New Factors in Crisis Planning and Response
Sejak kasus klasik Tylenol pada 1982, aturan
dasar manajemen krisis memang tidak
banyak berubah. Namun kemajuan teknologi informasi dan komunikasi secara
radikal telah mengubah kerangka di mana aturan tesebut diterapkan
Pada awal 1990-an, Food Lion merupakan perusahaan jaringan supermarket
yang memiliki pertumbuhan paling cepat di Amerika Serikat. Dari tahun 1987
hingga 1991, laba bersih perusahaan tersebut tumbuh rata-rata 27% per tahun.
Pertumbuhan yang agresif berlangsung hingga pertengahan 1992. Sayangnya,
pada November 1992, jaringan televisi
ABC menyiarkan berita yang mengkritik kondisi yang tidak sehat di bagian
makanan dan daging. Berita tersebut menyebar luas dan berakibat buruk pada image
Food Lion hanya dalam waktu semalam. Pada akhir 1992, laba bersih Food Lion
turun 13% dari tahun sebelumnya (Hartley
1995).
Dalam contoh Food Lion, bisa jadi konsumen menangkap
fenomena yang berbeda antara efek karena adanya informasi baru mengenai penjualan yang toko yang sama dan keberhasilan toko Food Lion yang baru dibuka. Bagi pelanggan toko yang ada, informasi
barunya adalah tantangan terhadap sikap
mereka yang telah ada sebelumnya yang kini dipertentangkan dengan kondisi baru,
yakni sanitasi buruk. Untuk pelanggan di pasar yang
belum dilayani oleh Food Lion, cerita tentang sanitasi praktek
menciptakan kesan awal negatif. Jadi persoalan yang
dihadapi adalah bagaimana Food Lion bisa mengatasi persepsi kurang
baik dari
tayangan pertama tentang sanitasi buruk.
Ini
pula yang mungkin dihadapi nasabah Citibank kini. Selama bertahun-tahun,
Citibank dikesankan bank yang prudent dan patuh terhadap peraturan baik yang
sifatnya normative maupun positif. Namun tiba-tiba Citibank – dalam waktu yang
berdekatan (kalau tidak mau disebut sebagai bersamaan) – menghadapi ujian yang
mempertaruhkan image mereka tadi. Yang pertama adalah munculnya kasus
penggelapan dana nasabah oleh salah seorang eksekutifnya, Inong Malinda Dee.
Yang kedua, kasus kematian nasabah kartu kreditnya, Irzen Octa, yang dikaitkan dengan persoalan
cara penagihan dan lokasi meninggalnya yang berada di lingkungan bank tersebut.
Miranty
Abidin, Presiden Direktur Fortune PR, melihat bahwa kasus yang dihadapi
Citibank sangat berlapis dan telah mencoreng reputasi bank tersebut.
“Ini adalah suatu situasi khusus yang membutuhkan penangangan intensif karena
reputasi Citibank sedang dipertaruhkan di mata masyarakat,” kata Miranty kepada
MIX. Sayangnya, Miranty melihat strategi PR recovery yang dilakukan Citibank
justru kurang intensif.
Citibank
memang meminta maaf. Pertengahan Mei 2011, melalui iklan berjudul “Komitmen Kami untuk Indonesia”, Citibank
meminta maaf. Persoalannya, tak ada kata dalam iklan tersebut yang
mengindikasikan “pengakuan” atas kesalahan. Citibank hanya mengakui bahwa
persoalan yang menimpa Citibank mengakibatkan “ketidaknyamanan”.
Permintaan
maaf termasuk salah satu langkah yang disarankan oleh penulis buku Guerilla PR,
Michael Levine sebagai upaya perusahaan yang menghadapi masalah guna memulihkan
reputasinya. William L. Benoit melalui
bukunya, Accounts, Excuses, and
Apologies: A Theory of Image Restoration Strategies.(Albany, NY: State
University of New York Press, 1995) juga menyarankan demikian.
Selain
mengakui kesalahan dan mengambil tanggung jawab, Levine mengatakan bahwa yang
paling penting adalah menunjukkan langkah-langkah untuk memperbaiki situasi dan
mencegah berulangnya kembali kejadian tersebut. Sebuah permintaan maaf bisa
ditafsirkan bahwa tindak pidana itu tidak disengaja, tetapi harus mengakui
pelanggaran dan mengakui itu adalah "kesalahan kami." Sebuah
permintaan maaf tanpa upaya untuk “membayar
kembali” adalah omong kosong.
Sebagai
contoh Chrysler yang menghadapi krisis pada 1990-an. Ketika Jaksa mengancam akan
mengambil tindakan hukum setelah ditemukan bahwa pabriknya mengadakan
test-driving dengan odometers terputus.
Publisitas ketika itu sangat besar dan negatif. Para penesehat hokum Chrysler
menyarankan untuk melakukan pendekatan "tidak komentar". Sementara
itu public relationsnya mengatakan permintaan maaf. Lee Iacocca selaku chairman
pada waktu itu, dalam sebuah konferensi pers meminta maaf. Krisis pun berlalu
dalam waktu dua minggu. Berlalunya
krisis (dan publisitas), maka kepentingan dalam gugatan juga menghilang.
Apa yang terjadi dengan
Citibank? Beberapa hari setelah Bank Indonesia menjatuhkan sanksi, seyogyanya
persoalan yang menimpa Citibank selesai. Nyatanya, dua kasus tersebut
menyisakan persoalan. Menurut juru bicara Citibank Indonesia, Ditta Amahorseya,
Malinda bukan dipecat melainkan telah mengundurkan diri.
Pernyataan ini dibaca
publik, Citibank tidak melakukan tindakan atas stafnya yang diduga melakukan
tindak pidana itu. Citibank juga tidak menjelaskan langkah perbaikan (pembinaan
pada stafnya) untuk mencegah kasus serupa terjadi lagi. Tuntutan hukum juga
masih berlangsung, baik dalam kasus status karyawan Malinda hingga kasus
kematian Octa.
Sejak kasus klasik
Tylenol pada 1982, aturan dasar
manajemen krisis memang tidak banyak berubah. Aturan pada saat krisis
terjadi seperti mengidentifikasi
masalah, mengelola kelompok sasaran, pengendalian proses dan pesan, rencana
kerja, menanggapi pertanyaan dari luar (terutama media) secara cepat, jujur dan
orang per orang, dan berkomunikasi secara terus menerus, seakan telah menjadi
sesuatu yang baku.
Namun kemajuan
teknologi komunikasi secara radikal telah mengubah kerangka di mana aturan
tesebut diterapkan. Ada tuntutan pada manajemen untuk terus mengantisipasi
karena tekanan komunikasi yang kini berjalan secara instan. Mereka juga harus
memiliki pandangan pandangan yang lebih luas, terutama untuk mengantisipasi
sumber-sumber potensi masalah.
Ketika ribuan meninggal
di Bhopal, India, akibat kecelakaan industri terburuk dalam sejarah, tidak ada
CNN yang menayangkan breaking news ke seluruh dunia hanya dalam beberapa menit.
Tidak ada saluran faks antara kantor pusat Union Carbide di Danbury,
Connecticut, dan Bhopal.
Kini, teknik komunikasi
baru telah mengubah arena profesional PR harus beroperasi. Sebuah perusahaan
dengan merek dan image global harus siap untuk menanggapi secara global untuk
membela merek mereka. Kini, dengan teknologi internet dan seluler, sebuah
masalah di satu negara dapat dengan cepat menyebar ke negara-negara lain. Apa
yang terjadi sekarang dapat menyebar dalam hitungan detik menyebar ke semua
pasar lain.
Konsumen pun tidak akan
membedakan antara cokelat beracun di New York dan yang di Manila. Semuanya
dianggap beracun. Seseorang yang menghadapi masalah, pada pagi bisa jadi masih
bisa berha..ha..hi…. Namun, situasinya bisa berubah pada siang hari karena
lawan dari orang tersebut bisa jadi menyebarkan informasi yang “menghancurkan”
melalui social media.
Faktor lain adalah
kekuatan database yang terkomputerisasi dan mesin pencari, termasuk Google dan
You Tube, yang menggantikan perpustakaan kliping tradisional. Google misalnya
memberikan akses wartawan ke gudang besar informasi dan mendetail yang bisa
dijadikan latar belakang masalah, perusahaan, dan individu. Cerita di sebagian
besar Amerika Utara dan surat kabar Eropa, dan belahan dunia lainnya, tersedia
untuk siapa saja, langsung, dengan link computer, telepon dan modem. Sementara
melalui You Tube, wartawan bisa menemukan dan menayangkan gambar perempuan yang
selama ini “mengungsi” keluar negeri karna dituduh terlibat penyuapan.
Akses ini bisa menembus
ketertutupan perusahaan karena wartawan akan mencari sumber infomrasi lain.
Kebanyakan wartawan yang meliputi cerita krisis memang memiliki sedikit atau
tanpa pengetahuan dari perusahaan, produk atau industrinya. Mereka akan sering
wartawan berita umum yang telah ditugaskan untuk cerita dan perlu menjadi ahli,
cepat.
Namun, database Google
memberikan akses untuk melacak setiap artikel utama yang telah ditulis mengenai
perusahaan. Hal ini memiliki sejumlah implikasi penting bagi manajer krisis,
yakni setiap ketertutupan informasi justru akan menyulut bola liar. Bahayanya
adalah ketidakakuratan dari informasi yang dikutip wartawan karena mereka
mendapatkannya dari sumber lain. Dalam kasus Citibank misalnya, wartawan bisa
jadi akan menelusuri Citigold. Bisa jadi mereka menemukan apa dan bagaimana
Citigold dan kaitannya dengan Citibank.
Hal yang menguntungkan
Citibank saat ini adalah, Indonesia saat ini bermunculan banyak masalah. Hari
ini muncul suatu masalah, besok muncul masalah baru, dan hari berikutnya muncul
masalah lainnya. Pemberitaan media pun menjadi kurang fokus. Publik pun gampang
melupakan masalah. Anda masih ingat masalah Bank Century? Kedua, Citibank
seperti berhasil melokalisir masalahnya menjadi hanya masalah Malinda. Itu
kelebihan Citibank.
Rempoa, 7 Juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar