Hari ini, orang di seluruh dunia bisa dengan mudah berbagi pendapat dan pengalaman mereka mengenai hampir semua hal. Siapapun yang bisa
mengakses Internet, dengan mudah dapat menyuarakan pendapatnya,
membuat berbagai bentuk konten, menciptakan produk baru, dan –
dengan caranya sendiri -- mengubah dunia.
Hanya saja, hal luar biasa yang dimulai oleh
kelompok-kelompok kecil yang berbicara tentang profesi dan passion mereka itu kini telah berubah menjadi semacam demokrasi yang tak
terkendali.
Orang bisa memaki, menyebarkan sesuatu yang belum tentu kebenarannya, bahkan
sampai ke hal yang tak ada batasan antara yang boleh dilakkukan dan yang tidak
bileh dilakukan, antara yang pribadi dan public, dan sebagainya.
Dalam buku Auditing social media: a governance and risk guide ini, Peter R.
Scott dan J. Mike Jacka menulis bahwa selama beberapa tahun terakhir,perusahaan-perusahaan di seluruh dunia berusaha
mencari tahu tentang bagaimana masuk
ke sebuah wadah besar seperti kolam media sosial.
Beberapa memutuskan untuk melompat dan cepat belajar tentang bagaimana cara berenang. Yang
lain, didorong ke dasar dan berhasil
keluar setelah sedikit menggelepar, dan sebagian
lainnya memilih untuk tetap di di luar atau tidak masuk ke air
dengan harapan terhindar dari risiko seperti yang diilustrasikan di atas.
Sayangnya, jika Anda percaya bahwa Anda dapat menghindari media social, Anda tidak bisa. Anda atau perusahaan Anda dapat memilih untuk tidak masuk ke dalam kolam tadi. Akan tapi itu tidak berarti orang tidak membicarakan Anda, produk,
program-program, layanan pelanggan Anda, atau orang-orang di dalam perusahaan Anda sama sekali. Anda diam, bergerak, atau apapun yang yang lakukan,
Anda tetap berpotensi untuk dibicarakan orang. Jadi sementara ada resiko dalam melibatkan para pemangku kepentingan dalam penggunaan
media sosial, namun ada juga resiko serius bila perusahaan menghindarinya.
.
Media sosial kini telah menjadi bagian dari praktek utama bisnis. Perusahaan kini mulai belajar dan memahami bahwa media social bukan hanya tentang memiliki penggemar Facebook. Para pengelola perusahaan sadar bahwa media social dapat memunculkan nilai strategis baru yang signifikan. Namun demikian, di dalam sebuah organisasi masih banyak eksekutif perusahaan yang menghindarinya.
Media sosial kini telah menjadi bagian dari praktek utama bisnis. Perusahaan kini mulai belajar dan memahami bahwa media social bukan hanya tentang memiliki penggemar Facebook. Para pengelola perusahaan sadar bahwa media social dapat memunculkan nilai strategis baru yang signifikan. Namun demikian, di dalam sebuah organisasi masih banyak eksekutif perusahaan yang menghindarinya.
Hal ini didukung oleh sebuah studi yang dilakukan Russell Herder
dan Ethos Business Law pada 2009 lalu yang menunjukkan, 51 persen
eksekutif tidak menggunakan media sosial karena mereka tidak cukup tahu tentang
hal itu. Selain itu, 81 persen percaya bahwa media sosial dapat meningkatkan risiko keamanan perusahaan dan khawatir
tidak hanya merusak produktivitas karyawan tetapi juga
merusak reputasi perusahaan.
Meskipun kekhawatiran ini ada, namun responden mengakui bahwa secara keseluruhan, media sosial tidak dapat diabaikan. Bahkan, 81 persen percaya bahwa media sosial dapat meningkatkan hubungan dengan pelanggan/klien dan membangun reputasi merek, hampir 70 persen percaya bahwa media social sangat berarti dalam proses perekrutan dan berfungsi sebagai alat dalam meningkatkan layanan pelanggan (64 persen).
Dengan pengakuan bahwa setiap orang -- atau setidaknya dapat – menjadi penerbit, maka implikasinya terhadap perusahaan luar biasa. Karena setiap karyawan, pelanggan, pesaing, dan sebagainya bisa menjadi penerbit. Ini berarti perusahaan tidak lagi mengontrol pesannya. Pesan yang keluar menjadi smacam bola liar yang ungkin saja terus dibicarakan, dibumbui dan sebagainya sehingga bisa berpotensi merusak reputasi Anda atau perusahaan Anda.
Meskipun kekhawatiran ini ada, namun responden mengakui bahwa secara keseluruhan, media sosial tidak dapat diabaikan. Bahkan, 81 persen percaya bahwa media sosial dapat meningkatkan hubungan dengan pelanggan/klien dan membangun reputasi merek, hampir 70 persen percaya bahwa media social sangat berarti dalam proses perekrutan dan berfungsi sebagai alat dalam meningkatkan layanan pelanggan (64 persen).
Dengan pengakuan bahwa setiap orang -- atau setidaknya dapat – menjadi penerbit, maka implikasinya terhadap perusahaan luar biasa. Karena setiap karyawan, pelanggan, pesaing, dan sebagainya bisa menjadi penerbit. Ini berarti perusahaan tidak lagi mengontrol pesannya. Pesan yang keluar menjadi smacam bola liar yang ungkin saja terus dibicarakan, dibumbui dan sebagainya sehingga bisa berpotensi merusak reputasi Anda atau perusahaan Anda.
Kabar baiknya,
perusahaan kini memiliki kemampuan untuk mengembangkan hubungan yang
lebih kuat dan lebih bermakna dengan para pemangku kepentingan, menciptakan
kesempatan untuk memberikan nilai jauh lebih besar. Melalui kemampuan mendengarkan
secara efektif, menghubungkan, dan berbicara dengan para pemangku kepentingan, perusahaan dapat memperoleh pemahaman yang lebih besar tentang kebutuhan para stakeholder.
Disinilah pentingnya perusahaan untuk
mengenali, memahami, dan bahkan ikut dalam media social. Dengan masuk
kedalamnya, Anda atau perusahaan Anda bisa mencermati, memilah, dan
mengevaluasi serta membuat keputusan kapan Anda harus bergerak atau melakukan
sesuatu. Proses inilah yang disebut Scott dan Jacka sebagai social media audit.
Dimulai dengan forum pertukaran pesan dan terhubung dengan teman-teman, media sosial telah berkembang menjadi seperangkat alat dan teknologi yang memungkinkan perusahaan berkomunikasi dengan pelanggan secara real time berdasarkan lokasi mereka. Alat dan teknologi ini juga memungkinkan perusahaan untuk menjadi bagian dari sumber infomasi.
Dimulai dengan forum pertukaran pesan dan terhubung dengan teman-teman, media sosial telah berkembang menjadi seperangkat alat dan teknologi yang memungkinkan perusahaan berkomunikasi dengan pelanggan secara real time berdasarkan lokasi mereka. Alat dan teknologi ini juga memungkinkan perusahaan untuk menjadi bagian dari sumber infomasi.
Pada saat kesempatan
itu muncul, datang pula risiko. Sampai saat ini,
masih sedikit perusahaan yang memperhitungkan risiko media sosial. Menurut Deloitte LLP 2009 Ethics & Workplace Survey yang berjudul Social
Networking and Reputational Risk in the Workplace, 58 persen dari eksekutif
perusahaan setuju bahwa risiko reputasi yang dapat timbul dari ekspresi diri
melalui
jejaring sosial seyogyanya
menjadi agenda rapat.
Namun, bagaimanapun
hanya 15 persen eksekutif yang secara aktif berusaha
mengatasi permasalahan tersebut. Yang lebih mengejutkan, hanya 17 persen yang memiliki program formal untuk memantau dan mengurangi potensi risiko reputasi terkait dengan penggunaan jaringan
sosial. Selain itu, penelitian ini menyebutkan
bahwa hanya 22 persen responden mengatakan bahwa perusahaan
mereka memiliki kebijakan formal untuk
menentukan bagaimana karyawan dapat menggunakan alat jaringan sosial.
Apa yang membuat buku Auditing social
media ini
berbeda dengan buku kebanyakan adalah penulisnya. Buku
ini merupakan hasil kolaborasi antara auditor
internal dan praktisi media sosial. Ini memberikan dua perspektif yang berbeda,
tapi satu pesan umum. Hasil akhirnya adalah panduan untuk membantu auditor
internal
dan pemimpin di seluruh perusahaan berkolaborasi untuk mengidentifikasi peluang dan risiko media sosial
sebagai media komunikasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar