Setelah berminggu-minggu frustasi akibat sinyal yang
buruk dan keluhannya tak dijawab
penyedia layanan ponsel, Adam Brimo, alumni University of New South Wales di
bidang teknik perangkat lunak, akhirnya kehilangan kesabaran.
Sementara dia mendatangi pusat layanan pelanggan Vodafone
– provider layanan ponsel itu, remaja 23 tahun itu membuat website untuk menyuarakan
ketidakpuasannya kepada dunia. Brimo pun segera mendapati bahwa sejatinya bukan
hanya dia yang mengeluhkan layanan
Vodafone. Banyak orang yang senasib dengan Brimo dan mereka menyampaikan
keluahannya itu melalui website yang dibangun Brimo.
Setelah sebuah sebuah surat kabar menulis tentang keluhan
dengan mengutip artikel dari website yang dibuat Brimo, pada akhir 2010, situs
Brimo -- www.vodafail.com -- dengan
cepat menarik perhatian massa. Situs yang memungkinkan sesama pelanggan
Vodafone untuk mengirim keluhan mereka itu dilongok sekitar 280.000 pengunjung
dan lebih dari 850.000 tampilan halaman sejak diluncurkan pada bulan Desember.
Semuanya berisi tentang keluhan terhadap Vodafone.
Bagi Vodafone, dalam konteks hubungannya dengan
pelanggan, ini benar-benar bencana. Bahkan dia beberapa hari setelah itu, firma
hukum Piper Alderman yang berbasis di Sydney yang berhasil mengumpulkan 22 ribu
lebih pelanggan yang mengeluhkan soal layanan jaringan Vodafone melakukan
gugatan class action.
"Apa yang semula dianggap sebagai suatu masalah
sederhana saat saya menelpon dan tidak bisa diselesaikan, telah berubah menjadi
gerakan puluhan ribu orang yang bergabung dan mengatakan mereka memiliki masalah
juga," kata Brimo. Dia hanya ingin masalah yang terjadi dengan teleponnya
diperbaiki. "Namun persoalannya menjadi berkembang cepat, dari hanya
problem yang saya hadapi berubah menjadi persoalam yang perbaikan yang harus
dilakukan untuk memecahkan masalah setiap banyak orang Ini adalah salah satu
fungsi sosial internet."
Setelah mengkompilasi keluhan-keluhan yang muncul di
vodafail.com, pada Desember 2010, Brimo bertemu dengan Nigel Dews, chief
executive Hutchison Vodafone Australia. Hasilnya, Vodafone merilis pernyataan
maaf kepada publik dan menyatakan bahwa mereka akan mengatasi persoalan
jaringan seperti yang dikeluhkan oleh Brimo.
Namun persoalannya tidak berhenti disitu. Ini karena
Brimo juga menyerahkan laporan yang berisi lebih dari 12.000 keluhan ke the
Australian Communications and Media Authority, the Australian Competition and
Consumer Commission, dan the Australian Communications Consumer Action Network.
Akhirnya pada bulan Februari 2011, Vodafone secara resmi berjanji menganggarkan
dana $ 1 miliar untuk mengupgrade jaringan dan dukungan pelanggan.
Media sosial di satu dapat digunakan perusahaan sebagai
sarana untuk menyapa dan berinteraksi dengan pelanggannya atau menjadi media
informasi atau penyampaian berita secara berantai. Namun tidak sedikit yang
melaporkan tentang dampak negatifnya, misalnya kritik, komplain, bahkan tak
jarang makian serta suara negatif lain tentang merek.
Lalu bagaimana seharusnya perusahaan bereaksi ketika
menghadapi isu atau suara-suara yang mungkin memalukan seperti yang dialami
Vodafone tadi? Berdasarkan pengalaman Vodafone tersebut, Business Spectator
memberikan beberapa saran.
1. Cobalah untuk mendengarkan. Anda tidak dapat mengatasi
masalah yang dihadapi pelanggan atau beberapa pelanggan jika Anda tidak
memahami apa yang sebenarnya terjadi.
2. Kecepatan adalah penting. Paul Patterson, seorang
profesor pemasaran di the Australian School of Business, mengatakan bahwa dengan adanya internet,
perusahaan perlu bergerak lebih cepat untuk menghentikan api kecil sebelum
berkobar.
3. Minta maaf dan memperbaiki masalah.
4. Tidak meningkatkan harapan pelanggan bila harapan tersebut tidak dapat dipenuhi. Pastikan perusahaan Anda mampu secara efektif memberi
solusi untuk memperbaiki masalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar