanakan di semua kota di Indonesia sehingga
tidak merepresentasikan kepembacaan Indonesia secara kesuluruhan,"
kata Ika Jatmikasari, Associate Director
Nielsen Media (Kamis, 16 Juli 2009).
Kuat dugaan yang terjadi di Indonesia adalah sebaliknya.
Penjualan koran di beberapa wilayah, terutama daerah kota tingkat II
menunjukkan gejala peningkatan.
Indikatornya, makin maraknya koran-koran di daerah tingkat II seperti Purwokerto, Malang, dan
sebagainya. Ini menjadikan koran masih efektif menjangkau audiense terutama di
daerah tingkat II. Perkembangan
lainnya, volume hampir semua media
cenderung meningkat. Halaman koran lebih tebal dan lebih banyak suplemen.
Televisi? Saat ini yang sudah mendapatkan izin mencapai
79 stasiun, terdiri dari 1 TVRI di pusat dan 13 di daerah, 10 TV swasta
nasional dan 35 televisi swasta lokal, 19 TV berlangganan, dan 1 TV komunitas.
Yang antri, sebanyak 176 lembaga penyiaran televisi di Indonesia tengah
mengajukan izin permohonan untuk siaran. Data terakhir menunjukan, penetrasi free
to air TV di Indonesia mencapai 80 persen dari total 53,5 juta rumah tangga
yang ada. "Ini pasar yang luar bisa," kata Ketua Komisi Penyiaran
Indonesia Pusat Sasa Djuarsa Sendjaja. Sebagian besar stasiun TV swasta
nasional itu mengudara selama 24 jam sehari.
Untuk radio, saat ini KPI sedang memproses izin penyiaran
yang diajukan sebanyak 1320 radio, terdiri dari 38 radio publik lokal, 913
radio swasta, dan 369 radio komunitas.
Sedangkan radio yang sudah dapat izin penyelenggaran penyiaran dan izin
siaran radio mencapai 1297 radio.
Makin besarnya volume media tersebut mempersulit praktisi
marketing communications untuk mengidentifikasi mereka. Yang pasti, stasiun
televisi – terutama di daerah – bertambah, akan tetapi pada satu kesempatan
hanya satu televisi yang ditonton. Bahkan waktu menonton televisi pun untuk
sebagian publik terbatas. Karena itu hanya televisi yang menampilkan acara
sesuai dengan kebutuhannya yang ditonton. Stasiun televisi lainnya
ditinggalkan. Selain itu, ada kecenderungan migrasi dari konsumen media
tradisional ke internet misalnya.
Hasil survei lembaga riset Nielsen menunjukkan penetrasi
internet di Indonesia tahun lalu mencapai 17 persen dari jumlah penduduk atau
naik dua kali lipat dibanding tahun 2005 yang hanya sekitar 8 persen.
Akibatnya, pengguna media-media lain seperti cetak dan elektronik beramai-ramai
mulai beralih ke internet.
"Pertumbuhan jumlah pengguna internet meningkat drastis
mengalahkan media-media lain. Pengguna radio yang tadinya mengonsumsi musik
lewat radio beralih ke internet untuk mendengarkan musik sekaligus bisa
men-download lagu ataupun music video. Para pengonsumsi media cetak seperti
koran juga sudah mulai banyak yang beralih ke internet karena bisa mengakses
berita lebih cepat. Jumlah pengakses berita melalui internet tumbuh 25
persen," kata Ika (8/12/2009).
Beralihnya minat masyarakat ke internet antara lain karena
daya tarik dari situs-situs jejaring sosial seperti facebook dan twitter yang
semakin berjamur di dunia maya. Data dari Nielsen mencatat pengguna facebook
tahun 2009 di Indonesia meningkat hampir 700 persen sejak tahun lalu. Demikian
juga pengguna twitter naik hingga 3.700 persen. Kebanyakan penggunanya adalah
mereka yang berusia 15-39 tahun.
Namun, dibalik
fenomena perkembangan tersebut, ada disparitas yang cukup mencolok. Banyak
daerah yang ternyata masih belu terjangkau siaran televisi. Di Kalimantan Tengah misalnya, sebanyak 866
unit desa atau sekitar 64% dari total jumlah desa yang mencapai 1.356 unit
desa, hingga saat ini masih belum tersentuh siaran televisi. Internet juga
sama. Sampai saat ini baru 32 ribu desa
di Indonesia yang sudah memiliki jaringan internet, sedangkan 40 ribu desa
lainnya belum tersambung. Pemerintah mentargetkan pemasangan sarana pengakses
dunia maya itu rampung awal 2010.
Bagaimana dengan
pengguna broadband yang memungkinkan akses ke internet melalui telepon seluler?
Saat ini diperkirakan jumlah pengguna layanan mobile broadband di Indonesia
yang diselenggarakan hampir seluruh operator GSM tercatat sekitar kurang lebih
2 juta pelanggan. Pada akhir tahun 2013 mendatang, diperkirakan jumlahnya akan
tumbuh sangat pesat menjadi 45 juta pelanggan.
Akan tetapi,
lagi-lagi ada disparitas. “Berdasar studi kami, rata-rata penetrasi di berbagai
wilayah pedesaan Indonesia hampir mencapai 50%,” kata Visnu Sigh, Regional Manager ConsumerLAB
MUSEA Ericsson. Fenomena itu terjadi di sebagian besar daerah rural. Misalnya
di Sumatra Utara dan Banten, hanya tercatat 40 persen. Di Pulau Jawa, di Banten
juga tercatat 40 persen, Jawa Barat 31 persen, Jawa Tengah 47 persen, dan Jawa
Timur 46 persen. Sementara di Kaltim 37 persen dan Sulsel 48 persen. Angka
penetrasi tertinggi tercatat di Riau, yaitu 77 persen.
Ini
menunjukkan adanya gap antara publik
kota dan bagian dari kota dalam mengonsumsi media, dimana wilayah kota mudah
dijangkau di sisi lain sulit dijangkau pesan-pesan yang ingin disampaikan oleh
praktisi marketing communications. Situasi ini menuntut praktisi marketing
communications untuk banyak akal.
Mencapai semua audiense memang masih memungkinkan. Akan tetapi, upaya
itu membutuhkan lebih banyak waktu, lebih banyak sumber daya, dan lebih banyak
biaya.
Fenomena
tersebut diperkaya dengan perkembangan media sosial, seperti blog, Facebook,
Twitter dan sebagainya. Saat ini di seluruh dunia terdapat 400 juta pengguna
Facebook aktif, rata-rata mereka mempunyai 130 teman, 50% di antaranya setiap
hari selalu membuka sehingga total 500 miliar menit per bulan waktu yang
dihabiskan para pengguna untuk melototi Facebook.
Di Indonesia, berdasarkan
survei Inside Facebook yang dilakukan eMarketer, jumlah pengguna Facebook di
Indonesia naik 1.431.160 juta pengguna dalam sebulan. Pada 1 Desember 2009,
e-marketer mencatat jumlah pengguna Facebook di Indonesia 13.870.120 pengguna,
sedangkan pada 1 Januari 2010 sebesar 15.301.280 pengguna. Indonesia hanya satu
peringkat di bawah AS yang mencatat kenaikan jumlah pengguna 4.576.220 pengguna
dalam periode yang sama dari 98.105.020 menjadi 102.681.240 pengguna.
Dalam buku Marketing to the Social Web, Larry Weber
menulis bahwa mempelajari dan mengaplikasikan teknik pemasaran melalui sosial
web bukanlah hal yang susah. Yang Anda butuhkan hanyalah mempelajari suatu cara
baru untuk berkomunikasi dengan audiens di dalam suatu lingkungan digital.
Rempoa, 28 April 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar