Cause-Related Marketing (CRM) bukan
kegiatan sponsorship, bukan pula filantropi yang hasilnya seringkali tidak
terukur. Lewat CRM, pendapatan perusahaan tidak akan turun, omset malah naik,
reputasi meningkat pula! Bagaimana melakukannya?
Anda pasti sudah sering mendengar
istilah CRM, jargon khas marketing yang sangat familiar di kalangan
pemasar sebagai alat untuk menjaga loyalitas pelanggan. Tapi CRM yang akan kita
bahas pada tulisan ini bukan Customer Relationship Management seperti
yang sering Anda dengar, melainkan Cause-Related Marketing. Anda pernah
mendengarnya?
Kalau saya beri ilustrasi seperti
ini, barangkali Anda tidak asing dengan praktik CRM seperti yang dimaksudkan
Graham Dowling, profesor ilmu marketing dari Australian Graduate School of
Management, dalam bukunya bertajuk Creating Corporate Reputations Cause-Related Marketing.
American Express (Amex) pernah
membuat program CRM dengan membantu renovasi patung Liberty kebanggan rakyat
Amerika. Renovasi ini dibiayai dari sebagian keuntungan Amex yang diperoleh
dari setiap transaksi nasabah kartu kreditnya. Lewat kampanye: semakin sering
customer Amex melakukan transaksi dengan kartu Amex, maka semakin besar
sumbangan dia untuk memperbaiki patung identitas negara ini, Amex berhasil
menggugah rasa nasionalisme rakyat Amerika.
Hasilnya? Dengan senang hati para
nasabah Amex di negeri Paman Sam menggesekkan kartu kredit Amex dalam
kesempatannya bertransaksi.Dengan mengaitkan program tersebut dengan lambang
kebesaran negeri ini, Amex tidak hanya berhasil meraih reputasi di mata rakyat
Amerika, tapi dia juga berhasil meningkatkan kinerja penjualannya.
Contoh lain perusahaan yang sukses
menerapkan CRM adalah the Body Shop. Anita Roddick, pemilik perusahaan ini,
gencar melakukan kampanye penyelamatan lingkungan yang menjadi “ideologi” baru
masyarakat modern di berbagai belahan dunia. Dia rajin mendanai kegiatan
lingkungan, terjun langsung dalam aktivitas ini, dan membantu mengembangkan
komunitas pecinta lingkungan.
Berbagai kegiatan yang dilakukannya
ini, secara tidak langsung berdampak positif bagi perusahaan yang didirikannya.
Lewat aktivitasnya ini Roddict diam-diam berhasil membangun komunitas pelanggan
the Body Shop, produk-produk perawatan tubuh yang ramah lingkungan. Program
seperti inilah yang disebut sebagai cause-related marketing.
CRM ini tidak sama dengan kegiatan
filantropi. Bukan pula aktivitas sponsorship. Kegiatan filantropi atau sponsorship
biasanya hanya menguntungkan salah satu pihak. Hibah bagi si penerima bantuan,
tapi cost bagi perusahaan. Sementara reputasi yang diharapkan diraih
perusahaan dari aktivitas itu, belum tentu signifikan dibandingkan bujet yang
dikeluarkannya. Kegiatan filantropi dan sponsorship ini tidak terukur
hasilnya.
Sementara itu, CRM justru bersifat
win-win. Menguntungkan bagi penerima bantuan, tapi tidak membuat buntung perusahaan
yang menyelenggarakannya. Pendapatan perusahaan tidak turun, omset malah naik,
reputasi perusahaan pun meningkat!.
Graham Dowling mendefinisikan CRM
sebagai alat pemasaran dan positioning strategis yang menghubungkan
perusahaan atau brand dengan kegiatan atau isu sosial yang relevan
sehingga membawa benefit bagi kedua belah pihak.
Di Amerika Utara, CRM termasuk strategi
pemasaran yang tumbuh dengan sangat pesat. Di era kompetisi yang makin ketat
ini, perusahaan harus berjuang mendapatkan perhatian dan loyalitas pelanggan
dengan beragam cara, tidak cukup hanya lewat produk atau jasa yang berkualitas.
Sebuah
survey yang dilakukan oleh the Conference Board of Canada menunjukkan
bahwa 72% rakyat Kanada lebih suka membeli produk atau jasa dari perusahaan
yang memiliki komitmen terhadap kelestarian sumberdaya dan concern terhadap
kehidupan masyarakat dan 68% lebih suka menanamkan modalnya pada perusahaan
yang secara demonstratif mendukung masyarakat.
Di
Indonesia, sebetulnya cukup banyak perusahaan yang mencoba melakukan aktivitas
CRM. Misalnya, lewat program: setiap anda membeli produk anu, berarti Anda
menyumbang sekian Rupiah untuk kegiatan anu. Pasti Anda sering mendengar
kampanye seperti ini. Ada kecap Kurma, Aqua, dan sebagainya. Tapi sayang, tidak
ada laporan tentang efektivitas program yang mereka lakukan ini, termasuk
berapa yang berhasil disumbangkan. Bisa jadi karena bisa membuat public mengetahui
tingkat penjualannya.
Sampai
lima tahun lalu, kelemahan perusahaan Indonesia dalam mengadaptasi program ini
terasa, terutama dari sisi kreativitas dan kejeliannya dalam mengaitkan program
ini dengan kegiatan yang secara langsung bisa menembus emosi, spiritual, atau
intelektual pelanggan. Namun, belakangan kegiatan ini berkembang sejalan dengan
makin diketahuinya titik-titik kontak baru. Sekarang kegiatan CRM tidak
berdiri, tapi juga diikuti oleh kegiatan promo lainnya. Salah satunya adalah
kegiatan yang dilakukan ABC Dapur Peduli. Dalam event Brand Activation Award, yang
diselenggarakan Majalah MIX-MarketingCommunications, September lalu, ABC Dapur Peduli memperoleh penghargaan silver
untuk kategori Event Roadshow.
ABC Dapur Peduli
Insight Heinz ABC
Indonesia menunjukkan bahwa setiap ibu dan keluarga muslim Indonesia memiliki tradisi menyiapkan makanan untuk
berbuka puasa keluarganya dan kaum dhuafa. Mereka sangat percaya bahwa menyiapkan dan memberikan
makanan untuk berbuka puasa di Bulan Ramadhan akan mendatangkan pahala yang
berlipat ganda. Sisi emosional itulah, yang dimanfaatkan pengelola brand Kecap ABC untuk
penyelenggaraan aktivasi merek “ABC Dapur Peduli”.
Menurut Pratitis Adi Nugraha, Senior Brand
Manager ABC, dengan konsep dan strategi
baru program aktivasi merek Kecap ABC ini, Heinz ABC Indonesia sebagai pemilik
merek mencoba keluar dari pendekatan promosi konvensional produk seasoning
yang biasanya hanya bergantung pada public relations, consumer promotion, demo masak, dan in-store
display semata.
Sejatinya
program aktivasi merek ini merupakan kombinasi antara Cause-Related Marketing—di mana untuk setiap pembelian Kecap ABC,
keuntungan dari konsumen disalurkan untuk memberikan
makanan berbuka bagi 100,000 dhuafa—dan event
aktivasi merek di mana Heinz ABC bekerjasama dengan Dompet Dhuafa melibatkan ibu-ibu dari Majelis Ta’lim untuk
berperan aktif memasak dan membagikan makanan berbuka ke 100,000 dhuafa di lebih dari
150 titik di sekitar Jabodetabek dan Surabaya selama 24 hari di bulan Ramadhan.
“Selain menggalang dukungan dari kelompok-kelompok Majelis Ta’lim, kami juga menggalang dukungan dari ustad/ustadjah, pakar
kuliner, hingga selebriti,” kata
Pratitis.
Pratitis menambahkan, interactivity dalam program ini diperkuat melalui digital media, terutama facebook dan twitter. “Media
facebook merupakan sarana kami untuk memberikan informasi tentang update pembagian
makanan. Kami juga mengajak ibu-ibu
turut berbagi dengan cara berbagi resep favorit
mereka di bulan ABC Dapur Peduli. Resep dengan “like” terbanyak, maka pengirim
resep berhak menentukan lokasi donasi,”
terangnya.
Demi menggaungkan aktivasi tersebut, Kecap ABC menggunakan media televisi, radio, dan cetak—baik nasional maupun daerah. Harapannya, upaya itu dapat membangun awareness
terhadap program tersebut, terutama di area Jabodetabek
dan Surabaya. Bahkan, Kecap ABC juga bekerja sama dengan account
mini market Alfamart (yang jumlahnya tak kurang
dari 3,500 gerai), Giant (50 gerai), Carrefour (50 gerai), dan beberapa lokal account (50 gerai) untuk melakukan in-store
visibility. Termasuk, memilih kurang lebih 30 toko
di Jakarta dan Surabaya untuk melakukan in-store
activation.
Hasilnya? Menurut
Pratitis, melihat aspek emosional dan
loyalitas terhadap brand Kecap ABC, terlihat bahwa
konsumen memberikan respon yang sangat positif terhadap program “ABC Dapur Peduli 2010”. “Hal itu menegaskan bagaimana program
ini telah berhasil dengan sukses mencapai tujuan, yang
tidak hanya dari sudut pandang pemasaran, namun juga
dari aspek brand loyalty,” yakinnya.
Indikator
lain yang juga menjadi tolok ukur
kesuksesan program tersebut adalah jumlah fans
facebook yang mengalami peningkatan yang
signifikan. Persisnya, telah terjadi penambahan fans sebanyak 35,000 selama program berlangsung. “Bahkan, media value program ini melampaui double
digit dari angka investasi. Penjualan In-store pun melebihi ekspektasi target (double digit). Walaupun, hal itu bukan menjadi tujuan utama,
namun program ini ternyata membantu peningkatan penjualan kecap ABC pada
periode yang sama dibanding 2009,” tutup
Pratitis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar