Dalam sepekan
terakhir, teman-teman alumni IPB yang tergabung dalam milist ipb-link@yahoogroups.com ramai
membicarakan masalah keberadaan hypermarket. Diskusi ini diawali oleh keluhan seorang teman
yang menjadi produsen dan pemasok buah-buahan lokal ke hypermarket. Menurut teman tadi, hypermarket itu
drakula.
Kenapa? Dua puluh
lima tahun lalu, dia memulai usahanya dari omset sejuta rupiah sebulan. Sepuluh
tahun kemudian melonjak menjadi semilyar sebulan. Namun, begitu masuk
hypermarket, omsetnya langsung rontok. ”Saya ini hanya bertahan,” tulisnya. Ada
10 item yang menurut dia merupakan ”penghisapan” darah pemasok oleh
hypermarket. Ini mulai dari adanya 17
jenis pungutan kepada pemasok hingga term pembayaran yang 2-3 bulan.
"Untuk mencatatkan satu nama produk saja, biayanya bisa sampai Rp 4
juta-Rp 4,5 juta (listing fee),” katanya.
Seorang teman
lainnya yang kebetulan ada di birokrat, masih dalam milist tersebut, mengatakan
bahwa dia mendorong lahirnya undang-undang retail modern. Disini, antara lain
diatur agar pembayaran terhadap pemasok paling lama 15 hari, atau pembagian
pertanggungan atas resiko barang rusak harus disepakati dan maksimal 30-70, dan
seterusnya.
Tahun lalu, saya
melakukan riset kecil-kecilan bagaimana persepsi orang terhadap keberadaan salah
satu hypermarket. Hasilnya mengejutkan, hypermarket itu dipersepsikan sebagai
perusahaan pembela konsumen. Ia dianggap sebagai pahlawan karena hypermarket tersebut
berhasil memaksa peritel lainnya untuk menetapkan harga yang lebih menguntungkan
bagi konsumen.
Persepsi yang
sama juga muncul di kalangan pedagang kelontong warng-warung kaki lima di
perumahan-perumahan, pemukiman, dan sebagainya. Ini karena sebagain
besar dari barang yang mereka jual dibeli dari hypermarket. Mereka “kulakan” di
hypermarket terutama untuk berburu diskon sehingga mereka membeli barangnya
secara berpindah-pindah. Hari ini
misalnya diskon sampo di Carrefour, mereka rame-rame belanja di Carrefour.
Besoknya, jika ada diskon detergen di Giant, mereka pun rame-rame berbelanja di
Giant.
Dibandingkan
dengan harga di pedagang grosir, harga produk-produk tadi memang ada yang lebih
murah. Banyak pula yang sama atau lebih murah dibandingkan harga di
hypermarket. Tetapi, ada benefit lain yang mereka peroleh bila “kulakan” di
hypermarket. Mereka bisa membeli dengan menggunakan kartu kredit. Sebab saat ini untuk mendapatkan kartu
kredit tidak sesulit dulu. Dengan menggunakan kartu kredit, dihitung-hitung, kalau mereka bayar tepat
waktu, ada penguluran waktu bayar menjadi 45 hari.
Inilah kesulitan yang
bakal muncul bila menerapkan peraturan pembayaran terhadap pemasok 15 hari
sekaligus. Karena -- berdasarkan data salah seorang pelaku ritel besar sewaktu
berceramah di Marketing Club Majalah MIX --
hampir 60 % pebelanja di hypermarket membayar dengan menggunakan kartu
kredit. Sehingga kalau misalnya ada aturan yang menetapkan term pembayaran
paling lama 15 hari, hypermarket akan lebih menekan pemasok lagi. Itu dilakukan
untuk menutup cost of money yang muncul akibat percepatan pembayaran tadi.
Kedua, mungkin
skema pembayaran 2-3 bulan sebenarnya bukan hal baru di dunia ritel. Saat
sebelum krisis, ada sebuah peritel yang menerapkan hal itu. Bahkan jauh lebih
parah karena skema pembayaran 2-3 bulan itu hanya berlaku bagi pemasok produk
tradisional seperti cabe, dan sebagainya. Sedangkan untuk produk toiletries
atau produk multinasional hal itu tidak berlaku karena term of paymentnya tidak
selama itu.
Ini sekaligus
menunjukkan, ada sesuatu dengan sistem distribusi dan pricing kita. Sebab
seperti diketahui, salah satu level output jasa yang diinginkan peritel kecil
dari pemasoknya adalah layanan pendukung seperti kredit, pengiriman, instalasi,
dan perbaikan. Layanan ini tampaknya sulit didapatkan oleh peritel kelas bawah,
terutama untuk produk-produk toileteris, apalagi oleh pedagang grosir. Itu
sebabnya, mereka pada umumnya lari ke hypermarket.
Yang kedua, melihat hasil riset yang dipaparkan di Majalah
MIX nomor ini, kelihatan sekali, fungsi intermediasi ke peritel kelas “kampong”
yang menjadi ujung tombak produk ini sangatlah minim. Ini paling tidak
tercermin pada indikator manajemen pelanggan yang meliputi penilaian umum
terhadap kinerja salesman, frekuensi kunjungan, kegiatan salesman di toko,
serta penanganan terhadap keluhan. Untuk kategori penilaian ini, hampir semua
merek mendapatkan nilai tidak lebih dari 25 atau 30.
Pekan lalu, saya iseng-iseng bertanya ke beberapa outlet
kaki lima dan toko kelontong di daerah Rempoa
dan Bintaro, Jakarta .
Ketika saya tanya apakah mereka
sering didatangi salesmen dari perusahaan A atau B pemilik merek, hampir
semuanya menyatakan tidak pernah. Lalu siapa yang mengedrop produk-produk yang
mereka jual, ”Ya, pedagang (pemasok, red).” Mereka ini umumnya tidak hanya
memasok spesifik untuk satu brand, tapi brand-brand lain yang mungkin satu sama
lain bersaing.
Rempoa, 10 Mei 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar