Ada perbincangan menarik dalam acara MIX-Marketing Club gathering dua pekan lalu. Dua kelompok yang diwakili Yongky S. Susilo (Retailer Service Director Nielsen Indonesia, sebagai peneliti dan pengamat) di satu sisi, dan Adeline Ausy Setiawan (Marketing Manager Snack & Beverages PT Unilever Indonesia Tbk) serta Pudjianto (Managing Director PT Sumber Alfaria Trijaya) di sisi lain, memiliki opini yang berbeda dalam melihat situasi ekonomi belakangan ini.
Menurut Yongky, saat ini terjadi perubahan perilaku berbelanja di kalangan konsumen Indonesia. Kelas atas, katanya, mulai mengurangi konsumsi listrik dengan menggunakan lampu hemat energi dan menurunkan waktu mengakses televisi, playstation, dan komputer. Kelas ini juga mulai mencari cara untuk meningkatkan pendapatan, antara lain dengan menjalankan bisnis sendiri seperti ibu-ibu rumah tangga kelas atas yang menjual pakaian ke temannya atau membuka konter voucher dan bekerja paruh waktu.
Sementara di kalangan menengah, selain mengurangi konsumsi listrik—dengan mengurangi penggunaan televisi, playstation, komputer, dan pompa air listrik serta menggunakan lampu hemat energi, mereka mulai mengarahkan tempat berbelanja (adjust place of purchasing) ke toko-toko (supermarket, hypermarket atau minimarket) yang menawarkan promosi atau diskon.
Di kalangan kelas bawah, sejumlah konsumen mulai mengganti atau bahkan secara drastis menghentikan penggunaan produk tertentu. Misalnya, berhenti menggunakan susu pembersih wajah (milk cleanser) dan astringent, dan menggantikannya dengan facial foam; menggunakan produk 2-in-1, khususnya untuk kopi—guna mengurangi pembelian gula; menggunakan diapers hanya ketika bepergian; mengurangi konsumsi listrik untuk menghemat uang antara lain dengan mengurangi menyetrika baju, mengisi bak air untuk mengurangi frekuensi penggunakan pompa air listrik, dan mengurangi frekuensi menonton televisi.
Menurut Yongky, hal itu disebabkan “kejutan” kenaikan harga beberapa komoditi yang terjadi belakangan, terutama beras, susu, terigu dan minyak goreng serta produk-produk yang menggunakan bahan baku turunan dari produk minyak bumi seperti sabun detergen. Minyak goreng dan terigu misalnya, dibandingkan tahun lalu terjadi lonjakan harga hampir dua kali lipat. Dengan kata lain, menurutnya, akibat kenaikan harga semua kelas sosial konsumen saat ini sedang melakukan penyesuaian terhadap krisis.
Namun di sisi lain, Adeline tidak setuju kalau dikatakan saat ini marketing sedang berada dalam masa krisis, yang benar consumer-lah yang 'in crisis'. Sebab realitas menunjukkan bahwa happiness index masyarakat Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain. Bahkan kondisi saat ini – bila dilihat dari tingkat inflasi – masih lebih baik dibandingkan dua tahun lalu (lihat grafik). Apalagi lagi dibandingkan sepuluh tahun saat Indonesia masuk dalam krisis ekonomi dimana tingkat inflasi mencapai lebih dari 40%. Tahun ini – meski terjadi kenaikan harga BBM -- tingkat inflasi diperkirakan paling tinggi 12 %, sedangkan dua tahun lalu mencapai 18%.
Pudjianto mengamini pendapat Adelin dengan mengatakan bahwa saat ini tidak ada krisis, yang ada adalah perubahan. Realitas menunjukkan penjualan ritel masih tumbuh. “So far penjualan produk Oriflame tetap bagus dibandingkan tahun-tahun sebelumnya,” kata Shita Laksmita, Marketing Manager Oriflame Indonesia. Mitra Adiperkasa Tbk (MAP) juga merasakan hal yang sama. Selama kuartal pertama 2008, MAP mencatat kenaikan penjualan 22% hingga mencapai Rp1,03 triliun. Kenaikan penjualan tersebut juga diikuti kenaikan laba kotor sebesar 22% menjadi Rp372 miliar. Namun, laba bersih mengalami penurunan menjadi Rp2,5 miliar karena rugi kurs yang berasal dari pinjaman mata uang asing. MAP yang mengelola berbagai department store dan ritel mewah seperti Seibu, SOGO, dan Starbucks, optimistis sehingga tahun ini masih akan membuka beberapa gerai baru.
Diskusi itu sendiri dilatarbelakangi oleh situasi global dan nasional dewasa ini. Beberapa pengamat menyatakan bahwa saat ini terjadi krisis inflasi global akibat lonjakan harga yang terjadi. Berbeda dengan kondisi 10 tahun lalu, saat ini terjadi lonjakan harga yang dipicu oleh kenaikan harga minyak dunia yang diikuti dengan kenaikan harga bahan pangan akibat terjadinya konversi besar-besaran dari pangan menjadi bahan bakar (biofuel). Sementara 10 tahun lalu, yang terjadi adalah krisis dipicu oleh jatuhnya nilai mata uang regional sehingga mengakibatkan terjadinya kenaikan di hampir semua komoditi, terutama berbahan baku impor.Dampak dari krisis global tersebut sejatinya terasa sejak dua tahun lalu ketika pemerintah menaikkan harga BBM hampir 90%. Ketika itu harga minyak masih US$ 70an per barel. Sekarang harga minyak mencapai US$139 per barel dan beberapa pengamat memperkirakan masih akan terus naik. Hasilnya, beberapa produsen mulai menaikkan harga produknya. Unilever misalnya, quartal pertama 2008 – berarti sebelum kenaikan harga BBM, menaikkan harga produk-produknya sekitar 9%-10%. “Selanjutnya, kami masih akan melihat dan mempertimbangkan kembali apakah harga akan kami naikkan setelah kenaikan BBM,” kata Lalisang, President Director PT Unilever Indonesia Tbk.
Masyarakatpun makin pesimistis. Hal itu ditunjukkan oleh hasil survei terhadap indeks keyakinan konsumen (IKK) pada awal triwulan II/2008 yang dilakukan oleh Bank Indonesia. "Selama 4 bulan terakhir keyakinan masyarakat cenderung menurun. Penurunan ini disebabkan semakin pesimisnya konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini maupun menurunnya optimisme terhadap ekspektasi perekonomian yang membaik," kata Deputi Pemimpin Bank Indonesia (BI) Semarang.
Survei konsumen pada bulan April 2008 menunjukkan seluruh indeks utama survei mengalami penurunan, yaitu IKK turun 6,06 poin dari 90,8 menjadi 84,7, indeks kondisi ekonomi (IEK) turun 2,33 poin dari 83,9 menjadi 81,6, dan indeks ekspektasi konsumen (IEK) turun 9,78 poin dari 97,7 menjadi 87,9. Ia mengatakan, penurunan keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi terutama didorong berkurangnya optimisme konsumen terhadap kondisi penghasilan saat ini yang turun 9,67 poin.
Selain itu, katanya, ketersediaan lapangan kerja juga semakin berkurang. Memasuki triwulan II/2008, responden masih berpendapat bahwa saat ini belum merupakan waktu yang tepat untuk melakukan konsumsi barang tahan lama. Ekspektasi konsumen untuk perekonomian Indonesia pada 6 bulan mendatang masih berada pada level pesimistis, yakni di bawah 100 poin, bahkan menurun 9,78 poin dibanding hasil survei bulan Maret 2008, katanya.
Ia mengatakan, pesimisme terhadap perekonomian pada 6 bulan mendatang ini terutama dipengaruhi ketersediaan lapangan kerja yang makin berkurang dan kondisi ekonomi yang cenderung menurun. Beberapa sektor mulai merasakan dampaknya. ”Kami sudah merasakan krisis sejak tiga bulan lalu,” kata Gatot Sutoto, pemilik Restoran Red Crispy.
Selanjutnya? Beberapa perkiraan bahwa harga pangan yang mahal diprediksi akan berlangsung sampai dua-lima tahun mendatang. "Bahkan, menurut DR. Dominique Van Der Mensbrugghe, ekonom dari World Bank, mahalnya harga pangan ini bisa berlangsung sampai sekitar delapan sampai sepuluh tahun mendatang," kata Dr. Bayu Krisnamurthi, Deputi Menteri Koordinator Ekonomi.
Bagi Indonesia situasi itu masih mengundang kerawanan. Apalagi bila Indonesia masih bergantung pada pangan impor. Sebab, korelasi food-non food semakin tinggi. Bayu mencontohkan hubungan antara perang Irak dan Iran dengan distribusi beras ke negara-negara berkembang. "Perang Irak dengan Iran mempengaruhi suplai beras ke Indonesia dari negara-negara lain atau sebaliknya. Padahal Irak dan Iran secara tidak langsung tidak terlibat dalam rantai distribusi," kata Bayu. Jadi?
Rempoa, 11 Juni 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar