“Buat kami, apapun
konsepnya, baik itu SPIN Selling, New Wafe Marketing, atau apapun, tidak jadi
soal. Yang terpenting, konsep itu sesuai dengan calon kustomer yang kami bidik.
Sebab, kadang-kadang, menggunakan cara lama atau konvensional juga masih kami
gunakan,” kata Jefri R. Sirait, General manager operation TRAC.
Agung Podomoro pada
awalnya tidak menyadari bahwa strategi penjualan yang dilakukan tim sales-nya
merupakan implementasi dari SPIN Selling. “Saya baru tahu setelah membaca buku
SPIN Selling karya Neil Rackham. Kami menerapkan SPIN Selling karena strategi
penjualan itu pada umumnya untuk business to business (B2B),” jelas Agung
Wirajaya, General Marketing Agug Podomoro
Kalimat di atas sengaja saya kutip untuk menunjukkan bahwa
pada dasarnya ide atau gagasan tentang sales yang berkembang di kalangan para
praktisi sales di Indonesia
selalu berpegang pada prinsip bahwa apa yang mereka lakukan adalah untuk kepuasan
dan keuntungan pelanggan. Tak peduli apakah yang mereka lakukan itu ada di
dalam konsep seperti yang ditulis oleh tokoh-tokoh sales atau marketing.
Ini makin memperkokoh asumsi bahwa tak ada suatu konsep yang
cocok untuk semua keadaan. Pada saat-saat tertentu suatu konsep berhasil hanya
pada kondisi tertentu, tetapi pada kondisi lainnya konsep tesebut seringkali
gagal manakala diterapkan pada kondisi yang berbeda. Pada kondisi yang
terakhir, inisiatif dan improvisasi dari seorang eksekutif seringkali muncul
secara tiba-tiba sehingga tanpa mereka sadari bahwa bahwa mereka menerapkan
suatu konsep yang sedang ramai menjadi bahan pembicaraan.
Ini sekaligus memperkokoh asumsi bahwa seorang sales
dituntut untuk memiliki kreativitas atau kemampuan untukmenghubungkan ide-ide
yang tidak berkaitan dan memperoleh solusi yang unik atas suatu masalah baik
yang dihadapi oleh dirinya sendiri maupun pelanggannya. Sebab harus diakui,
serngkali produk atau jasa yang ditawarkan perusahaannya sangat serupa dengan
produk pesaing. Dengan demikian apa yang membedakan satu perusahaan dengan yang
lainnya adalah solusi kreatif yang digunakan sales perusahaan untuk memenuhi
kebutuhan pelanggan atau memecahkan masalah.
Seperti dalam kasus SPIN. Beberapa tahun lalu, Neil Rackham
– pendiri dan CEO Huthwaire, Inc, sebuah perusahaan konsultan, training dan
riset sales terkemuka di Amerika Serikat – menulis buku SPIN. Ada dua buku dengan judul SPIN. Pertama, SPIN Selling, dan kedua, SPIN Selling Fieldbook yang merupakan
elaborasi dari buku yang pertama. Melalui bukunya itu, Rackham mengembangkan
suatu metode yang dia sebut dengan penjualan SPIN (Situasi, Masalah, Implikasi,
Kebutuhan hasil atau Situation, Problem, Implications, Need-Payoff).
Intinya, dalam
melakukan aktivitasnya, yang pertama kali perlu dilakukan oleh seorang sales
adalah menganalisis situasi dengan menanyakan fakta atau mengekplorasi situasi
sekarang dari pembeli (situation).
Sebagai contoh, “Sistem apakah yang Anda gunakan untuk memberikan faktur epada
pelanggan Anda?” Kedua,
mencari jawaban atas pertanyaan menyangkut masalah, kesulitan, dan
ketidakpuasan yang dialami pembeli (problem).
Sebagai contoh, “Bagian apa
dari sistem in yang menciptakan kesalahan?”
Ketiga, mencari
jawaban atas pertanyaan tentang konsekuensi atau akibat dari masalah,
kesulitan, atau ketidakpuasan pembeli (implications). Sebagai contoh,
“Bagaimana masalah ini mempengaruhi produktivitas orang-orang Anda?” Terakhir,
mencari jawaban atas pertanyaan tentang nilai atau manfaat dari solusi yang
diusulkan (need-payoff). Sebagai
contoh, “Berapa banyak yang Anda hemat jika perusahaan kami dapat membantu
mengurangi kesalahan sebesar 80 persen?”
Ada beberapa
asumsi yang melandasi konsep tersebut. Pertama, kebanyakan prinsip penjualan
personal dan negosiasi yang berkembang belakangan adalah lebih berorientasi
transaksi. Ini karena penjualan personal dan negosiasi tersebut lebih bertujuan
membantu wiraniaga menutup penjualan dengan seorang pelanggan. Padahal – ini
yang menjadi asumsi kedua -- dalam banyak kasus, perusahaan tidak hanya sekadar
mencari penjualan tetapi juga membangun hubungan pemasok-pelanggan jangka
panjang. Perusahaan ingin menunjukkan bahwa mereka mampu melayani
kebutuhan pelanggan tersebut dengan amat baik.
Dalam konteks inilah Rackham mengusulkan agar perusahaan-perusahaan,
khususnya yang menjual produk atau jasa yang rumit, menyuruh wiraniaga bergerak
mulai dari persiapan, penyelidikan
masalah dan kebutuhan calon, sampai penunjukkan
kemampuan hebat pemasok, dan selanjutnya mendapatkan
komitmen jangka panjang. Pendekatan itu mencerminkan minat yang terus bertumbuh
dari berbagai perusahaan untuk bergerak dari pengejaran penjualan langsung ke
pengembangan hubungan pelanggan jangka panjang.
Mengapa hubungan dengan pelanggan? Palanggan masa kini
berukuran besar dan sering bersifat global. Mereka memilih pemasok yang dapat
menjual dan mengirim kumpulan produk dan pelayanan yang terkoordinasi ke
berbagai lokasi, yang dapat dengan cepat memecahkan masalah yang timbul di
berbagai lokasi, dan yang dapat bekerja erat dengan tim pelanggan utuk
meningkatkan produk dan proses produksi.
Pemasaran hubungan didasarkan pada asumsi bahwa
pelanggan-pelanggan penting melakukan perhatian yang terpusat dan terus
menerus. Wiraniaga yang bekerjasama dengan pelanggan penting harus bertindak
lebih dari sekadar berkunjung ketika mereka pikir pelanggan telah siap untuk
memesan. Mereka juga sebaiknya berkunjung pada saat-saat lain, mengajak
pelanggan makan malam, memberikan usulan-usulan yang berguna bagi bisnis
mereka, dan sebagainya. Mereka harus memonitor pelanggan-pelanggan penting itu,
mengetahui masalah mereka, dan siap untuk melayani mereka dengan berbagai cara.
Jika program manajemen hubungan diterapkan secara tepat,
organisasi akan mulai memusatkan perhatian pada pengelolaan pelanggan seperti
halnya perhatian pada pengelolaan produk. Pada saat yang sama, perusahaan akan
menyadari bahwa walaupun terdapat dorongan yang kuat dan pasti ke arah pemasaran
hubungan, metode itu tidak efektif untuk semua situasi.
Ini mengindikasikan bahwa pemasaran hubungan terus
berkembang, pemasaran transaksi tidak mati. Ada beberapa situasi tertentu yang
membutuhkan pemasaran transaksi. Misalnya, untuk pelanggan yang memiliki
pandangan waktu yang pendek dan biaya peralihan -- bila harus berganti pemasok --
yang rendah, pemasaran transaksi masih relevan. Dalam konteks inilah, sepert yang dikatakan oleh Jefri R. Sirait, TRAC
menggunakan cara lama atau konvensional.
Ambil contoh, ketika
sebuah hotel membutuhkan sabun mandi batangan yang akan disediakan di setiap
kamar. Manajemen hotel mungkin menganggap bahwa kualitas sabun mandi batangan
tidak atau sedikit memiliki perbedaan. Karena itu dia dapat membeli
kepada salah satu dari beberapa pemasok dan memilih pemasok yang menawarkan
syarat terbaik menurut pengelola hotel.
Bagaimana dengan situasi krisis? Seperti diketahui, saat
krisis pelanggan sangat sensitif terhadap harga. Itu sebabnya pemasaran
transaksi pada batas-batas tertentu masih bisa diterima. Namun seperti yang
ditulis Rackham dalam Selling in Harder
Times, untuk perusahaan ada kebutuhan tertentu yang selalu muncul yakni,
rasa aman (safety).
Rackham memaparkan hasil penelitiannya pada pelanggan IBM
selama masa krisis yang lalu. Dia mendapati bahwa untuk perangkat keras
komputer, pelanggan berani membayar 12% lebih tinggi dari harga perangkat keras
yang sama pada saat keadaan normal. Kenapa? Pertama, dalam situasi krisis,
keputusan pembelian barang biasanya dilakukan oleh sebuah panitia. Bila yang
menetapkan panitia, biasanya yang dipilih adalah perangkat yag memiliki risiko
kegagalan paling kecil. Kedua, keputusan yang diambil sebuah paniia, biasanya
akan menjadi sorotan orang lain. Pada kondisi seperti itu, mereka tentu tidak
mau disalahkan bila misalnya, produk atau solusi yang mereka putuskan untuk
menggunakan atau membelinya ternyata tidak bekerja sebagaimana yang diharapkan.
Pada akhirnya, perusahaan harus menilai segmen mana dan
pelanggan mana yang akan menanggapi manajemen hubungan secara menguntungkan.
Beberapa konsep untuk mengevaluasi hubungan pelanggan tersebut antara lain
konsep profit pelanggan (customer profit) dan customer lifetime value. Customer
profit mengukur profit yang dihasilkan perusahaan degan melayani pelanggan atau
kelompok pelanggan dalam periode waktu tertentu, sementara customer lifetime
value merupakan nilai rupiah dari hubungan atau relasi dengan pelanggan
berdasarkan present value – nilai hari ini dari arus kas masa depan.
Perbedaan utama antara customer profit dan customer lifetime
value adalah bahwa customer profit mengukur masa lalu, sedangkan customer
lifetime value memperhatikan masa depan. Dengan kata lain, customer lifetime
value merupakan baas atas dari apa yang perusahaan ingin bayarkan untuk menjaga
hubungan dengan pelanggan. Customer lifetime value juga mengindikasikan batas
atas dari jumlah yang ingin dibayar perusahaan untuk mencegah kehilangan
hubungan pelanggan. Dua indikator inilah yang bisa dipertimbangkan oleh
perusahaan dalam menerapkan konsep hubungan dengan pelanggan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar