Akhir-akhir ini perusahaan
jor-joran dan menghabiskan ratusan juta bahkan miliaran rupiah untuk membuat
pelanggannya tak kabur. Tapi, kini ada
problem lain yang jauh lebih berat dari sekadar mempertahankan konsumen. Apa
itu?
Sepuluh tahun lalu, lembaga konsultan
McKinsey melakukan penelitian mengenai perilaku nasabah 16 bank besar di dunia.
Dari sebuah bank, McKinsey memperoleh gambaran, setiap tahun tiga nasabah bank
tersebut 'cabut'. Bersama mereka, hapus pula 10 persen dari jumlah rekening dan
tiga persen total neraca. Temuan lain, terdapat 35% nasabah yang mengurangi
saldo rekeningnya dan ini secara signifikan menyusutkan 24% neraca bank. Di
sisi lain, terdapat 35% yang meningkatkan saldo rekeningnya yang secara
signifikan pula meningkatkan neraca bank sebesar 25%. Pola seperti ini terjadi
di hampir tiga perempat bank yang diteliti.
Apa artinya? Fenomena ini
menunjukkan bahwa mengelola migrasi jauh
lebih penting ketimbang sekadar mencegah pelanggan pergi. Yang dimaksud dengan
migrasi disini adalah perpindahan dari satu level ke level tertentu yang dalam
kasus ini masih dalam satu "gedung'. Jadi disini, pelanggan dibagi-bagi
dalam berbagai segmen loyalitas baik berdasarkan tingkatan pembelian maupun
kepekaannya terhadap iming-iming pesaing.
Di industri-industri seperti
eceran dan provider
telepon seluler, dimana pada umumnya
pelanggannya tidak hanya 'memanfaatkan' satu perusahaan, mengelola migrasi
menjadi makin vital. Juga untuk produk
yang dipersepsikan pelanggan sebagai penyedia utama, misalnya jasa telepon dan asuransi.
Sebagai contoh, masih menurut penelitian itu, sebuah perusahaan penyedia jasa
telepon lokal berhasil meningkatkan pendapatannya dengan melancarkan program
yang bertujuan pelanggannya tidak menurunkan fitur yang biasa dimanfaatkannya
seperti second line dan waiting call.
Jadi,
untuk meningkatkan loyalitas pelanggan dalam artian menahan dan mendorong
mereka membeli atau menggunakan lebih banyak, perusahaan tidak cukup hanya
dengan men-track apa yang populer
saat ini, yakni kepuasan (satisfaction)
dan pelarian (defection) pelanggan.
Pada
dekade 1970-an, memang banyak perusahaan yang mengukur dan mengelola kepuasan
pelanggannya untuk meningkatkan loyalitas. Namun hasilnya masih belum
memuaskan. Pada 1980-an, mereka mulai men-track tingkat pelarian pelanggan dan
mencari akar penyebabnya. Dengan mengidentikasi dan mendeliveri sesuatu yang
dianggap pelanggan mempunyai value tinggi, beberapa perusahaan berhasil
mencegah pelarian pelanggan.
Langkah-langkah tersebut
masih diperlukan. Namun, mengelola migrasi – pergeseran pelanggan puas yang
membelanjakan lebih banyak ke segmen pelanggan yang membelanjakan lebih sedikit
(spend less) – merupakan langkah krusial.
Mengelola migrasi tidak hanya untuk menahan merek "turun' yang
sekaligus mengunci merek untuk tidak lari, tetapi juga bisa mendorong
pelanggannnya untuk meningkatkan belanjanya terhadap suatu merek
produk/jasa.
Untuk mempengaruhi belanja
pelanggan, perusahaan tak cukup sekadar menggali apakah pelanggan menyukai
produk/jasa yang ditawarkan. Informasi tentang apakah pelanggan puas atau tidak
memang dapat menjelaskan kepada perusahaan bagaimana pelanggan lari. Pelanggan
ponsel misalnya, akan berpindah karena problem layanan.
Tetapi, kepuasan itu sendiri
tidak menjelaskan kepada perusahaan, faktor apa yang membuat pelanggan loyal.
Apakah karena produk atau karena kesulitan dalam mencari alternatifnya misalnya. Tingkat
kepuasan pelanggan juga tidak menjelaskan kepada perusahaan tingkat kerentanan
pelanggan dalam mengubah pola belanja mereka. Beberapa faktor dapat
mempengaruhi pola belanja tertsebut. Antara lain, karena perubahan kehidupan
pelanggan, iming-iming perusahaan atau rayuan pesaing.
Karena itu, yang dibutuhkan sekarang adalah model
pengukuran tingkat kepuasan pelanggan yang memiliki kemampuan untuk memprediksi
tingkat loyalitas yang bisa diperoleh dari kinerja kepuasan pelanggan yang
dicapai. Kedua, pengukuran harus bisa menemukan faktor-faktor yang mendrive
kepuasan atau ketidakpuasan yang muncul.
Dengan memahami mengapa
pelanggan memiliki derajat loyalitas yang berbeda dan mengkombinasikan dengan
data pola pengeluaran/belanja mereka, perusahaan dapat menyusun profil
loyalitas pelanggan. Berdasarkan matriks inilah perusahaan dapat menyusun
program loyalitas efektif.
Awal Agustus 2011 lalu, American Customer Satisfaction Index (ACSI) merilis laporan kepuasan pelanggan untuk industri mobil dan kendaraan ringan. Laporan ACSI Agustus 2011 itu adalah berfokus pada situasi sulit yang dihadapi para produsen mobil AS karena mereka mengalami penurunan kepuasan pelanggan Di sisi lain, indek kepuasan pelanggan untuk produk mobil-mobil Jepang dan Eropa bertahan, bahkan sebagian mengalami peningkatan.
Menghadapi situasi tersebut, ACSI menawarkan solusi berupa penelitian tambahan yang mengukur efek penarikan kembali mobil. Kenapa itu dilakukan, seperti diketahui, selama beberapa tahun terakhir, di Amerika Serikat terjadi serangkaian penarikan kembali mobil-mobil yang telah beredar di pasar. Peristiwa ini menarik perhatian banyak media. Karena itu, ACSI ingin melihat apakah penarikan kembali tersebut berdampak terhadap kepuasan pelanggan? Walaupun mungkin di permukaan nampak bahwa penarikan tersebut merupakan sinyak sinyal cacat mutu dan karena itu bisa menekan kepuasan.
Dalam survey kepuasan pelanggan tersebut, sebagai informasi awal, ACSI meminta semua responden untuk menunjukkan apakah mobil mereka telah menjadi subyek dari penarikan kembali. Dengan demikian, data yang diperoleh memungkinkan dipelajarinya dampak penarikan kembali pada kepuasan.
Ada dua kesimpulan yang diperoleh dari survey ini. Pertama, penarikan kembali, dengan alasan apakah untuk publisitas yang baik atau keselamatan pengguna, akan berdampak negatif pada kepuasan pelanggan. Sebab penarikan kembali mendorong perilaku word of mouth yang bisa menekan persepsi kualitas produk. Disini, pelanggan yang telah mengalami penarikan kembali secara signifikan menunjukan sikap kurang puas terhadap merek mobil mereka daripada mereka yang tidak. Skornya, dari pemilik mobil yang mengalami penarikan skornya 79, sementara yang belum skornya mencapai 84.
Kedua, penurunan kepuasan memiliki konsekuensi negatif. Dampak negatif dari recall untuk mobil tersebut tidak berakhir dengan kepuasan yang lebih rendah. Ini karena survey tersebut juga mendapati hubungan antara kepuasan dan loyalitas pelanggan untuk industri ini. Temuan dari ACSI menunjukkan bahwa pelanggan mengalami penarikan secara signifikan lebih mungkin untuk membelot ke pesaing pada saat mereka membeli mobil. Data ACSI menunjukkan bahwa pelanggan yang mengalami penarikan kembali skornya 4 poin lebih kecil kemungkinannya untuk membeli mobil dengan merek yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar