Mengkaji Ulang Tentang
Riset
Persaingan merek yang semakin keras memaksa pengelola merek
untuk memahami karakter konsumen sehingga bisa menawarkan produk yang sesuai. Untuk memahami bagaimana sikap dan
perilaku konsumen tersebut dibutuhkan riset. Disparitas antara konsumen kota
dan pedesaan dalam mengonsumsi media membuat
riset yang selama ini tersedia harus direvisi ulang. Riset tidak bisa
lagi dilakukan secara “rombongan” (multiclient atau omnibus), harus customize.
Selama ini research dilakukan dengan sample ibukota atau
kota-kota besar. Persoalannya, penetrasi media yang begitu besar, interaksi
antara satu kelompok dan anggota masyarakat satu dengan masyarakat menciptakan
perubahan, adaptasi, atau sikap risistensi yang begitu besar. Di sisi lain,
pemekaran kota dan pergerakan penduduk ke luar-luar kota begitu besar akibat
perbaikan sarana transportasi dan komunikasi menjadikan pasar tidak lagi
didominasi oleh publik di ibukota provinsi.
Seperti diketahui, sampel adalah sebagian dari populasi yang
memiliki ciri-ciri atau sifat-sifat yang sama dan atau serupa dengan
populasinya. Sesuai dengan rumusan tersebut, maka suatu sampel harus memiliki
ciri-ciri atau sifat-sifat yang dapat menggambarkan secara tepat sifat-sifat
populasinya. Sampel yang demikian dinyatakan sebagai sampel yang representatif.
Pemilihan sample yang tepat akan menghasilkan data yang valid dan reliable
sehingga hasil penelitian dianggap memiliki kredibilitas yang tinggi.
Dengan demikian dalam pengambilan sample -- untuk memperoleh
sampel yang representative -- ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan.
Pertama, keragaman sifat populasi. Kedua, besarnya sampel. Ketiga, kecermatan
dalam mengidentifikasi ciri-ciri populasi, dan keempat, teknik sampling yang
digunakan. Otonomi daerah dan pemekaran wilayah menjadikan pasar begitu
terfragmentasi berupa keragaman – setidaknya – tingkat arbsobsi media yang
begitu beragam. Karena itu, banyak pemasar yang merasa bahwa sample penelitian dengan tujuh atau kurang
dari sepuluh kota dianggap kurang memadai.
Provider XL misalnya, membagi resonden dalam kelompok
primary city dan secondary city. Selain untuk perencanaan program komunikasi,
riset juga dilaukan untuk melakukan tracking. “Jadi, saya bisa lihat riset
ternyata di primary city, misalnya Luna Maya talent nya sudah tidak cocok. Di
secondary city, juga Luna sudah turun,” kata Turina Farouk (Vice President
Marketing Communications XL). Karena itulah Luna kini tak lagi muncul di layar
kaca sebagai bintang iklan XL.
Namun menurut
bukan bukan antara pusat dan daerah. ”Lebih kepada analisa segmentasi konsumen.
Jadi, bukan berdasar geografi, tapi lebih pada lapisan-lapisan konsumen,” kata
Henny Minarti, Managing Director Mindshare. Beragam alternatif sudut pandang
dan metodologi penelitian memberikan wawasan tambahan dan memperluas
pengetahuan kita akan konsumen.
Sebagai contoh,
pentingnya peran faktor-faktor budaya dalam pesan iklan yang dapat mempertajam
kebudayaan dan memicu komunitas kini menjadi lebih dimengerti. Gambaran
keragaman budaya ini mengimplikasikan pada penggunaan bintang iklan misalnya.
”Lokalisasi ini bisa dilihat misalnya di Aceh, maka talent-nya harus berjilbab.
Pada masa Ramadhan, kampanye untuk wilayah Manado, Bali-Lompok, dan Papua,
tidak akan menggunakan tema Ramadhan. Hal-hal seperti inilah yang membaut kami
harus sensitive,” kata Turino.
Seua itu
implikasinya adalah pada biaya. Bayangkan untuk untuk survey dengan 1800
responden, diperkirakan menghabiskan biaya sebesar Rp 800 juta. Biaya itu tentu
akan lebih mahal bila pengelola merek menuntur pula penelitian yang memberikan
gambaran budaya yang menggunakan metodologi ethnografi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar