Dalam dua puluh tahun terakhir, terjadi perubahan demografi yang cukup signifikan di Indonesia. Beberapa tahun lalu misalnya, populasi perempuan di Indonesia melebihi lelaki meski tahun ini populasi Indonesia didominasai lelaki kembali.
Namun yang paling menarik adalah makin meningkatnya presentase perempuan lajang. Pada 1980 sebanyak 31% wanita yang belum menikah
di usia dewasa (20 tahun keatas). Jumlah tersebut meningkat menjadi 33% pada tahun 1990, sehingga secara absolut, selama periode 1980-1990
terdapat kenaikan penduduk wanita yang belum menikah sebanyak 6,5 juta orang (Kristanti,
2005).
Istilah 'lajang' mengacu pada populasi heterogen yang
terdiri dari perempuan yang pernah menikah (janda, bercerai dan memisahkan
perempuan) dan tidak pernah menikah (tua dan muda, dengan atau tanpa anak, tinggal dengan orang tua, saudara, orang tua, orang asing atau
hidup sendirian) (Byrne 2000).
Fenomena makin banyaknya perempuan lajang ini merupakan
fenomena sosiologi global yang baru pertama kali terjadi pada abad 21 ini. Data
The National Marriage Project di Rutgers University menunjukkan bahwa secara
keseluruhan, tingkat pernikahan di Amerika Serikat menurun 43% antara tahun
1960 dan 1996, dari 87,5 per seribu menjadi 49,7 per seribu (Kanner, 2005: 112).
Saat ini, perempuan lajang tersebut menduduki berbagai macam posisi seperti
professional di perusahaan, profesor dan ilmuwan, pemimpin bisnis dan pemilik
bisnis.
Kecenderungan melajang ini biasanya lebih sering dijumpai
pada perempuan yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dan
mengutamakan karir mereka dibandingkan perempuan-perempuan kebanyakan.
Mereka cenderung memiliki gaya hidup yang lebih mandiri dan
kebebasan yang tidak dimiliki oleh perempuan-perempuan yang sudah menikah pada
umumnya. (Robinson dan Bessell, 2002: 229). Mereka cukup mempunyai pendapatan,
siap konsumsi dan cenderung membelanjakannya untuk mendukung hidup hura-hura,
seperti hiburan, membeli pakaian dan dekorasi rumah (Prasetijo dan Ihalaw,
2003).
Dalam tulisan ini dalam konteks tulisan ini, perempuan yang
pernah menikah namun kini melajang karena bercerai atau suaminya meninggal
disebut sebagai janda. Sedangkan 'perempuan lajang' mengacu pada
perempuan yang tidak pernah menikah yang melewati usia menikah normal.
Jones (2003) melaporkan bahwa sampai sekitar tiga dekade
lalu, kebanyakan perempuan di negara dengan populasi Muslim-Melayu
seperti Malaysia, Indonesia, Singapura dan Thailand Selatan menikah pada usia
18. Namun, kecenderungan ini berubah dan tampaknya telah menjadi pola umum di
negara-negara tersebut dimana perempuan menunda pernikahan mereka.
Menurut Cargan (1981:378), melajang sering dianggap sebagai
suatu hal yang bersifat sementara sebelum atau di antara pernikahan dan
pernikahan adalah suatu norma social. Namun, dalam beberapa tahun terakhir
terdapat tren yang menunjukkan bahwa melajang menjadi berkepanjangan dan
fenomena ini banyak dijumpai di daerah perkotaan, perempuan berpendidikan
tinggi dan mandiri secara ekonomi (Maeda 2006, Sitomurang 2005).
Para pemasar menyadari besarnya dampak dari fenomena yang
berkembang pesat sejak 1980-an ini dan melihat pentingnya mengevaluasi kembali
strategi pemasaran produk dan jasa mereka guna melayani segmen pasar ini secara
lebih efisien (Sin dkk., 2001).
Evaluasi tersebut makin penting karena di balik fenomena
melajang tersebut, sebagian besar mencuat fenomena lainnya, yakni jumlah
perempuan lajang tersebut yang berasalk dari kalangan prefesional cukup tinggi.
Stein (1976) mendefinisikan lajang sebagai orang yang cukup usia tetapi belum
atau tidak menikah, apapun alasannya.
Beberapa retailer melihat fenomena ini sebagai sebagai
peluang. Tesco, ASDA Wal-Mart, dan Sainsbury misalnya berlomba untuk
berinvestasi dalam pengembangan lini produk yang ditargetkan pada kaum lajang
berpendapatan tinggi dan gaya hidup sibuk. Misalnya dengan menyediakan makanan
“untuk satu' siap santap.
Hal ini kontras dengan kemasan 'multi-pack' yang selama
ditargetkan untuk keluarga. Bahkan, menurut National Association of Realtors,
wanita lajang adalah kelompok kedua terbesar dalam pembelian rumah setelah
pasangan. Rata-rata kepemilikan rumah oleh wanita lajang lebih besar dua kali
lipat dibandingkan dengan pria lajang (Kanner, 2005: 112).
Kalau Anda suka browsing jurnal penrlitian tentang proses keputusan
pembelian perempuan konsumen lajang ini tidak akan mendapatkan banyak
informasi. Tulisan ini mencoba mengkonstruksi bagaimana proses pembelian itu
baik melalui data primer (hasil penelitian di lapangan) dam sekunder.
Ketika memasuki usia 30 tahun, perempuan lajang mulai
menyadari adanya kekosongan dalam hidupnya. Mereka seringkali diidentikkan
dengan perasaan kesepian. Masalah kesepian ini yang seringkali disorot pada
perempuan lajang karena ketidakhadiran pasangan hidup. Meskipun intimasi tidak selalu
datang dari pernikahan, mereka tetap mendapat tuntutan untuk menikah.
Dari beberepa informasi diperoleh gambaran bahwa banyak
diantara mereka yang lajang tersebut umumnya mengatakan tidak ada masalah
dengan statusnya. Namun, seperti halnya yang tidak melajang, ada saat mereka
berada pada situasi “sendiri”. Ini beda antara perempuan lajang dan
berpasangan.
Ketika wanita lajang mengalami kesepian, sejumlah dampak
negatif bisa menyertai perasaan kesepian tersebut. Salah satu cara untuk
mengatasi perasaan kesepian adalah pergi berbelanja. Perempuan yang memilki
pasangan juga punya kecenderungan demikian.
Hanya saja, ketika proses pembelian barang sudah tidak
lagi mempertimbangkan kebutuhan pokok dan lebih kepada pemenuhan kebutuhan
emosional, maka perilaku tersebut cenderung impulsive yang berbeda (Sari,
2010).
Lalu pertanyaan lain yang muncul dari fenomena ini adalah
apakah perilaku belanja perempuan melajang tersebut berbeda dengan perempuan
yang tidak melajang. Demikian pula apakah perilaku belanja perempuan melajang
juga berbeda dengan para janda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar