Inilah ajang baru medan perseteruan antara dua perusahaan raksasa Procter & Gamble Co (P&G) dan Unilever. Keduanya kini berlomba menjadi perusahaan dengan strategi pemasaran paling etis (ethical marketing).
Selama ini mereka berseteru memperebutkan market share untuk setiap produknya di pasar global, kini mereka berseteru dalam program Corporate Social Responsibility (CSR). “Ini persaingan paling seru. Tak ada yang lebih seru dari persaingan P&G dan Unilever, yakni untuk meraih predikat sebagai perusahaan penyelamat dunia,” kata Bill Gates, owner Microsoft, pada acara Word Economic Forum di Davos, Switzerland, baru-baru ini seperti dikutip Adage.com awal Maret lalu. Tahun lalu Unilever meraih penghargaan tertinggi dalam hal ethical marketing global dari perusahaan monitoring public relation Covalence serta penghargaan Botwinick Prize dari Columbia University berkat kampanye Dove “Real Beauty” yang mampu “menghipnotis” 5 juta wanita muda sehingga tampil lebih percaya diri.
P&G pun tak mau kalah. Tahun ini P&G akan mengucurkan bujet sangat besar untuk program perbaikan lingkungan dan bantuan kemanusiaan sebagai strategi ethical marketingnya. “Apa yang dipertontonkan oleh keduanya membuktikan bahwa isu global lingkungan atau kepedulian terhadap kelangsungan dunia bisa menjadi lahan strategis dalam memasarkan brand,” papar Bill Gates.
Sedikitnya ada delapan produk P&G mempunyai kampanye iklan yang bergembar-gembor tentang lingkungan atau support bantuan (filantropi). Seperti pada kampanye produk Always dan Tampax, berupa bantuan sanitasi kepada gadis-gadis sekolah di Afrika. Sedangkan dukungan untuk produk Pantene ditempuh dengan kampanye mengumpulkan potongan-potongan rambut untuk dijadikan wig dan kemudian membagikan wig tersebut kepada pasien kanker.
Kendati P&G dan Unilever memahami harapan untuk memperoleh keuntungan besar dari program ethical marketing, namun keduanya tidak menyadari bahwa upaya tersebut sebagian besar untuk konsumsi intern (corporate). Pasalnya, program tersebut belum seutuhnya didukung oleh tenaga pemasar (marketer) yang berfikir, bertindak dan berbuat secara ethical marketing.
Karenanya, upaya mengantisipasi bias tersebut, para petinggi dan senior perusahaan melakukan training dan penyeleksian (screening) terhadap para marketer baru yang direkrutnya. “Kami memahami individu (karakter) para marketer muda itu berjiwa bebas dan sangat sukar beradaptasi dengan aturan perusahaan. Melalui screening, marketer baru kita arahkan sesuai program perusahaan, yani peduli terhadap lingkungan dan masa depan dunia,” kata Kevin Havelock, president Unilever global.
Strategi ini mirip dengan kisah klasik perusahan-perusahaan global yang telah sukses sebelumnya dimana mereka meniupkan citra simpati lewat program filantropi. Sebab, ungkap Officer Marketing Global P&G Jim Stegel, strategi ini memiliki dampak emotional yang sangat besar dan memberi support yang dahsyat bagi citra positif perusahaan.
Ethical marketing kini sudah menjadi mainstream untuk tiap aktivitas promo produk maupun komunikasi iklan. P&G mengimplementasikan dengan kucuran dana US$20 juta untuk mensuplai 2 miliar liter air bersih bagi penduduk di Afrika guna menyelamatkan 10.000 lebih penduduk di sana dari ancaman kekeringan dan kekurangan air bersih tahun 2012. Dengan menggunakan bubuk penjernih (Purifer of Water) Pur dari P&G, sanggup menjernihkan air keruh dalam sekejap. Sayangnya, penduduk di sana tidak cukup uang untuk membeli bubuk pembersih Pur Purifer of Water. P&G juga sudah memberi lisensi kepada Canada’s Reliance Product untuk memproduksi Pur Purifer of Water berkaitan dengan program latihan kesiapan bencana yang digelar pada Februari hingga Maret 2008.
Tak pelak, strategi ethical marketing P&G ini menggugah ARS Group untuk diikutsertakan dengan membentuk divisi ARSGreen, yakni divisi yang menangani riset, penyusunan program hingga mengevaluasi aktivitas promo kepedulian lingkungan. ARS Group selama beberapa dasawarsa membantu riset P&G. Bahkan, ARS Group menyatakan siap mendukung program advertising P&G untuk lingkungan (green ads). Divisi yang menanginya adalah ARSGreen.
“Green ads kini sangat populer. Green ads diibaratkan tindakan mengingatkan atau membujuk orang lain. Tentunya, tindakan itu diarahkan untuk hal yang positif,” kata Ashley Grace, president ARSGreen sekaligus direktur riset di ARS Group.
Menurut data, ujarnya, sekitar 1 dari 50 iklan biasanya mempunyai nada negatif. Berdasarkan riset selama beberapa dasawarsa, ARS sudah membuktikan bahwa nada negatif muncul pada iklan mengangkat masalah tanpa menawarkan pemecahan nyata (solusi). Namun pada green ads (iklan hijau), nada negatif tidak kentara. Bahkan, berdampak sangat luar biasa. “Green ads sanggup menggores jiwa konsumen,” jelasnya.
Dibandingkan dengan iklan biasa yang hanya mengungkapkan keunggulan produk seperti yang dilakukan perusahaan industri dan consumer goods, pesan iklan bergema hanya 10%-15% dari konsumen. “Untuk green ads, gemanya mencapai 75% lebih atau bisa menggoyangkan dua pertiga jumlah konsumen, termasuk green ads untuk iklan tentang kesehatan, lingkungan (environtment) atau pesan kemanusiaan (humanity),” tandas Ashley Grace. Riset juga mengungkapkan bahwa green ads umumnya dibenci agensi, khususnya para creative iklan, karena tidak perlu ekplorasi ide yang mendalam.
Jelas bahwa ethical marketing benar-benar bisa membuat perbedaan di jiwa orang. Misalnya, sejak Pantene P&G meluncurkan program kampanye ”Beautiful Lengths” pada 2006 untuk memohon seuntai rambut untuk ditenun menjadi rambut palsu (wig) dan kemudian wig itu diberikan kepada penderita kanker, ternyata mendapat sambutan luar biasa. Sumbangan helai rambut dari publik sangat berlimpah hingga bisa menghasilkan 3.000 wig. Padahal, untuk membuat 2.000 wig butuh waktu 10 tahun dari para dermawan yang menyumbang ke organisasi amal Locks of Love.
Kampanye ”Real Beauty” yang diusung Unilever tahun lalu akhirnya dihentikan setelah perusahaan meraup penjualan yang fantastik karena akan digantikan model kampanye yang lain. Kampanye ”Real Beauty” – walaupun banyak cara untuk bisa tampil cantik - sempat menuai kritik dari sejumlah kalangan. Demikian pula untuk produk Dove dari P&G yang dluncurkan tahun 2007, edukasi dan promo yang gencar dilakukan ternyata tidak mampu mendongkrak penjualan mengingat harga produk yang tidak bersaing.
Aspek lain yang juga menjadi kunci penting untuk menyukseskan program ethical marketing atau pun gree ads adalah objective program. Seyogyanya muatan pesan sungguh-sungguh berpijak pada nilai-nilai humanity dan objektif tanpa dilandasi unsur kepentingan tertentu. Sebab, menurut Kevin Havelock, publik itu sangat sensitif dan mereka sangat skeptis terhadap berbagai hal.
”Perusahaan atau semacamnya punya posisi tanggungjawab sosial. Setidaknya, tanggungjawab sosial itu benar-benar diarahkan untuk hal obyektif bagi semua pihak, bukan mendisriminasikan pihak-pihak yang lain,” ingat Havelock. "Kalau Anda melakukannya secara benar, dengan nada dan keaslian benar, konsumen pasti mengganjarnya dengan hal yang baik pula," tandas Jim Stengel. Jakarta, 11 Maret 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar