Jaringan outlet bisnis kecil-besar (lokal) menggurita. Ada model franchise ada pula yang bukan. Ada yang berhasil,
tapi ada juga yang gagal. Bagaimana yang berhasil?
Pernahkan Anda mampir ke outlet Bakmi Gajah Mada --
dimana pun lokasinya -- langsung mendapat meja? Apalagi bila pas jam-jam makan
siang. Yang sering Anda alami tentu terpaksa duduk dulu di meja yang disediakan dan menunggu pelanggan lain selesai meninggalkan mejanya.
Dari situ Anda tentu berpikir, kalau selalu penuh kenapa
Bakmi Gajah Mada tak agresif membuka cabang baru seperti Es Teller 77 yang
gampang dijumpai di setiap mal. Atau tengok D'Cost dan Solaria yang bisa kita jumpai dimana-mana. Kenapa Bakmie Gajah Mada (GM) sampai kini hanya
memiliki beberapa outlet -- seperti Jl. Gajah Mada, Jl. Melawai, Mal Pondok
Indah, dan beberapa mal besar lainnya?
Logika awam benar bahwa kalau permintaan selalu tinggi
kenapa tidak seagresif Es Teller 77 tadi misalnya. Padahal, bisa saja GM
membuka cabang melalui sisten franchise seperti Es Teller 77. Tidak. GM memilih
membangun outlet terbatas dengan ukuran luas. Sebaliknya Es Teller 77, membuka
outlet di hampir semua mal meski dengan ukuran kecil-kecil.
Itu pilihan strategis. Seperti juga yang dilakukan Jana
Taylor ketika membuka outlet bakery di Oregon, AS. Dari tahun 1996 sampai 1997
akhir, toko Taylor tumbuh dari hanya tujuh karyawan menjadi 35 orang. Pejualannya
juga meningkat dari US$5 juta menjadi US$ 8,6 juta. Bahkan dua tahun lalu,
karyawan Taylor telah mencapai 100 orang dengan penjualan US$ 13 juta. Tahun
ini dia mentargetkan penjualan US$18 juta.
Apakah Taylor membuka toko baru? Tidak. Untuk mencapai
target itu, menyulap produknya dengan inovasi baru. Setiap tahun dia
memperkenalkan 40-60 produk baru. Ragam produk itu menambah perbendaharaan
produk Taylor yang kini mencapai lebih dari 400 macam, mulai dari kue, adonan,
dan produk yang berkaitan.
Selain itu, dia juga ekspansi bisnis mulai dari menjual
adonan beku yang memasok pembuat kue hinga es krim, perusahaan permen,
restoran, pembuat desert beku dan supermarket di seluruh Amerika. Menurut study yang dilakukan the Kauffman Center for
Entrepreneurial Leadership -- lembaga riset organisasi dan pendidikan
entrepreneur di Missouri, AS, strategi pertumbuhan cepat yang dilakukan Taylor
sungguh cerdas.
Studi yang dilakukan terhadap 672 pemenang Ernst
& Young Entrepreneur of the Year, menunjukkan bahwa strategy
memaksimalkan penjualan dengan menekankan pada penciptaan produk dan pasar baru
menghasilkan keuntungan 25 % lebih tinggi. Juga meningkatkan tiga kali lipat
kekayaan perusahaan ketimbang perusahaan yang memfokuskan diri pada keuntungan.
Sukses nampaknya begitu sederhana. Yang sulit adalah
mengadaptasikan diri pada kesukseskan itu sendiri. Sebab jika salah beradaptasi
bisa kebablasan, kehilangan kontrol dan memalukan. Itu bisa terjadi pada
perusahaan besar -- seperti Planet Hollywood. Setelah membenamkan dana US$ 250
juta, perusahaan itu bangkrut dan direstrukturisasi. "Ekspansi kami
terlalu cepat," kata Robert Earl, CEO dan salah satu pendiri Planet
Hollywood.
Ini yang dialami Mie Japos misalnya. Seperti dituturkan
Tjoa Heng Lie alis Hengky, pertama kali dibuka pada tahun 1992 hanya
bermodalkan satu gerobak mie senilai Rp 700 ribu. Karena cita rasanya yang pas,
hanya beberapa bulan respon masyarakat Japos (Ciledug) cukup tinggi. Lahirlah
nama Mie Japos. Seiring dengan kemampuannya menciptakan mie sendiri, Hengky
memutuskan ekspansi. Kini, Mie Japos sudah membuka di wilayah Jakarta sebanyak
enam cabang. Sempat tersendat lajunya dan sekarang Mie Japos fokus meredesign
outletnya agar tak kalah dengan pemain waralaba asing yang kini berlomba
mempercantik outletnya.
Lain lagi Hot Cwie Mie Malang (Hot CMM)yang didirikan
oleh Chairul Rivai (Rully) sempat memiliki belasan gerai. Cikal bakal Hot CMM
dibuka pada tahun 1995 dengan nama Roellie’s yang dibuka di kawasan Cibubur
(hanya menawarkan menu steak).
Krismonlah yang membuat Rully banting setir dengan menciptakan menu Cwie
Mie khas Malang yang akhirnya justru membuatnya sukses. Sempat buka gerai di
Bintaro Jaya Sektor 1 Jakarta dan Jl. Veteran Bintaro, namun dua-duanya kini
tutup. Yang masih ramai di Jl. TB Simatupang, Jakarta.
Masih banyak yang bisa disebutkan, tarmasuk Soto Ambengan
Pak Sadi yang meski belum sampai tutup namun sulit waralabanya dikatakan
berhasil. Demikian pula dengan Kebab Turki – pelopor bisnis kebab di pinggir
jalan -- yang outlet (gerobak?)-nya ada dimana, namun pembelinya tak terlalu
banyak. Walnya memang hanya ada Kebab Turki di jalanan. Kini pesaing Kebab
Turki di pinggir jalan makin banyak dan sayangnya prinsipalnya tidak melakukan
terobosan apapun.
Manfaat paling besar memiliki banyak cabang atau outlet
adalah kredibilitas. Seorang penjual komputer yang memiliki banyak outlet tentu
dilihat sebagai bonafide. Ini beda bila pengusaha hanya mempunyai satu toko.
Yang ditanyakan pelanggan pertama kali pada penjaga toko itu mungkin,
"Akankah toko ini masih buka bila komputer saya perlu diperbaiki tahun
depan?"
Yang pasti, sebelum memutuskan memperluas jaringan
outlet, Anda harus bisa menjawab beberapa pertanyaan kritis. Apakah sudah
mempunyai infrastruktur, peralatan, sumber daya dan personel yang siap
menghandle ekspansi bisnis Anda? Kalau pun Anda memiliki semuanya bukan berarti
Anda bisa tancap gas. Jawabannya memang masih mungkin, karena ada faktor
eksternal lainnya seperti kondisi ekonomi makro.
Ini yang dialami restoran ikan bakar Banyuwangi sepanjang
tahun 1995 hingga 1999. Mulanya, ketika membuka usaha bulan Maret 1994, Didik
Ilham Juari mengaku surprised, banyak pelanggan yang menyukai masakan ikan
bakarnya. Saking larisnya, hanya dalam waktu satu tahun, ia bisa meraup
keuntungan bersih Rp 100 juta setiap tiga bulan. Jumlah yang cukup fantastis
pada saat itu, mengingat nilai rupiah masih sangat kuat.
Karena sukses yang diperoleh sangat cepat, membuat Didik
besar kepala dan terpikat membangun cabang-cabang baru. Dengan modal sebesar
US$ 18 ribu ditangannya, Didik mengembangkan 6 gerai sekaligus, yakni di
kawasan Rasuna Said, Pejompongan, Kafe Tenda Semanggi, Padurenan, dan bahkan
sebuah lagi di Bandung, Jawa Barat.
Dibantu oleh 60 orang karyawan, Didik merasa yakin dapat
mengelola bisnisnya berjalan baik. Namun ternyata tidak semudah itu membangun
mimpi pria asal Banyuwangi ini. Usahanya seret. Di beberapa tempat, restorannya
sepi pembeli. Sehingga, dalam waktu dua tahun, ia harus menutup kembali
cabang-cabang barunya dan menyisakan sebuah yang menjadi cikal bakal usahanya
dulu, yakni di kawasan Padurenan, Karet, Jakarta Selatan. "Saya akui, niat
ekspansi saya terlalu cepat," kata Didik tanpa nada sesal. Tapi, itu bisa terjadi dimana-mana dan bisa menimpa siapa
saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar