Secara tradisional, manajer marcomm
memulai proses perencanaan komunikasi pemasaran mereknya dengan menentukan
"kreatif" isi pesan atau insentif yang sesuai. Namun kini harus
“diputarbalik”. Perencana mereka harus mengenali dulu karakter konsumen yang
ditarget.
Pada
tahun 2003, perusahaan seperti Honda dan Toyota menarik iklan TV mereka pada
hari-hari pertama Operasi Pembebasan Irak. Mereka mengetahui bahwa pemirsanya
meningkat jauh lebih banyak. Mereka juga percaya laporan perang bisa
membangkitkan perasaan emosional yang luar biasa.
Namun
tayangan itu bagi pemirsanya yang kebetulan berencana membeli mobil baru akan
menjadi tidak relevan. Dari titik pandang pemasar, isi editorial TV itu mungkin
merupakan kebisingan yang menenggelamkan pesan perusahaan' untuk pelanggan dan
prospek.
Secara tradisional,
manajer marcomm memulai proses perencanaan komunikasi pemasaran mereknya dengan
menentukan "kreatif" isi pesan atau insentif yang sesuai. Kemudian
dia memilih sistem penyampaian pesan, seperti periklanan, sebelum akhirnya
menentukan kendaraan untuk engirimkan pesan tersebut, seperti apakah melalui
televisi, majalah atau koran.
Di permukaan, ini masuk
akal. Karena proses tadi mengasumsikan bahwa semua pelanggan pada dasarnya
sama, sehingga penggunaan media massa merupakan suatu langkah yang positif untuk menjangkau mereka. Selain itu, langkah
tersebut juga mengasumsikan bahwa jumlah
“kendaraan” yang dapat digunakan untuk menyampaikan pesan tersebut terbatas.
Kendaraan yang populer juga hanya media cetak, broadcast,
pengiriman langsung, dan sebagainya.
Hebatnya, kebanyakan
konsumen pun bersedia “menerima” kendaraan itu sehingga sekreatif apapun upaya
komunikasi dilakukan, membuat brand menonjol. Dalam proses ini, pemilihan media
secara alami dipertimbangkan sebagai hal yang kurang penting dan karena itu
memainkan peran yang cenderung diremehkan.
Namun, kini berubah. Kini
seakan terjadi ledakan pengiriman pesan virtual. Media baru membentuk pop up
setiap hari, mulai dari event dan sponsorship ke mouse pad ke satelit yang
kemudian berubah menjadi beragam pilihan di internet. Setiap hari, hampir semua
konsumen melihat atau mendengar tentang pakaian, pajangan telepon seluler,
halte bus – yang kini telah diubah menjadi medium komunikasi. Hasil akhirnya
adalah bahwa hari ini kreatif --- atau yang dikatakan marketer – menjadi kurang
penting dibandingkan dengan bagaimana dan di mana mereka mengatakannya.
Karena
mengalami turnaround, proses penyusunan komunikasi pemasaran tradisional
pun berbalik. Urutan pertama kini berubah dengan memahami pelanggan atau
prospek mana yang mungkin mendengar, melihat, atau mempelajari produk atau
layanan dan kemudian menggunakan titik kontak (contact point) yang menawarkan
kesempatan terbesar yang relevan, Baru kemudian pemasar menentukan kreatif atau
mengatakan pesan apa.
Dalam
beberapa tahun terakhir, konsep brand contact point merupakan salah satu unsur
yang memberikan kontribusi paling nyata dalam evolusi komunikasi pemasaran
terpadu. Brand contact atau brand contact point adalah setiap pengalaman
informasi dimana pelanggan atau calon pelanggan berhubungan dengan brand,
kategori produk, atau pasar produk atau jasa.
Bagi
konsumen, sebuah brand contact bermakna bila memenuhi dua kondisi. Pertama,
brand contact harus relevan menurut mereka, dan kedua, harus disampaikan ketika
ketika
pelanggan menerima hal itu saat mereka menginginkan atau membutuhkanya.
Bukan
ketika pemasar ingin membuatnya tersedia.
Seperti
diketahui dalam kehidupan sehari-hari, konsumen selalu mengalami rutinitas.
Dimulai dari diterpa informasi mengenai produk atau merek, mempersepsikan dan
memproses terus menerus informasi tentang merek tersebut. Selanjutnya, hasil
proses tersebut akan mengubah persesinya menjadi percaya, berminat dan
menggunakan.
Pengecer
menjual produk dan jasa kepada pelanggan mereka. Persepsi terhadap penawaran
ini, bagaimanapun, tergantung pada pengalaman pelanggan secara keseluruhan:
produk, kegunaan, layanan tambahan atau fitur, kualitas, merek, harga, dan
nilai-tambah kualitas dan sifat setiap kontak atau interaksi antara pelanggan
dan merek
Secara
tradisional, pengecer dan produsen mengkomunikasikan produk dan atribut merek
melalui saluran yang mereka kuasai, termasuk toko, pusat panggilan, kios,
acara, dan website/e-commerce. Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi
pergeseran ke arah munculnya contact point baru yang benar-benar independent,
berupa situs jejaring sosial, blog, komunitas online, aplikasi mobile, video,
layanan berbasis lokasi, dan sebagainya.
Percepatan
jumlah dan jenis contact point ini dikatalisis oleh akses web mobile dari mana
saja-kapan saja, melalui perangkat seperti iPhone, BlackBerry, dan smartphone
lainnya. Perangkat mobile ini dijalankan pada platform yang mudah dikembangkan,
dishare, dan penggunaan aplikasi dan konten yang dibuat konsumen. Banyak
aplikasi memanfaatkan data yang disediakan oleh pengecer di situs Web mereka
sendiri, termasuk harga, ketersediaan, deskripsi SKU, dan lokasi toko. Data ini
dapat dengan mudah digabungkan dengan informasi dari sumber lain, seperti
jaringan sosial dan perangkat GPS sehingga bias menjadi layanan baru.
Untuk
konsumen, nilai dari suatu contact point berasal dari kemampuan yang
ditawarkan, seperti membuat lebih mudah untuk mencari informasi produk,
mengotomatisasi suatu pekerjaan rumah tangga (membuat daftar belanja,
misalnya), atau memfasilitasi pengambilan keputusan oleh konsultasi keluarga
atau teman. Untuk pengecer dan perusahaan konsumen produk, nilai berasal dari
informasi tentang preferensi pribadi, di mana dan kapan kebutuhan tertentu
mungkin timbul, dan kemampuan untuk menggunakan pengetahuan ini untuk mengunci
pelanggan.
Kemampuan
untuk merespon dengan cara yang tepat waktu dan semestinya akan menjadi kunci
pembeda. Contact point dengan volume interaksi pelanggan tinggi dan yang secara
potensial dapat menimbulkan emosi pelanggan (misalnya, situs e-commerce atau
departemen layanan pelanggan) cenderung memiliki dampak terbesar pada persepsi
merek pelanggan.
Tidak seperti
pendekatan perencanaan media tradisional
yang menekankan pada pegukuran dan media massa, konsep brand contact point
mengasumsikan bahwa semua jenis komunikasi, termasuk kemasan, publisitas
produk, dan pengalaman langsung konsumen dapat memberikan kontribusi dalam
pembentukan citra atau ekuitas merek.
Pengakuan
terhadap konsep brand contact mengimplikasikan pada revitalisasi tugas dan
tanggung jawab perencana media. Dalam perspektif brand contact peran perencana
media telah diperluas. Pertama, fokus perencana media bergerak dari hanya pada
media tradisional ke integrasi media
tradisional dan media baru. Dalam beberapa tahun terakhir, media baru (televise
kabel dan satelit, radio satelit, bisnis-ke-bisnis e-media, internet, film
layar dan iklan videogame) memainkan peran yang semakin signifikan.
Peran
perencana media juga diperluas tidak hanya sekadar merencanakan dan memilih
media, tapi juga sebagai perencana pesan dalam konteks mengambil manfaat dari
pesan yang tidak direncanakan. Pesan yang direncanakan adalah apa yang
pengiklan ciptakan - seperti iklan, siaran pers atau promosi penjualan.
Sedangkan pesan yang tidak direncanakan sering dimulai oleh orang-orang dan
organisasi lain di luar pengiklan sendiri. Dari mulut ke mulut, baik online dan
offline misalnya, merupakan salah satu bentuk pesan yang tidak direncanakan.
Disini, meskipun pengiklan memiliki sedikit kontrol langsung atas aliran pesan
yang tidak direncanakan, namun mereka bisa memfasilitasi seperti sebuah aliran.
Konsep
brand contact juga berimplikasi pada perubahan kriteria yang digunakan oleh
pemasar dan perencana media dalam mengevaluasi dan memilih saluran pengiriman
pesan dan media. Dalam pemilihan media, selain (penonton) jangkauan, frekuensi,
dan biaya per seribu (CPM), konteks lingkungan/situasi, waktu, dan lokasi
seringkali menentukan kriteria. Sebab, sebuah medium atau saluran pesan yang
menawarkan biaya rendah per seribu misalnya, mungkin kurang bermanfaat atau
efisien dibandingkan media yang menjangkau lebih sedikit orang namun pada waktu
yang signifikan (misalnya, beberapa saat
sebelum keputusan pembelian).
Akhirnya,
pemasar dan perencana media tidak hanya harus mampu mengidentifikasi media yang
berpengaruh, mereka harus menentukan sebagian besar, jika tidak semua, sumber-sumber
informasi non-iklan yang bisa mempengaruh pengetahuan, keyakinan, niat, dan
perilaku konsumen. Dengan demikian, mereka harus mampu, pertama, menggambarkan
kapan, di mana, dan bagaimana konsumen bersentuhan dengan merek mereka (serta
merek kompetitif). Kedua, membedakan antara kontak yang benar-benar berpengaruh
dan tidak berpengaruh.
Secara
umum, penggunaan konsep brand contact dalam IMC melibatkan proses tiga langkah:
mengidentifikasi kontak merek, menilai utilitas mereka, dan mengintegrasikan kontak
yang dipilih ke dalam konsep dan operasional rencana media dan strategi
pengiriman pesan yang terkoordinasi.
Ini
mengimplikasikan pemasar harus mampu, pertama, mendefinisikan dan
mengidentifikasi brand contact-brand contact yang ada dan memberikan peluang.
Kedua, memilih brand contact. Ketiga, mengintegrasikan atau mengkoordinasikan,
dan keempat, mengevaluasi efektivitas dan efektivitas dari rencana dan strategi
pengiriman pesan.
Idealnya,
pengintegrasian brand contact ditujukan untuk membangun makna yang koheren yang
kuat. Ini merupakan dasar bagi penciptaan hubungan konsumen-merek jangka
panjang. Jika tidak, target konsumen menjadi bingung dan tidak percaya mengenai
merek sehingga membubarkan ekuitas merek dan peluang membangun hubungan.
Pertanyaan
utama di sini adalah apakah integrasi harus terjadi di setiap contact point
atau hanya di titik-titik kontak merek
yang akan memberikan kontribusi nilai yang paling besar terhadap ekuitas merek, dan kemungkinan besar akan mempengaruhi
perilaku konsumen?
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar