Satu-satunya publisitas
paling buruk adalah tidak adanya publisitas. Ini adalah pepatah tua yang sangat
dikenal kalangan public relations. Entah itu karena menyangkut priuk nasinya
atau bukan. Yang pasti ada perusahaan yang memang menyukai publisitas, meski
ada pula perusahaan atau pribadi yang sangat tidak menyukainya.
Mereka yang menyukai
publisitas tak segan-segan menyediakan uang dan waktu untuk kepentingan
publisitas produk atau merek-mereknya. Mereka membujuk-bujuk wartawan, editor
dan membawanya melancong keluar negeri dengan harapan, produk, merek atau
bahkan pribadi pengundang dipublikasikan. Salahkah?
Pada dasarnya public
relations (PR) bertujuan mengembangkan pengertian bersama antara perusahaan
atau personal dengan publiknya. Sebagian besar tujuan itu dilakukan dengan menyelenggarakan konferensi pers dan press
release. Namun, taktik itu kini berubah. Dan perusahaan konsultan PR atau PR
perusahaan yang sekadar melaksanakan itu pun mulai ditinggalkan.
Konferensi pers dan press
release memang tetap penting. Namun yang lebih penting adalah bagaimana
menciptakan publisitas. Kenapa publisitas? Pakar pemasaran Al Ries percaya
bahwa dalam batas-batas tertentu, publisitas mengalahkan iklan. Contoh
fenomenal adalah strategi Anita Roddick membangun merek The Body Shop yang
menjadi merek kuat dunia tanpa pengiklanan. Menurut Al Ries, kokohnya ekuitas
merek The Body Shop berkat upaya Roddick untuk terus-terus menciptakan
publisitas.
Agustus ini, Al Ries meluncurkan secara resmi buku
terbarunya bertajuk The Fall of Advertising and the Rise of PR. Buku ini
sekarang menjadi perdebatan di kalangan praktisi periklanan dan kehumasan
karena memuat pendapat yang sangat kontroversial tentang peran periklanan dan
kehumasan di masa yang akan datang.
Dalam buku ini Al Ries
bersama putrinya Laura Ries berpendapat bahwa public relations
(PR) atau kehumasan diam-diam akan menjadi bagian dari disiplin ilmu pemasaran
yang paling berkuasa. Ries memang masih melihat peran iklan dalam mekanisme
mempertahankan mind share brand atau produk yang sudah established,
tapi bukan sebagai alat untuk membangun brand atau produk baru.
PR-lah—khususnya publisitas dan kekuatan word of mouth—yang, menurut Al
Ries, mampu membangun brand baru.
Kini, banyak perusahaan yang
meniru Roddick dengan menciptakan aktivitas-aktivitas untuk publisitas.
Misalnya dengan mensponsori kegiatan-kegiatan olahraga dan seni yang sudah
pasti tujuannya adalah untuk publisitas. Bahkan aktivitas sosial – seperti
pemberian sumbangan banjir – pun dirancang agar berdampak publisitas. Susahnya,
seringkali peran PR disini hanya bisa menjelaskan tujuan dari kegiatan tersebit
secara normatif.
Rempoa, 26 Agustus 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar