Jumlah mereka besar. Mereka berpenghasilan, dan pengaruh mereka terhadap keputusan orang lain dalam membeli suatu produk juga luar biasa. Namun, hati-hati! Mereka juga cenderung tidak setia.
Kalau data sensus penduduk Badan Pusat Statistik dua tahun lalu masih menunjukkan populasi remaja di Indonesia berusia 15-30 tahun mencapai 28% dari total penduduk (sekitar 60 juta), dengan asumsi pertumbuhan 2,5 per tahun, kini jumlahnya diperkirakan mencapai 65 juta. Fantastik! Tak salah kalau generasi ini baik secara kualitas maupun kuantitas merupakan kekuatan sekaligus pasar yang sangat besar.
Secara kualitas, pengaruh mereka juga besar terhadap pasar. Sebab sebagai konsumen, daya beli mereka cukup tinggi karena sebagian dari kelompok generasi ini sudah ada yang memiliki penghasilan. Lihat saja beberapa pebisnis seperti pengelola media Go Girls yang masih belia, kelompok pemusik seperti Vierra muncul dari generasi ini. Salah seorang anggota, Kevin Aprillio, berencana membeli rumah dan mobil baru tahun ini.
Belum lagi yang mempunyai penghasilan tambahan sebagai “pedagang” online lewat Kaskus.com dan sebagai. Seorang mahasiswa saya bercerita bagaimana dia bisa mendapatkan penghasilan Rp 10 juta sebulan dari berjualan online mulai dari payung, cindera mata, hingga iPhone melalui situs Kaskus.com. “Sementara ini stop dulu Pak karena stok habis,” kata mahasiswa tadi.
Kedua, mereka influencer yang tinggi. Mereka sangat mempengaruhi keputusan pembelian oleh orang tua mereka, dan mempengaruhi keputusan pembelian teman-temannya. Dalam survei yang dilakukan Majalah MIX-MarketingXtra, awal Desember lalu, ketika ditanyakan siapa yang paling mempengaruhi mereka ketika membeli sesuatu, yang paling besar jawabannya adalah pengaruh teman dekat, anggota jejaring sosial yang dikenalnya, dan dunianya, yakni anggota komunitas sosial yang mungkin tidak dikenalnya.
Prestasi beberapa merek seperti Yaris – mobil keluaran Toyota, Honda Jazz, Acer Aspire One, dan IM3 yang membidik segmen ini memperkokoh anggapan bahwa segmen ini memang menarik. Karakter khas youth dan netizen ini adalah selalu mengikuti tren. Mereka sangat aktif di dunia online. Saking aktifnya, mereka menyebut dunia online sebagai second life. Kekuatan jaringan (networking) dalam kelompok mereka sangat kuat dan menganggap teman adala segalanya. “Pengambilan keputusan mereka sangat dipengaruhi oleh pendapat teman-teman atau kelompoknya. Anak muda yang merupakan netizen akan menjadi opinion leader bagi teman-temannya,” kata Teguh Prasetya, Group Head Brand Marketing Indosat.
Mereka yang sering disebut sebagai generasi Y -- Don Tapscott dalam Grown Up Digital (McGraw Hill, 2009) menyebut mereka sebagai Net-Generation -- dibesarkan pada era ringkas dan padat, mempunyai waktu luang kurang dari 3 jam. Karakter mereka, menurut riset Nielsen, sangat menginginkan interaktivitas, mencari pengalaman panca indera langsung dalam pemasaran, mendambakan kecepatan (growing impatience), haus akan pengalaman (activation) dan gaya hidup yang bergerak cepat dan selera yang cepat berubah (prosumer). Interaksi mereka dengan media sosial membuat mereka kritis, dan anti pemaksaan. Yang tak kalah pentingnya, mereka ingin menjadi pendamping produsen dalam menciptakan produk dan jasa.
Generasi ini memiliki karakter yang berbeda dengan generasi kini atau sebelumnya. Bila orang tua kini – yang sebagian besar dilahirkan pada era televisi – memiliki pandangan bahwa sesuatu harus fokus, remaja kini inginnya mengerjakan semua dalam satu waktu. Jadi – dalam pendidikan misalnya -- kalau kuliah ya kuliah saja hingga selesai. Di sisi lain, calon mahasiswa sekarang yang lahir pada era internet dan besar dalam teknologi seluler serta komunitas media sosial -- dimana seseorang bisa mencela manakala kecewa dan menyebarkannya ke komunitas lainnya -- paradigmanya terhadap dunia berbeda total. ”Anda kini bisa melihat remaja yang bisa melakukan lima aktivitas dalam satu kesempatan,” tulis Don Tapscott.
Dalam Grown Up Digital, Tapscott membagi generasi berdasarkan umur. Ada generasi baby boomer (lahir pada 1946-64) yang besar di era televisi sehingga dia menyebutnya sebagai generasi televisi. Ada generasi X (lahir pada 1965-76) yang disebut Tapscott sebagai baby bust karena kelompok umur ini merasa dikeluarkan dari kelompok sebelumnya dan masuk ke angkatan kerja hanya untuk menemukan celah-celah posisi karena semua posisi telah diisi oleh saudara-saudaranya.
Yang ketiga adalah net-generation, Gen Y, atau Milenium yang lahir pada 1977-1997. Menurut Tapscott, generasi ini -- usia 11- 31 tahun -- secara mudah berinteraksi dengan beragam media hanya melalui alat berlayar ukuran dua inchi. Mereka menggunakan handphone-nya untuk beragam aktivitas. Untuk berbicara, mengecek serta membalas email kita. Mereka menggunakan handphone untuk kirim pesan, berselancar di dunia maya, bermain game, mencari arah atau jalan, mengambil gambar dan membuat video. Mereka Facebook-an setiap saat, termasuk saat bekerja atau belajar, atau memberitahukan status mereka melalui Twitter kapanpun dia mau.
Dalam perspektif ini, Tapscott memang berbeda dengan Joseph Jaffe yang pada pada 2007, melalui buku Join the Conversation, memperkenalkan generasi i atau generasi “aku” yang tidak bisa “diatur” oleh orang lain. Dalam pandangan Jaffe, generasi i tidak ada kaitannya dengan umur atau demografis lainnya, melainkan pada mind-set. Generasi i adalah segala sesuatu tentang, ”Apa yang telah kau lakukan buat saya kemudian.” Mereka tidak bisa dikontrol. Generasi “i” adalah siapapun yang memiliki perasaan muda di hatinya, pribadi yang hidup dengan semangat dan kegiatan, sispapun yang merasa diberdayakan oleh sisi sosial dari media baru. Ini adalah lingkungan yang juga diberdayakan oleh internet, pengalaman, database dan teknologi.
Jaffe menyebut bahwa di dalam generasi ini hegemoni telah mati dan dikalahkan oleh kemitraan (partnership). Ahli filsafat politik Italia, Antonio Gramsci, menyebut hegemoni sebagai dominasi suatu kelompok dalam mengontrol kelompok lain dengan damai. Berbeda dengan manipulasi atau indoktrinasi, hegemoni terlihat wajar, orang menerima sebagai kewajaran dan sukarela.
Menurut Tapscott, meski sama-sama memanfaatkan internet dan telepon seluler, ada perbedaan norma hidup yang nyata antara net-generation dan generai sebelumnya. Harus diakui bahwa ketergantungan generasi X terhadap handphone juga besar. Di sebagian besar wilayah misalnya, interaksi masyarakat dengan media sosial juga cukup besar. Di Indonesia misalnya, data ihub media – perwakilan Facebook di Indonesia – menunjukkan bahwa per Juni 2009 pengguna Facebook di Indonesia mencapai hampir 7 juta. Data per Oktober mencapai 10 juta pengguna.
Sebagian besar penggunanya memang usia 18-24 tahun, namun pengguna usia 25-34 tahun juga besar. Seorang teman yang mengelola halaman Arek-Arek Gresik di Facebook mendapati bahwa dari 4040-an anggotanya, 40 pesen ternyata usianya diatas 35 tahun. Motif para senior memiliki halaman Facebook umumnya adalah untuk mencari teman-teman lama. Selain sharing idea, mereka juga ingin bernostalgia dengan teman-teman lamanya sambil mencari-cari peluang usaha kerjasama. Hanya sedikit yang mencari teman baru.
Ini menunjukkan bahwa karakteristik penggunaan internet dan konsumsi media sosial antara generasi X dan Net-Generation memang bebeda. Menurut Tapscott, generasi sebelumnya memang menggunakan internet dan handphone. Bedanya, kalau generasi sebelumnya membuka internet misalnya, sekedar seperlunya dan cuma membaca, generasi yang disebut Tapscott sebagai net-generation selalu ingin menciptakan atau mengubah isi dalam web.
Generasi X juga mengunjungi YouTube. Bedanya, kalau generasi X melihat YouTube untuk mengecek atau ingin menonton video yang dia dengar dari cerita, Net Generation menggunakan YouTube sepanjang hari misalnya, untuk mencari sesuatu yang baru. Anda membeli gadget baru dan membuka manualnya untuk mengerti bagaimana cara menggunakannya, anak Anda membeli gadget dan langsung menggunakan tanpa perlu membaca manualnya.
Situasi ini membangun generasi yang norma-normanya menjadi berbeda dengan sebelumnya. Sabtu di November 2009 lalu, Bayu -- anak saya – lupa kapan dia harus audisi band-nya di HardRock Cafe. Saya bilang, ”Coba telepon temanmu.” Namun, beberapa menit kemudian, saya lihat Bayu membuka halaman Facebook-nya. “Lho kok malah Facebookan?”
“Beda Pak. Kalau Bapak dulu kontak dengan teman, pakai telepon yang belum tentu diangkat atau dijawab. Sekarang pakai Facebook atau Twitter malah lebih cepat,” jawab Bayu.
Menurut Tapscott, kebebasan, customization, kecermatan, integritas, kolaboratif, entertainment, kecepatan, dan inovasi selalu melekat pada diri remaja generasi jejaring itu (net generation). Sebagai karyawan, net generation melakukan kerja dengan pendekatan kolaboratif, tidak terikat pada hirarki dan mendorong perusahaan untuk memikirkan ulang bagaimana mereka merekrut, menggaji, mengembangkan dan memantau bakat.
Pada generasi X, ketika lulus dari perguruan tinggi, mereka bangga dengan pekerjaan pertama mereka. Generasi ini begitu tinggi menghargai kerja pertama seakan-akan menjadi sandaran hidupnya. Tetapi, waktu berubah. Anak-anak tidak melihat alasan untuk berkomitmen, setidaknya untuk kerja pertama mereka. Net-Generation yang mempunyai kineja tinggi paa usia 27 tahun setidaknya telah mengalmi lima kali pindah tempat kerja. Menurut penelitian, rata-rata 2,6 tahun mereka menetap pada satu kantor. Mereka ingin bebas!
Interaksi mereka dengan teknologi membebaskan mereka dari belenggu ruang dan waktu kantor tradisional. Internet mengajarkan mereka tentang kebebasan untuk memilih apa yang mereka beli, dimana mereka bekerja, dan kapan melakukan sesuatu seperti membeli buku atau bercakap dengan temannya, bahkan menjadi apa. Mereka mengintegrasikan rumah mereka dan kehidupan sosial dengan kehidupan kantor. Harapan mereka adalah bekerja dengan waktu yang fleksibel dan imbalan yang sesuai dengan kinerja dan pasar. Mereka tidak takut hengkang ke tempat lain bila mendapat tawaran imbalan lebih tinggi, lebih menantang, memberi banyak kesempatan untuk travelling, atau hanya sebuah perubahan.
Tapscott mengutip hasil penelitian psikolog Profesor Jean Twenge yang menyebut net-generation ini sebagai Generation Me – generasi yang paling narsis dalam sejarah. Narsis, menurut Twenge, memiliki sesuatu yang positif dan pandangan yang berlebihan tentang dirinya sendiri. Mereka pikir mereka lebih penting dan lebih powerful daripada mereka yang sebenarna. Ini merupakan dampak dari hubungan personal. Twenge lalu mengingatkan akan bahayanya. Narsis, menurut Twenge, bisa menyalahgunaan obat dan alkohol, membuat keputusan yang berisiko, gambling dan menghina orang.
Namun, Tapscott mengingatkan, inti penggambaran perubahan di atas adalah jika memahami net generation, Anda akan memahami masa depan. Anda akan memahami bagaimana kelembagaan dan masyarakat kita hari ini perlu berubah. Kenapa? Net-Generation ibarat tsunami akan mengubah landscape sosial. Kini kita hidup dalam dunia yang penuh skeptisisme karena perubahan cepat yang terjadi.
Beberapa perusahaan seperti Intel dan Google mengakomodasikan aspirasi mereka. Banyak karyawan Intel yang bekerja jarak jauh, sementara staf lainnya bekerja dengan waktu yang fleksibel. Bahkan Best Buy – peritel di bidang peralatan elektronik – mulai membangun budaya kerja yang bisa menjadi daya tarik net-generation. Melalui program yang disebut ROWE, Best Buy mengizinkan karyawannya – sesuai dengan bidangnya dan memungkinkan -- untuk bekerja kapanpun mereka mau dan dimana saja, asal mereka dapat menyelesaikan tugas yang menjadi tanggungjawabnya.
Dalam konteks delapan norma yang melekat pada net-generation, sebagai konsumen net generation menginginkan kebebasan (Fredom: Beri kami pilihan dan yang lebih banyak lebih baiknya), Customization (Buat kami menjadi diri kami sendiri), Scrutiny (Saya akan lihat dan cek dulu sebelum pergi departemen store), Integrity (Apakah perusahaan menghargai ini uang saya?), Collaboration (Izinkan saya membantu produk atau jasa Anda menjadi lebih baik), Entertainment (Buatlah ini menjadi menyenangkan), Speed (Layani saya sekarang!), dan Innovation (Beri kami yang terbaru!)
Lalu bagaimana mengakomodasi aspirasi tersebut? Diakui atau tidak Net-Generation mendorong kita untuk memikirkan ulang konsep marketing. Disini Tapscott merumuskan Marketing 2.0 dengan Anyplace, Brand, Communication, Discovery, dan Experience (ABCDE Marketing 2.0).
Dalam konteks ini, kalau kita membidik pasar Net-Generation, Tapscott menyarankan kepada kita untuk tidak fokus konsumen kita, tapi merangkul mereka; tidak menciptakan produk atau jasa, tapi menciptakan pengalaman; Mengurangi secara radikal iklan melalui televisi, Mengembangkan suatu strategi yang nyambung ke jejaring N-Fluence; Memikirkan ulang brand Anda; Memasukkan integritas ke dalam DNA perusahaan dan kampanye pemasaran; dan Menggerakkan Net-Generation ke dalam pusat kampanye pemasaran Anda.
Rempoa, 4 Januari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar