Perkembangan teknologi memperbesar peluang dan
kesempatan bagi pemasar untuk mempromosikan mereknya. Persoalannya adalah
bagaimana memanfaatkan peluang itu untuk melipatduakan penjualan.
Keponakan saya,
Dian – dokter yang kini mengambil spesial mata – mengirim pesan di halaman
facebook. Inti pesannya menceritakan, saat belajar dan membaca e-buku kedokterannya
di layar laptop pada tengah malam, anaknya yang berusia dua tahun bangun.
Sambil membawa buku, anaknya minta diceritakan isinya. Akhirnya, sambil
bercerita, Dian – 27 tahun -- mempermainkan BlackBerry-nya untuk berdialog langsung
atau melalui Facebook dengan teman-teman kuliahnya dan browsing internet
seputar mata kuliah yang saat itu sedang dipelajari.
Dian bisa jadi
tidak sendirian. Teman dokter mahasiswa spesialis lawan bicaranya – yang
rata-rata usia muda -- bisa jadi melakukan hal serupa. Anak saya, Bayu, yang
baru masuk kuliah juga demikian. Semua materi kuliahnya diringkas ke dalam
bentuk powerpoint dan disimpan di smartphone-nya. Tengah malam, sambil membaca ringkasan
kuliah di smarphone itu tadi, sesekali dia belajar gitar melalui internet dari
layar MacBook-nya. ”Anda kini bisa melihat remaja yang bisa melakukan lima
aktivitas dalam satu kesempatan,” tulis Don Tapscott dalam bukunya Grown Up Digital (McGraw Hill, 2009).
Menurut Tapscott,
anak muda usia 11- 31 tahun kini secara mudah beriteraksi dengan beragam media
hanya melalui alat berlayar ukuran dua inchi. Mereka menggunakan handphone-nya
untuk beragam aktivitas. Kita bisa berbicara dengan mereka, mengecek serta
membalas email kita. Mereka menggunakan handphone untuk kirim pesan,
berselancar di dunia maya, bermain game, mencari arah atau jalan, mengambil
gambar dan membuat video. Mereka Facebook-an setiap saat, termasuk saat bekerja
atau belajar, atau memberitahukan status mereka melalui Twitter kapanpun dia
mau.
Pada 2007,
melaluinya buku Join the Conversation,
Joseph Jaffe memperkenalkan generasi i atau generasi “aku” yang tidak bisa
“diatur” oleh orang lain. Jaffe menyebut bahwa di dalam generasi ini hegemoni
telah mati dan dikalahkan oleh kemitraan (partnership). Ahli filsafat politik
Italia, Antonio Gramsci, menyebut hegemoni sebagai dominasi suatu kelompok
dalam mengontrol kelompok lain dengan damai Berbeda dengan manipulasi atau
indoktrinasi, hegemoni terlihat wajar, orang menerima sebagai kewajaran dan
sukarela.
Menurut Jaffe,
generasi i tidak ada kaitannya dengan umur atau demografis lainnya, melainkan
pada mind-set. Generasi i adalah segala sesuatu tentang, ”Apa yang telah kau
lakukan buat saya kemudian.” Mereka tidak bisa dikontrol dan dipercayakan. Ini
adalah soal kebersamaan dan kesadaran. Dengan kata lain, mereka mencapai tujuan
kolektif melalui kontibusi dari individu-individu. Ini mengimplikasikan
pemaknaan ulang proses konsumsi dari sebuah produk.
Menurut Prof.
Agus Soehadi yang membedakan antara konsumsi yang bersifat pribadi dan komunal.
Ketika mengonsumsi sendiri, menurut Agus, maka pemenuhan kebutuhan dirinya
seperti kebutuhan fungsional, hedonis atau simbol menjadi motif utama.
Sedangkan ketika mengonsumsi secara bersama-sama maka tidak hanya memenuhi
kebutuhan dirinya tetapi juga berusaha untuk memenuhi kebutuhan kelompok atau
bagaimana menempatkan dirinya diantara teman-teman dalam kelompoknya.
Landscape
marketing kini memang berubah. Kita kini hidup dalam dunia yang penuh
skeptisisme. Kenapa skeptisisme? Di Indonesia, populasi remaja yang berusia
15-30 tahun mencapai 28% dari total
penduduk (sekitar 60 juta). Ini merpakan pasar yang sangat besar. Mereka yang sering
disebut sebagai generasi Y ini besar di era komputer dan online. Mereka
dibesarkan pada era ringkas dan padat, mempunyai waktu luang kurang dari 3 jam.
Karakter mereka, menurut riset Nielsen, sangat menginginkan interaktivitas, mencari
pengalaman panca indera langsung dalam pemasaran, mendambakan kecepatan (growing
impatience), haus akan pengalaman (activation) dan gaya hidup yang bergerak cepat dan selera
yang cepat berubah (prosumer). Interaksi mereka dengan media sosial membuat
mereka kritis, dan anti pemaksaan
Bagaimana dengan generasi sebelumnya? Di sebagian besar
wilayah, interaksi penduduk dengan media sosial juga cukup besar. Data ihub media – yang mewakili Facebook di
Indonesia – per Juni 2009, pengguna Facebook di Indonesia mencapai hampir 7
juta. Data per Oktober mencapai 10 juta pengguna. Sebagian besar penggunanya
memang usia 18-24 tahun, namun pengguna usia 25-34 tahun juga besar.
Seorang teman yang mengelola halaman Arek-Arek Gresik di Facebook mendapati bahwa dari 4040-an
anggotanya, 40 pesen ternyata usianya diatas 35 tahun. Motif para senior
memiliki halaman Facebook umumnya adalah untuk mencari teman-teman lama. Selain
sharng idea, mereka juga ingin bernostalgia dengan teman-teman lamanya sambil
mencari-cari peluang usaha kerjasama. Hanya sedikit yang mencari teman baru.
Data tersebut belum mencakup media sosial lainnya seperti blog,
twitter, flickr, dan sebagainya. Dalam tulisan ini, yang dimaksud dengan
sosial media adalah komunitas online yang memungkinkan anggotanya
berpartisipasi, berdialog dan terus mengalir. Setiap anggota komunitas juga
dapat membuat, mempublikasikan, mengontrol, mengkritik, memeringkat, dan
berinteraksi dengan semua ide atau pikiran yang muncul dalam komunitas
tersebut. Disini orang ingin berhubungan. Orang ingin berbicara. Orang ingin
berbagi.
Dalam konteks marketing, pemasaran sosial media merupakan
suatu proses pemberdayaan orang perorang untuk mempromosikan situs, produk
barang atau jasa mereka melalui saluran sosial online, dan untuk berkomunikasi
dan menyampaikannya kepada kelompok yang lebih besar. Perbedaan mendasar dengan
marketing konvensional adalah interaksi yang terjadi antara pengirim pesan dan
penerima pesan.
Kedua, batasan waktu dan ruang yang semakin kabur. Suatu
pesan bisa tersebar dalam jangkauan yang tidak bisa kita bayangkan dan waktu
yang demikian cepat. Sampai-sampai – dan ini perbedaan yang ketiga -- kita sendiri
terkaget-kaget oleh efek dari pesan itu sendiri. Berbeda dengan iklan yang
sifatnya linear sehingga feknya bisa kontrol, paling tidak kita hindari. Dalam
pemasaran media sosial pengirim pesan sulit mengontrol efeknya. Dalam konteks
marketing, pelanggan bisa mencela dan menyebarkannya ke komunitas lainnya bila
mereka merasa kecewa dengan kita.
Gambar 1. Pertumbuhan
Pengguna Facebook di Indonesia
Gambar 2. Segmentasi Pengguna Facebook di
Indonesia Menurut Umur
Popularitas media
jejaring sosial seperti MySpace, Facebook, Friendster, Twiter dan sebagainya
sangatlah fenomenal. Media sosial itu memudahkan orang untuk membuat profil
diri mereka dan menjadikannya untuk membentuk jaringan maya yang terdiri dari
teman-teman offline mereka serta mencari teman online baru atau menemukan teman
lama yang terlupakan.
Media
sosial identik dengan komunitas. Sebagai komunitas mereka fokus pada bidang-bidang tertentu. Ada ratusan,
bahkan ada ribuan komunitas berdasarkan keminatannya. Ini menunjukkan bahwa
pada dasarnya dunia maya tidak bedanya dengan dunia nyata. Hanya bagaimana
orang berinteraksi itulah yang membedakan antara dunia maya dan dunia nyata.
Bahkan dilihat dari keluasan, jangkauan dunia maya jauh lebih luas ketimbang
dunia nyata. Batasan waktu pun semakin kabur karena meski dunia nyata sudah
tertidur, dunia maya di kawasan dunia nyata itu orang-orangnya masih terjaga.
Pertumbuhan yang
fenomenal dan besarnya jumlah komunitas mengindikasikan bahwa memang tidak
semua anggota komunitas tersebut memanfaatkannya untuk pemasaran. Akan tetapi,
tidaklah bijaksana bila menganggap hanya kita sendiri yang memanfaatkan media
tersebut untuk mempromosikan produk kita. Ada jutaan orang lainnya yang membuat
profil mereka masing-masing untuk saling berbagi foto, jurnal, video, musik,
dan minat melalui suatu jaringan pertemanan.
Menurut Ong
Hock Chuan, saat ini banyak praktisi public relations yang belum menyadari
perubahan yang terjadi dunia mereka. Kendati sebagai konsumen mereka menggunakan media sosial,
namun itu hanya sebagai alat sosialisasi belaka. Sebagai intitusi, mereka belum
memanfaatkannya untuk klien dan kepentingan strategik mereka. Karena itu ketika
muncul suara negatif tentang kliennya, praktisi public relations belum siap.
Sehingga respon yang muncul cenderung kontraproduktif.
Padahal,
saat ini memantau isu begitu sulit karena banyaknya media. Idealnya isu perlu
dikenali ketika masih belum berkembang menjadi krisis. Persoalannya, tidaklah
gampang meantau semua isu yang berkembang di dunia maya. Isu lebih banyak
dikenali ketika sudah menjadi besar. Itu sebabnya, pada tahap itu, semestinya
PR harus bisa menjelaskan dan membantu klien-kliennya, bagaimana berkomunikasi
secara tepat, terpercaya, dan tepat guna
kepada klien. “Inilah tantangan yang dihadapi PR zaman sekarang,” kata Ong.
Rempoa, 2 November 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar