Ketika berbicara pada event penghargaan distribusi yang diselengarakan Majalah Mix-MarketingExtra, Juni 2009, Prof. Eko Indradjit, PhD., menceritakan pengalamannya bagaiamana dia menemukan kenyataan yang berbeda dengan yang dialami semasa menjadi mahasiswa. Menurut Eko, suatu ketika dia iseng untuk melakukan penelitian kecil-kecilan. Saat memberikan kuliah, dia membagi kelasnya menjadi dua kelompok. Kelompok mahasiswa pertama, dia beri kesempatan untuk mendengarkan kuliahnya sambil memainkan handphone atau iPod-nya. Kelompok kedua, mahasiswa yang hanya mendengarkan kuliah. Hasilnya, ketika ujian, justru nilai mahasiswa yang mendengarkan kuliah sambil ber-iPod lebih tinggi dari yang hanya mendengarkan.
Itulah salah satu – dari sekian banyak – karakter yang membedakan generasi kini dan sebelumnya. Misalnya, orang tua – yang sebagian besar dilahirkan pada era televisi – memiliki pandangan bahwa sesuatu harus fokus. Jadi – dalam pendidikan misalnya -- kalau kuliah ya kuliah saja hingga selesai. Di sisi lain, calon mahasiswa sekarang yang lahir pada era internet dan besar dalam teknologi seluler serta komunitas media sosial -- dimana seseorang bisa mencela manakala kecewa dan menyebarkannya ke komunitas lainnya -- paradigmanya terhadap dunia berbeda total. ”Anda kini bisa melihat remaja yang bisa melakukan lima aktivitas dalam satu kesempatan,” tulis Don Tapscott dalam bukunya, Grown Up Digital: How Net-Generation is Changing Your World (McGraw Hill, 2009).
Dalam buku itu, Tapscott memang membagi generasi berdasarkan umur. Ada generasi baby boomer (lahir pada 1946-64) yang besar di era televisi sehingga dia menyebutnya sebagai generasi televisi. Ada generasi X (lahir pada 1965-76) yang disebut Tapscott sebagai baby bust karena kelompok umur ini merasa dikeluarkan dari kelompok sebelumnya dan masuk ke angkatan kerja hanya untuk menemukan celah-celah posisi karena semua posisi telah diisi oleh saudara-saudaranya.
Yang ketiga adalah net-generation, Gen Y, atau Milenium yang lahir pada 1977-97. Menurut Tapscott, generasi ini -- usia 11- 31 tahun -- secara mudah berinteraksi dengan beragam media hanya melalui alat berlayar ukuran dua inchi. Mereka menggunakan handphone-nya untuk beragam aktivitas. Untuk berbicara, mengecek serta membalas email kita. Mereka menggunakan handphone untuk kirim pesan, berselancar di dunia maya, bermain game, mencari arah atau jalan, mengambil gambar dan membuat video. Mereka Facebook-an setiap saat, termasuk saat bekerja atau belajar, atau memberitahukan status mereka melalui Twitter kapanpun dia mau.
Dalam perspektif ini, Tapscott memang berbeda dengan Joseph Jaffe yang pada pada 2007, melaluinya buku Join the Conversation, memperkenalkan generasi i atau generasi “aku” yang tidak bisa “diatur” oleh orang lain. Dalam pandangan Jaffe, generasi i tidak ada kaitannya dengan umur atau demografis lainnya, melainkan pada mind-set. Generasi i adalah segala sesuatu tentang, ”Apa yang telah kau lakukan buat saya kemudian.” Mereka tidak bisa dikontrol. Generasi “i” adalah siapapun yang memiliki perasaan muda di hatinya, pribadi yang hidup dengan semangat dan kegiatan, sispapun yang merasa diberdayakan oleh sisi sosial dari media baru. Ini adalah lingkungan yang juga diberdayakan oleh internet, pengalaman, database dan teknologi.
Jaffe menyebut bahwa di dalam generasi ini hegemoni telah mati dan dikalahkan oleh kemitraan (partnership). Ahli filsafat politik Italia, Antonio Gramsci, menyebut hegemoni sebagai dominasi suatu kelompok dalam mengontrol kelompok lain dengan damai. Berbeda dengan manipulasi atau indoktrinasi, hegemoni terlihat wajar, orang menerima sebagai kewajaran dan sukarela.
Menurut Tapscott, meski sama-sama memanfaatkan internet dan telepon seluler, ada perbedaan norma hidup yang nyata antara net-generation dan generai sebelumnya. Harus diakui bahwa ketergantungan generasi X terhadap handphone juga besar. Di sebagian besar wilayah misalnya, interaksi masyarakat dengan media sosial juga cukup besar. Di Indonesia misalnya, data ihub media – perwakilan Facebook di Indonesia – menunjukkan bahwa per Juni 2009 pengguna Facebook di Indonesia mencapai hampir 7 juta. Data per Oktober mencapai 10 juta pengguna.
Sebagian besar penggunanya memang usia 18-24 tahun, namun pengguna usia 25-34 tahun juga besar. Seorang teman yang mengelola halaman Arek-Arek Gresik di Facebook mendapati bahwa dari 4040-an anggotanya, 40 pesen ternyata usianya diatas 35 tahun. Motif para senior memiliki halaman Facebook umumnya adalah untuk mencari teman-teman lama. Selain sharing idea, mereka juga ingin bernostalgia dengan teman-teman lamanya sambil mencari-cari peluang usaha kerjasama. Hanya sedikit yang mencari teman baru.
Ini menunjukkan bahwa karakteristik penggunaan internet dan konsumsi media sosial antara generasi X dan Net-Generation memang bebeda. Menurut Tapscott, generasi sebelumnya memang menggunakan internet dan handphone. Bedanya, kalau generasi sebelumnya membuka internet misalnya, sekedar seperlunya dan cuma membaca, generasi yang disebut Tapscott sebagai net-generation selalu ingin menciptakan atau mengubah isi dalam web.
Generasi X juga mengunjungi YouTube. Bedanya, kalau generasi X melihat YouTube untuk mengecek atau ingin menonton video yang dia dengar dari cerita, Net Generation menggunakan YouTube sepanjang hari misalnya, untuk mencari sesuatu yang baru. Anda membeli gadget baru dan membuka manualnya untuk mengerti bagaimana cara menggunakannya, anak Anda membeli gadget dan langsung menggunakan tanpa perlu membaca manualnya.
Situasi ini membangun generasi yang norma-normanya menjadi berbeda dengan sebelumnya. Sabtu di November 2009 lalu, Bayu -- anak saya – lupa kapan dia harus audisi band-nya di HardRock Cafe. Saya bilang, ”Coba telepon temanmu.” Namun, beberapa menit kemudian, saya lihat Bayu membuka halaman Facebook-nya. “Lho kok malah Facebookan?”
“Beda Pak. Kalau Bapak dulu kontak dengan teman, pakai telepon yang belum tentu diangkat atau dijawab. Sekarang pakai Facebook atau Twitter malah lebih cepat,” jawab Bayu.
Menurut Tapscott, kebebasan, customization, kecermatan, integritas, kolaboratif, entertainment, kecepatan, dan inovasi selalu melekat pada diri remaja generasi jejaring itu (net generation). Sebagai karyawan, net generation melakukan kerja dengan pendekatan kolaboratif, tidak terikat pada hirarki dan mendorong perusahaan untuk memikirkan ulang bagaimana mereka merekrut, menggaji, mengembangkan dan memantau bakat.
Pada generasi X, ketika lulus dari perguruan tinggi, mereka bagga dengan pekerjaan pertama mereka. Generasi ini begitu tinggi menghargai kerja pertama seakan-akan menjadi sandaran hidupnya. Tetapi, waktu berubah. Anak-anak tidak melihat alasan untuk berkomitmen, setidaknya untuk kerja pertama mereka. Net-Generation yang mempunyai kineja tinggi paa usia 27 tahun setidaknya telah mengalmi lima kali pindah tempat kerja. Menurut penelitian, rata-rata 2,6 tahun mereka menetap pada satu kantor. Mereka ingin bebas!
Interaksi mereka dengan teknologi membebaskan mereka dari belenggu ruang dan waktu kantor tradisional. Internet mengajarkan mereka tentang kebebasan untuk memilih apa yang mereka beli, dimana mereka bekerja, dan kapan melakukan sesuatu seperti membeli buku atau bercakap dengan temannya, bahkan menjadi apa. Mereka mengintegrasikan rumah mereka dan kehidupan sosial dengan kehidupan kantor. Harapan mereka adalah bekerja dengan waktu yang fleksibel dan imbalan yang sesuai dengan kinerja dan pasar. Mereka tidak takut hengkang ke tempat lain bila mendapat tawaran imbalan lebih tinggi, lebih menantang, memberi banyak kesempatan untuk travelling, atau hanya sebuah perubahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar