Riset ethnography kini naik daun. Banyak produk sukses yang diluncurkan atau
diluncurkan kembali berdasarkan hasil
riset ethnography. Meski demikian, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Jika ingin membangun brand yang kuat, jangan sekali-sekali
Anda berspekulasi terhadap target konsumen. Sebab, pemahaman yang akurat
mengenai target konsumen ini setidaknya akan memberikan keyakinan bahwa brand
Anda akan sukses di pasar. Paling tidak, nasehat itulah yang disodorkan para
pakar marketing. Salah satu cara untuk mengenal customer adalah dengan
melakukan riset ethnography, sebagaimana yang kini banyak dilakukan pemilik
brand sehingga sukses di pasar.
Ethnography adalah salah satu metode dalam riset kualitatif
untuk mempelajari pelanggan dalam hubungannya dengan lingkungannya. Peneliti
menghabiskan waktu mereka untuk mengamati pelanggan dan lingkungannya di
lapangan untuk mendapatkan pemahaman mendalam tentang gaya hidup atau budaya pelanggan sebagai
dasar untuk memahami kebutuhan dan problem mereka senyatanya secara lebih baik.
(Belliveau, Griffin, and Somermeyer, The
PDMA Toolbook, 2002, p. 442).
Mengapa
ethnography lebih memiliki daya tarik daripada traditional focus groups? Pertimbangan
utamanya adalah untuk mendapatkan informasi senyatanya. Misalnya tentang
bagaimana seseorang menggunakan suatu produk. Pada situasi normal, saat seseorang
menggunakan suatu produk, mereka seringkali tidak ingat ketika diwawancara.
Nah, dengan mengamati mereka secara langsung – seperti yang dilkaukan dalam
riset ethnography -- akan diperoleh data yang lebih bermanfaat. Orang tidak
selalu bisa menjelaskan apa saja yang mereka lakukan karena hal itu telah menjadi
suatu rutinitas sehingga jarang bisa menjelaskannya secara detail. Seringkali
sedikit informasi yang keluar bisa jadi merupakan sesuatu kita sebut dengan
“aha” atau sesuatu yang tidak diperkirakan dan justru itu yang kita cari.
Bagi
seorang manager, catatan atau arsip gambar tentang bagaimana seseorang
menggunakan suatu produk akan sangat bermanfaat. Paling tidak ini membantu Tim
Pengembangan Produk misalnya, untuk meyakinkan senior managernya untuk
berinvestasi di produk baru atau kemasan baru. Meski dalam perkembangannya, perusahaan
besar menginginkan data hasil penelitian tersebut tidak sekadar memberi
gambaran (potret) dari responden, tapi bisa memberikan penjelasan tentang consumer.
Singkatnya, penelitian harus bisa diterjemahkan ke dalam rekomendari
bisnis.
Sambil mengeluarkan cuciannya yang agak kering dari mesin cuci, sang ibu menyatakan bahwa pakaiannya bersih bila terang dan kelihatan bersih. Tanpa disadari, saat megeluarkan cucian tersebut sang ibu memejamkan mata dan mendekatkan cuciannya itu ke hidung. Rupanya sang ibu mengecek apakah cuciannya itu wangi. Itu menunjukkan bahwa selain bersih, sang ibu juga menginginkan pakaiannya wangi.
Whirlpool pernah
memakai etnografer untuk melakukan studi terhadap pemakai bak mandi mewah.
Mereka melakukan studi terhadap 15 keluarga dengan mengadakan wawancara dan
merekam kegiatan mandi – tentunya dengan mengenakan baju mandi. Mereka juga
mengajukan pertanyaan “Gambar apa yang muncul dalam benak Anda saat bicara bak
mandi?”
Setelah itu,
mereka diminta mencari gambar-gambar dari majalah yang sesuai dengan perasaan
tersebut. Tema yang muncul dari studi tersebut adalah konsumen sering melihat
pengalaman mandi di bak sebagai “pengalaman transformasi.” Dari studi tersebut,
bak mandi mewah produksi Whirlpool diberi nama “Cielo” yang berarti “surga”
dalam bahasa Italia.
Tak ketinggalan
Hewlett Packard (HP). Ketika melakukan studi di kantor-kantor di Inggris,
mereka melihat adanya pola komunikasi di tempat kerja, yakni berdiskusi tentang
dokumen-dokumen. HP menyadari bila mereka bisa menciptakan alat yang mampu
memudahkan komunikasi yang melibatkan dokumen, alat tersebut akan sangat
bermanfaat. Mereka lalu mengembangkan DeskSlate, alat yang bisa dihubungkan ke
saluran telepon dan membantu pengguna untuk melihat dokumen elektronis sambil
berbicara lewat telepon.
Selanjutnya
Nokia, perusahaan global ini rela membayar mahal tenaga pengajar untuk
memberikan pengajaran dan secara instan bagi karyawannya tentang bagaimana
tingkat kebutuhan dan keinginan orang-orang terhadap teknologi mobile, yang
kemudian - lewat produk-produk Nokia -
menyusup ke dalam kehidupan dan akhirnya menjadi lifestyle.
Ethnography
memberi dunia bisnis alat untuk melihat ke dalam perkembangan budaya yang
sedang tren saat ini, atau faktor-faktor gaya hidup yang mempengaruhi keputusan
konsumen dalam berinteraksi dengan beragam produk.
Darren Kemp,
Director Planning Group Brand Diageo menjelaskan, penelitian ethnography
biasanya digunakan untuk membangun produk baru. Tujuannya agar perusahaan bisa
mengetahui secara proporsional keinginan atau kebutuhan customer terhadap
produk baru tersebut. Sedangkan bagi produk telah lama ada di pasar, pemahaman ethnography
mampu menyuguhkan pemahaman yang detail tentang customer. “Customer itu
bersifat increasing. Kebutuhannya yang sekarang belum tentu yang dulu ada. Ethnography
perlu untuk merefresh customer terhadap keinginan dan kebutuhannya sekarang,”
jelas Safari.
Alhasil, ethnography adalah cara terbaik untuk inovasi dan
membangun brand. Keberadaanya
merupakan salah satu dari sekian banyak tools untuk mengungkap eksistensi brand
atau produk terhadap customer. Focus group bicara tentang apa yang mereka
ketahui, namun ethnography lebih pada upaya “membukanya”.
Kendati demikian,
ethnography bukanlah peluru ajaib bagi perusahaan yang ingin memahami
konsumennya lebih dalam. Selain biayanya yang relatif tinggi, waktu yang dibutuhkan
untuk metode ini juga relatif lebih panjang.
Masalah lain yang
sering muncul adalah bila, pertama, penelitian ethnography digunakan secara
tidak tepat. Misalnya, penelitian kualitatif dianalisis seperti penelitian
kuantitatif dengan menarik kesimpulan secara cepat dan ketat, bukan
mengembangkan hipotesis dan memperdalam pemahaman.
Kedua, unsur
subyektivitas. Karena hasilnya sangat tergantung pada pemahaman dan penafsiran,
penelitian ethnography sangat rawan terhadap bias subyektivitas peneliti. Tidak
adanya proses analisis yang baku menimbulkan kesulitan untuk menentukan apakah
analisis data yang dilakukan sudah benar. Ketiga, karena penelitian ethnography
sangat luwes dan tidak memerlukan kuesioner yang sangat berstruktur, mungkin
sekali peneliti bertindak semaunya dan tidak sepenuh hati memikirkan pokok
masalah penelitian.
Itu sebabnya,
meski kadangkala digunakan sebagai metoda pengumpulan data utama untuk masalah
pokok, namun pada umumnya penelitian etnography digunakan untuk menggali
gagasan, langkah awal dalam mengembangkan studi kuantitatif, dan sebagai alat
bantu dalam menilai studi kuantitatif. Dengan kata lain, metode-metode riset
lainnya seperti focus group tetap dibutuhkan untuk memverifikasi ulang temuan
para etnografer.
Rempoa, 9 Maret 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar