Partai Gerindra salah satu partai yang dianggap berhasil mendulang popularitas dengan dukungan iklan di media massa. Tapi mengapa iklan prtai lain tidak bisa sesukses iklan Gerindra?
Kalau Paul Lazarsfeld masih hidup, tentu dia akan terheran-heran melihat apa yang terjadi di Indonesia. Pasalnya, thesisnya tentang Two Step Flow of Communication dalam kampanye pemilu terbantahkan oleh kondisi pemilu di Indonesia. Masih terlalu dini memang untuk membantah teori tersebut. Ini karena yang tergambar di Indonesia saat ini masih berupa riset kecenderungan memilih. Bukan pada kondisi apakah mereka-mereka benar-benar menjatuhkan pilihannya karena pengaruh iklan baik cetak maupun elektronik.
Seperti diketahui pada 1940, Paul Lazarsfeld – doktor matematika dan pendiri Bureau of Applied Social Research melakukan wawancara berulangkali terhadap 600 warga Erie Country, Ohio, AS. Tujuannya, mengetahui seberapa besar peranan media massa mengubah pemilih dalam menentukan pilihannya.
Hasilnya, mencengangkan. Selama itu, orang beranggapan bahwa media massa sangat efektif mengubah pilihan pemilih. Itu sebabnya, jutaan dolar dihabiskan untuk kampanye para kandidat melalui media massa seperti radio dan koran. Ternyata, temuan Lazarsfeld menunjukkan bahwa pengaruh langsung dari media massa terhadap pilihan pemilih sangat kecil.
Hasil ini yang membuat Lazarsfeld dan kawan-kawannya mengemukakan dalil, “Two Step Flow of Communication” atau arus komunikasi dua tahap. Pertama, mass media mempengaruhi pemuka pendapat (opinion leader). Kedua, opinion leader kemudian mempengaruhi individu-individu lainnya. Sejak itu, berkembang tradisi penelitian tentang pengaruh terbatas (limited effect) dari media massa. Dalam konteks ini, media massa dianggap sebagai salah satu dari media lainnya yang mempengaruhi manusia, meski tidak sangat kuat.
Lazarsfeld dan Katz dalam bukunya Personal Influence: The Part Played by People in the Flow of Mass Communications ( New York: Free Press, 1955) mengungkapkan bahwa pada pertengahan tahun 1940, MacFadden Publication mensponsori suatu proyek penelitian mengenai pengaruh antarpribadi dan media massa terhadap keputusan 800 konsumen wanita. Hasilnya, pengaruh media massa jauh lebih kecil dibandingkan jaringan antar pribadi.
Iklan politik pada intinya lebih ditujukan untuk menggugah aspek emosional dibanding intelektual. Stimulus emosi dalam iklan politik pada umumnya terbagi dua, yaitu rasa takut dan harap. Rasa takut akan mendorong seseorang memilih sosok pemimpin yang mendatangkan stabilitas, sedangkan rasa harap akan mendorong seseorang memilih sosok pemimpin yang mendatangkan perubahan.
Dalam iklan politik, stimulus emosi dapat disampaikan secara verbal maupun visual. Secara verbal, paparan data statistik mengenai angka kemiskinan atau tingkat kematian dapat memicu perasaan cemas audiens. Sedangkan secara visual, adegan kelahiran seorang anak dan gambaran lingkungan yang nyaman dapat menstimulasi rasa harap.
Ini yang dicoba dilakukan oleh Partai Hanura dengan menampilkan angka-angka kemiskinan. Iklan ini memang mempunyai makna ganda, pertama, untuk ”membantah” klaim pemerintah bahwa kemiskinan turun. Kedua, untuk mengingatkan audien bahwa kalau rezim sekarang terus berkuasa, tidak terutup kemungkinan kemiskinan akan terus bertambah.
Kombinasi antara stimulasi visual dan verbal yang difokuskan ke sebuah ranah emosi tertentu di sebuah iklan politik akan meninggalkan kesan yang kuat dalam ingatan audiens. Sebab, secara psikologis, kesan-kesan emosional cenderung disimpan di dalam memori jangka panjang seseorang. Pada konteks Indonesia, iklan politik lokal masih mengesampingkan ranah psikologi.
Rempoa, 9 Januari 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar