Mungkin terlalu
berlebihan bila mengatakan – dengan makin berkembangna teknik marketing
alternatif -- marketing tradisional sudah tidak efektif lagi atau kurang
efektif. Lalu bagaimana mengintegrasikannya?
Word of Mouth sebenarnya bukanlah hal baru. Namun belakangan
berkembang luar biasa. Sebelum media massa
– seperti koran, dan sebagainya – berkembang, masyarakat sudah mengenal tradisi
word of mouth dalam pertukaran barang dan sebagainya. Komunikasi interpersonal
dan massa
dilakukan langsung tanpa perantara. Kendalanya, masih ada batasan ruang dan
waktu dimana komunikasi hanya bersifat local dan ada jeda.
Setelah media massa
konvensional berkembang, batasan ruang berkurang namun masih dibatasi oleh
waktu. Koran bisa menyebarkan informasi lebih luas, namun masih terkendala oleh
jadwal terbit. Kalaupun jadwa terbit dipercepat, masih terkendala oleh proses
cetak dan edar. Kemudia televisi berkembang, itu pun masih ada kendala. Ruang
dan waktu mungin tertasi, tapi kebutuhan
orang untuk mengekpresikan opininya tidak terpenuhi karena televisi masih
bersifat linear atau satu arah. Pemirsa tidak dapat protes secara langsung
manakala menyaksikan tayangan yang tidak berkenan.
Kemudian internet ditambah dengan teknologi mobile membuat
komunikasi interpersonal – meski diperantai – menembus atasan ruang, waktu, dan
batasan interaksi. Prkembangan internet menciptakan wahana baru berupa media
sosial. Media sosial adalah tempat orang dari berbagai ketertarikan berkumpul
secara online. Mereka berbagi ide, komentar dan pendapat. Media sosial disini
termasuk MySpace, Gather, Facebook, BlackPlanet, Eons, LinkedIn, dan ratusan
bahkan ribuan lainnya. Ada
yang branded seperti Amazon, Netflix, dan eBay., ada yang personal. Dengan kata
lain, media sosial merupakan media tanpa bayar yang bisa dikbuat oleh individu
atau perusahaan.
Jadilah awareness terhadap word of mouth tumbuh secara
eksponensial di kalangan media, praktisi marketing dan pasar. Word of mouth
berkembang dengan segala bentuk turunannya. Menurut Dr. Paul Marsden, profesor dari
London Scholl of Economic -- salah satu penulis buku Connected Marketing, memang ada kemiripan antara word of mout
marketing, buzz atau viral marketing. Semuanya meleverage word of mouth.
Namun nuansanya berbeda. Viral marketing meleverage jejaring
digital, buzz meleverage jejaring media, dan word of mouth marketing meleverage
jejaring sosial. Viral marketing mampu mengerahkan penyebaran ide yang
mengejutkan, di sisi lain jejaring sosial secara khusus dapat dikelola sebagai
hubungan dengan para “pemimpin pendapat.”
Namun, aktivitas marketing atau public relations bukanlah
sekadar sosialisasi. Ada
persoalan lain seperti pengelolaan isu dan krisis misalnya yang merupakan
bagian penting dari aktivitas PR. Ini termasuk bagaimana mengelola isu yang
berkembang secara online tentang brand atau perusahaan kita. Selama ini,
berdasarkan targetnya, marketing dibagi menjadi dua, B2B dan B2C. Business to
business dan business to consumer. Sekarang dengan berkembangnya platform Web
2.0, dunia marketing dipaksa untuk familiar dengan istilah C2C, consumer to
consumer communications.
Itu sebabnya, barangkali kurang bijaksana bila upaya
marketing hanya mengandalkan viral marketing. Sebab, nyatanya, banyak
perusahaan yang berhasil dengan tidak mengandalkan satu teknik, karena sekarang
yang dihadapi marketer adalah mengelola komunikasi antar konsumen. Di sisi
lain, di tangan konsumen kni tergenggam beragam media untuk menyampaikan
uneg-uneg atau suara negatifnya.
“Satu kesalahan besar
adalah melihat bahwa kampanye viral merupakan suatu akhir. Viral marketing –
seperti halnya public relations – merupakan suatu proses bukan suatu kegiatan,”
kata Justin Kirby, Managing Director Digital Media Communications (DMC) yang
menjadi penulis pendamping Marsden di buku Connected
Marketing. Arik,Setelah masuk ke social media, pekerjaan selanjutnya adalah
membuat bagaimana kita menjadi “terlihat”, menarik, dilihat (bahkan
dipelototi), direspon, ditunggu, dan seterusnya.
Seperti dikemukakan sebelumnya, Word of Mouth Marketing
merupakan respon terhadap perkembangan dimana konsumen makin terdidik dan
kritis, dan perkembangan internet. Begitu kemampuan (kecepatan) konsumen untuk
berkomunikasi dengan dengan konsumen lainnya berkembang dengan sangat pesat,
kredibilitas marketer yang berkomunikasi dengan konsumen melemah.
Survey dimana pun menunjukkan bahwa iklan hanyalah
menciptakan awareness tidak mendorong untuk membeli. Dengan kata lain,
kemampuan iklan untuk mendorong atau membujuk konsumen untuk membeli kurang
karena kepercayaan atau kredibilitas iklan lemah. Jauh lebih lemah dibadingkan
– katakanlah – rekomendasi teman atau keluarga.
Tabel 1. Teknik-teknik
Word of Mouth
PENDEKATAN
|
PERBEDAAN
|
Word of Mouth Marketing
|
Payung dari semua praktek marketing yang bertujuan untuk membuat konsumen membicarakan
suatu brand.
|
Buzz Marketing
|
Menggunakan
teknik khusus, seperti event atau promosi untuk menarik konsumen dan media
membicarakan tentang suatu kampanye.
|
Viral
Marketing
|
Menciptakan
materi tentang brand di internet atau website yang membuat konsumen asyik
bila bisa berbagi dengan teman-temannya tentang materi tersebut, biasanya
melalui email.
|
Influencer
Marketing
|
Mengidentifikasi
dan melibatkan sebagian besar konsumen berpengaruh di dalam suatu target
pasar untuk menjadi brand advocates.
|
Evangelist
Marketing
|
Melibatkan
pelanggan loyal untuk menjadi brand advocates.
|
Street
Marketing
|
Menjangkau
dan berinteraksi dengan konsumen secara langsung di suatu tempat mereka biasa
bertemu tatap muka secara berkala.
|
Stealth/Undercover
Marketing
|
Marketing
di bawah ambang kesadaran (misalnya, menyewa serang aktor untuk menyebarkan
pesan positif dari suatu brand kepada publik)
|
Sumber: Kirby, J., and Marsden, P., 2006. Connected Marketing. London : Elsevier.
Persoalan kredibilitas dari penyampai pesan itu makin
penting manakala konsumen di hadapan pilihan pada produk yang mempunyai nilai
gengsi atau prestise dan risiko yang tinggi serta memiliki diferensiasi yang
berarti. Untuk produk yang tidak
menimbulkan gengsi atau risiko, tingkat kebutuhan rekomendasi mungkin lebih
lemah.
Itu alasan Sumardy, Head of Consultant Octovate Consulting
Group, mengatakan bahwa Banyak aktivitas WOM Marketing gagal karena menggunakan
spoke person yang bukan konsumen
merek/produk tersebut. Sebab pada intinya, menggunakan spoke person yang bukan
dari konsumen atau orang yang mempunyai pengalaman atas produk tersebut,
kredibilitas dari informasi yang disampaikan relatif rendah. Itu berarti sama dengan marketing
konvensional lainnya atau iklan.
Marketing online dan upaya PR yang sukses karena mereka
memulainya dengan mengidentifikasi satu atau lebih pembeli personal yang akan menjadi
target. Dengan demikian pembeli personal seyogyanya menjadi bagian dari proses
perencanaan marketing non konvensional maupun konvensional Anda.
Itu sebabnya, pada akhirnya, “Terminologi PR 2.0 adalah
ungkapan yang tidak terlalu perlu,” kata pakar komunikasi global Dr. Jon White
FCIPR. Public relation, kata penulis buku “How
to Understand and Manage Public Relations” ini adalah sebuah teknik marketing
yang niscaya berevolusi seiring perkembangan teknologi. Karenanya, pada
akhirnya semua praktek dalam marketing ini memang harus mengarah agar suatu ide
atau merek bisa melekat pada konsumen yang dituju, sehingga objektifnya
tercapai. “Dan bisa menyebar seperti epidemi,” kata Malcolm Gladwell, penulis
buku The Tipping Point.
Tabel 2. Aktivitas
Online
AKTIVITAS
|
PERSENTASE
PARTISIPAN
|
Mengirim atau membaca email
|
91
|
Menggunakan sebuah mesin pencari (search engine)
|
91
|
Research tentang poduk sebelum membelinya
|
78
|
Men-search Web sekadar untuk fun
|
62
|
Menonton atau mendengarkan video klip
|
56
|
Men-download games, ideo, atau gambar
|
42
|
Mengirim pesan instant
|
39
|
Membaca sebuah blog
|
39
|
Memainkan game online
|
35
|
Search iklan baris online
|
30
|
Memeringkat suatu produk secara online.
|
28
|
Membuat isi
|
19
|
Menggunakan stus jejaring sosial
|
16
|
Mendownload sebuah podcast
|
12
|
Sumber: PEW dalam Tuten, L. T., 2009. Advertising 2.0, Social Media Marketing in Web 2.0 World. London : Praeger
Disini diperlukan pemahaman bahwa ruang media online yang
baik dibangun dengan pemahaman bahwa beberapa orang ingin mencari informasi dan
sebagian lainnya ingin menjelajah. Sebagian orang sudah mengetahui apa yang
mereka cari misalnya, rilis berita terbaru, atau ingin mencari alamat atau
lokasi yang menyediakan makanan favoritnya. Mereka membutuhkan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan spesifik, dan karenanya perusahaan mengoptimalkan konten
sehingga mudah untuk ditemukan, mungkin dengan memasukkan sebuah mesin pencari
di dalamnya.
Seperti pernah ditulis oleh Nukman Lutfie di majalah SWA,
pengguna internet memiliki perilaku khusus dalam hal mencari informasi produk. Mereka tidak terlalu suka langsung
masuk ke situs web sebuah perusahaan yang bersangkutan, namun lebih senang
mencarinya melalui search engine seperti Google, Yahoo!, MSN Live dan lainnya.
Statistik dari berbagai lembaga riset menunjukkan, sekitar 68% pengguna Internet mencari informasi
produk melalui mesin pencarian.
Oleh karena itu, wajib hukumnya memiliki situs web yang
search engine friendly. Situs yang memenuhi standar ini akan mudah dan cepat
diindeks oleh berbagai search engine utama, seperti Google, Yahoo! dan MSN
Live. Namun banyak perusahaan yang seringkali abai dengan hal-hal semacam ini.
Perhatian mereka lebih terfokus pada tampilan – indah tidaknya – sebuah situs.
Padahal, search engine friendly ini justru memiliki nilai startegis agar mudah
dicari pengguna Internet.
Lantas bagaimana dengan nasib teknik marketing konvensional?
Mungkin terlalu berlebihan bila mengatakan bahwa marketing tradisional sudah
tidak efektif lagi atau kurang efektif. Sebab bagaimana pun tidak ada jaminan
bahwa menggunakan teknik marketing konvensional maupun alternatif secara
sendiri-sendiri juga akan berhasil. Meski harus diakui bagia ada juga brand
yang diprmosikan dengan hanya teknik konvensional atau alternatif berhasil.
Ambil contoh Jakartanotebook.com. Toko
kumputer online yang baru beroperasi beberapa bulan ini hanya mengandalkan teknik
marketing dari mulut ke mulut dan viral marketing. Dengan harga lebih murah dan deliveri yang bisa diadalkan membuat
konsumen yang membeli produk melalui Jakartanotebook.com bercerita ke
teman-temannya. Konsumennya yang puas dan yang sangat familiar dengan komputer
dan modem melakukan testimoni dan merekomendasikan melalui internet. Jadinya,
Jakartanotebook.com yang awalnya cuma memiliki lima orang pekerja, sekarang sudah 20 orang.
Awalnya, pembelinya cuma 10-20 per hari, kini mencapai 100 orang per hari.
Tabel 3. Bagaimana Orang Menggunakan Media Sosial?
Menyaksikan
video klip online
|
82,9
|
Membaca blog
|
72,5
|
Membaca blog
pribadi
|
67,5
|
Mengunjungi
sebuah website berbagi foto
|
63,2
|
Mengelola
sebuah profil pada sebuah jejaring sosial yang ada
|
57,3
|
Menulis sebuah
pesan pada sebuah blog
|
54,8
|
Upload foto
saya
|
52,2
|
Menulis sebuah
komentar di sebuah situs berita
|
45,8
|
Mendownload
sebuah podcast
|
45,1
|
Memulai ”my own
blog”
|
38,7
|
Mengup-load
sebuah video
|
38,5
|
Berlanggan seah
feeder RSS
|
33,7
|
Sumber: Lincoln,
R. S., 2009. Mastering Web 2.0.
London:Kogan Page.
Ini membuktikan
bahwa di tengah hiruk pikuk bermacam-macam teknik marketing alternatif, keberhasilan
aktivitas marketing untuk menghubungkan brand dengan pelanggan, pelanggan
dengan pelanggan, dan sebaliknya, tidak bisa hanya mengandalkan satu teknik,
konvensional atau alternatif. Agar behasil, dibutuhkan integrasi semua teknik marketing
baik yang konvensional maupun yang alternatif.
Marketing kini memang tidak hanya sekadar
mengenali 20% pembeli yang mewakili 80% omset perusahaa dan pertahan mereka
supaya tetap beli lagi. Membuat mereka senang dan membeli brand kita lagi tidak
cukup. Jakartanotebook.com tentu tidak akan bisa berhasil bila hanya
mengandalkan word of mouth saja. Ia akan menjadi pembicaraan negatif dan
brandnya lemah bila deliveri-nya tidak sesuai dengan yang dijanjikan.
Yang menjadi
tantangan merketer adalah bagaimana pembeli itu ikut membujuk calon pembeli
lainnya untuk membeli brand kita. Mungkin banyak orang yang membicarakan tetapi
membuat mereka untuk bisa mempengaruhi orang lain membeli brand kita adalah
lebih penting. Tak peduli berapa banyak uang yang dibelanjakan oleh 20%
pelanggan itu untuk membeli brand kita, yang penting bagaimana caranya mereka
menyuarakan dan mempercepat word of mouth positif brand kita. Itu bukan hanya
untuk produk baru. Produk lama pun juga berlaku hukum tersebut.
Marketing pada
dasarnya adalah berbicara tentang bagaimana mendiferensiasi apa yang kita
tawarkan dari penawaran pesaing. Marketing alternatif juga demikian. Jika kita
menginginkan orang lain membicarakan brand kita, kita perlu memberikan sesuatu
yang berarti untuk dibicarakan. Ini berarti apa yang kita berikan itu haruslah
mempunyai keunikan. Intinya, untuk menciptakan word of mouth, upaya harus
dibangun berdasarkan diferensiasi produk atau merek dan kepercayaan.
Upaya atau
strategi marketing pada dasarnya bukan sekadar kontrol, tapi menyangkut
menagament. Di sisi lain, upaya marketing tidak dapat dikelola dengan baik bila
tanpa pengukuran. Pengukuran disini tidak hanya didasarkan pada tingkat
awarenes. Upaya marketing alternatif seyogyanya ditujukan untuk meningkatkan
jumlah atau persentase konsumen yang merekomendasikan dan karenanya mereka
membeli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar