Hari ini
saya membaca rubrik Persona Harian Kompas. Isinya mengupas tentang gagasan
William Wongso, penggiat dan chef kuliner Nusantara. William Wongso, “Saatnya
Diplomasi Makanan.” Sebagai pakar, William
mengetahui persis potensi kuliner Indonesia sehingga dia yakin betul, kuliner Indonesia
bisa membantu mengangkat brand Indonesia. Karena itulah, William – seperti ditulis
majalah MIX-Marketing Communications edisi September 2011, merasa perlu mempromosikan
kuliner Indonesia ke dunia internasionaldan dia memulainya sejak tiga tahun
lalu, tanpa seorang sponsor pun. William lalu bercerita bagaimana ia mulai
memperkenalkan Rendang ke dunia internasional.
CULINARY DIPLOMASI
Diplomasi
kuliner berfungsi sebagai suatu perekat dalam melakukan diplomasi budaya.
Indonesia yang memiliki banyak ragam kuliner, bisa melakukan itu. Di beberapa
negara di Asia, kesadaran akan pentingnya Gastrodiplomacy sebagai elemen
penting destination branding telah muncul sejak satu dasawarsa yang lalu.
Negara seperti Thailand, Korea, Singapura dan Taiwan sudah memiliki program
yang khusus dibuat untuk memperkenalkan kekuatan kulinernya kepada dunia.
Pada
1959, pemerintahan Eisenhower melancarkan program Food for Peace (berdasarkan
Undang-undang Publik nomor 480) dengan mengirim surplus produk makanan ke US
luar negeri guna membantu negara-negara yang dilanda kelaparan.
Tujuh tahun lalu, ketika sebagian wilayah
Asia, termasuk Indonesia, dilanda tsunami, pemerintah AS juga mengirimkan
bantuan darurat termasuk penyediaan stok pangan. Langkah ini secara tidak
langsung ikut memoles citra pemerintah AS di mata internasional yang saat itu
menjadi sorotan banyak negera, terutama negara dunia ketiga, paska keterlibatan
mereka di Irak dan Afganistan.
Selain
bantuan dalam bentuk bantuan bahan pangan, Departemen Luar Negeri AS juga
melakukan diplomasi kuliner dengan menggunakan karyawan Kedutaan Besar AS di
luar negeri. Mereka memasak untuk mempromosikan resep Amerika di negara pos
mereka masing-masing,
Di
Praha, ibukota Ceko, diplomasi kuliner AS dilakukan oleh para staf Kedutaan
Besar-nya dengan mengunjungi sekolah-sekolah kuliner. Mereka mengajar
mengajarkan siswa Ceko tentang resep tradisional Amerika seperti roti daging,
kentang tumbuk, sambil membahas berbagai aspek kehidupan di Amerika.
Beberapa
staf Kedutaan Besar AS juga muncul di televisi Armenia untuk menawarkan
penghargaan dan mengumumkan pemenang lomba resep makanan berbahan cabai. Sambil
tampil, lagi-lagi para staf kedutaan itu membahas kehidupan di America. Tak
lupa pula mereka mengutip pepatah lama yang menjadi kata kunci diplomasi publik
Amerika, yakni "… to taste us is to love us."
Boleh
jadi diplomasi kuliner itu sudah kuno sebagai jalan untuk melakukan pertukaran
budaya. Dibandingkan konteks kerjasama
perdagangan, kuliner telah sejak dulu digunakan sebagai alat diplomasi.
Artinya, sejak dulu orang sudah melakukannya, seperti yang dilakukan Eisenhower.
Diplomasi
kuliner berfungsi sebagai suatu perekat dalam melakukan diplomasi budaya. Ini
karena kuliner memungkinkan orang untuk ambil bagian dalam adat istiadat
universal sambil menyoroti kesamaan atau memperkenalkan perbedaan. Kuliner juga
dapat mempromosikan nilai-nilai atau perbedaan eksotis bangsa. Ini karena
mengkonsumsi makanan merupakan sebuah pengalaman yang universal.
Dalam
buku PLACES: Identity, Image and Reputation, pakar nation branding Simon Anholt
menceritakan pengalaman perdebatan tentang nation branding pada konferensi
tentang diplomasi public di Inggris, Maret 2007. Dalam konferensi itu, peserta
berdebat soal hubungan antara diplomasi publik dan competitive identity.
Para
peserta melihat persoalan itu dari sudut pandang yang berbeda. Yang pertama
melihat dari perspektif hubungan internasional dan yang lainnya dari sudut yang
lebih komersial. Anholt
sendiri melihat diplomasi publik sebagai subset (irisan) dari competitive
identity.
Dalam konteks ini Anholt, secara tidak langsung ketika seseorang
menampilkan dirinya ke orang lain dan berada di negara lain, pada dasarnya
mereka menampilkan competitive identity bangsa. Sementara itu, diplomasi publik
sejatinya lebih mempresentasikan kebijakan pemerintah kepada publik negara
lain.
Menurut
teori competitive identity, kebijakan pemerintah hanya satu titik dari enam
komponen yang membangun image suatu bangsa. Dari sudut pandang ini, diplomasi
public mencerminkan salah satu aktivitas
nasional, sementara competitive identity yang menyelaraskan menyelaraskan
kebijakan, orang, olahraga dan budaya, produk, pariwisata, promosi perdagangan
dan investasi serta talenta.
Pada
2002, begitu mengetahui di banyak negara terdapat restoran Thailand, pemerintah Thailand melancarkan program
kampanye Global Thailand sebagai cara untuk meningkatkan jumlah restoran
Thailand.
Kenapa pemerintah Thailand terlibat aktif dalam kuliner? Pemerintah
Thailand melihat bahwa ledakan jumlah restoran Thailand di beberapa negara,
tidak hanya memperkenalkan makanan Thailand yang lezat pedas kepada ribuan
orang dan membujuk lebih banyak orang untuk mengunjungi Thailand, namun secara
halus bisa membantu meningkatkan hubungan Thailand dengan negara-negara
tersebut.
Beberapa
waktu lalu, Korea Selatan melancarkan Diplomasi Kimchi dan Taiwan meluncurkan
Diplomasi Dim Sum. Disini pemerintahnya terlibat dalam diplomasi kuliner untuk
membantu meningkatkan pengakuan global atas nation brandnya. Sementara itu,
negara lain telah mulai menggunakan pasar malam sebagai alat untuk melakukan
diplomasi public. Malaysia misalnya baru-baru ini mendirikan sebuah pasar malam
di tengah-tegah London Trafalgar Square.
Bagaimana
dengan Indonesia? Dalam banyak hal, seyogyanya Indonesia bisa memanfaatkan
dilpomasi kuliner. Ini karena derah-daerah di Indonesia menyimpan kekayaan
kuliner khas, termasuk rempah-rempahnya yang sejak dulu menjadi rebutan
negara-negara Eropa.
Dalam
beberapa tahun terakhir, Indonesia mulai kampanye diplomasi kuliner di Amerika Serikat. Melalui Kedutaan Besar
Indonesia di Washington, Indomesia membentuk
suatu Restaurant Task Force in
2008 guna membantu mempromosikan restoran Indonesia serta meningkatkan
kesadaran bahwa Indonesia adalah sebuah bangsa yang kaya kuliner. Selain itu,
keberhasilan buku dan film "Eat Pray Love" oleh Elizabeth Gilbert
membantu dalam membuat dunia melihat khazanah kuliner Indonesia.
Agustus
2011 lalu, KBRI di Kolombo, Sri Langka, bekerja sama dengan Discovery Kartika
Plaza Hotel-Kuta, Sanggar Seni Indah Prima-Legian dan Taj Samudra Hotel-Colombo
menyelenggarakan the 2011 Indonesian Food Festival , di restoran Latitude, Taj
Samudra Hotel. Beberapa hari lalu, rending dan nasi goreng dinobatkan sebagai
masakan terfavorit di dunia. Dengan demikian, sekarang adalah waktu yang tepat
bagi Indonesia untuk memulai kampanye diplomasi kuliner yang kuat.
Mengingat
kuatnya hubungan antara kuliner dan identitas, tidak mengherankan bila ada
anggapan bahwa makanan telah menjadi penanda tempat penting dalam promosi
pariwisata.
Salah satu alasan mendasar tentang ini adalah hubungan yang kuat
antara lokasi tertentu dan jenis makanan tertentu. Hughes (1995: 114) menunjukkan adanya hubungan alami antara
lokasi di suatu daerah, kondisi iklim dan karakter makanan yang dihasilkannya.
Dengan kata lain, perbedaan geografis mengekspresikan kekhasan daerah
dalam tradisi kuliner .
Kuliner
daerah memiliki potensi besar sebagai sarana untuk mengembangkan dan memasarkan
daerah pariwisata ke seluruh dunia. Jika keahlian memasak bisa dihubungkan
dengan negara atau wilayah tertentu, maka keahlian itu dijadikan sebagai alat
pemasaran pariwisata.
Dalam pandangan wisatawan, keaslian selalu dipandang
sebagai sebuah aspek penting dari pariwisata. Dan mencari makanan local atau
regional yang 'otentik' dapat menjadi motif untuk mengunjungi negara atau
daerah tujuan tertentu.
Banyak
negara dan wilayah di seluruh dunia mulai menyadari potensi ini dan menggunakan
keahlian memasak ke pasar sendiri. Boyne et al. (Bab 6) dan Jones dan Jenkins menunjukkan
bahwa makanan bisa digunakan sebagai kendaraan untuk reposisi Skotlandia dan
Wales misalnya. Dua wilayah tersebut telah mengembangkan program pemasaran yang sama:
"A Taste of Scotland 'dan' A Taste of Wales '.
Inisiatif
kampanye pemasaran A Taste of Scotland bisa menciptakan sebuah skema baru dalam
hubungan antara perusahaan dan penduduk
setempat. Disini perusahaan yang berpartisipasi setuju menyediakan hidangan
'tradisional’ atau menggunakan produk yang dikenali dan bisa didapatkan di
Skotlandia. (Hughes 1995: 114).
Hughes
berpendapat bahwa skema Taste of Skotlandia berhasil membangun sebuah legenda
makanan untuk Skotlandia. Legenda ini kemudian dapat digunakan sebagai alat
pemasaran. Skema serupa juga dapat dijumpai di daerah lain.
Di Alto Minho,
sebuah wilayah di Portugal, misalnya, badan pariwisata wilayah itu mencetak
buku resep untuk memberikan pengunjung
kesempatan untuk 'membuat memori tentang makanan yang dinikmati di wilayah itu
menjadi abadi. Edwards et al. (2000: 294)
berpendapat bahwa kuliner merupakan elemen penting dari citra merek Alto
Minho.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar