Mengelola merek berskala kecil itu susah-susah gampang.
Susahnya, pengelola merek harus bersaing dengan merek-merek besar. Gampangnya,
sejatinya peluang tumbuh juga besar. Persaoalannya
adalah para pengelola tersebut sering berharap untuk memperoleh manfaat jangka
panjang dengan melakukan langkah-langkah sementara seperti promosi harga,
fitur-fitur khusus, atau penampilan baru.
Padahal, langkah tersebut belum tentu menghasikan sesuatu
yang diharapkan. Penelitian menunjukkan bahwa promosi harga dan tawaran fitur
khusus efeknya terhadap penjualan kurang dari 5% . Itupun hanya terlihat pada merek mapan dengan
karakteristik yang mirip. Temuan ini menyiratkan bahwa merek itu sendiri tidak
memiliki pengaruh pada penjualan jangka panjang.
Sebaliknya, hasil penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa
strategi pemasaran sumber daya yang tersedia untuk pemasaran suatu merek bisa
mempengaruhi pengembalian modal. Penulis Rebecca J. Slotegraaf dan Pauwels Koen
berpendapat bahwa sumber daya dan karakteristik merek mempengaruhi efek
permanen dan kumulatif dari pemasaran.
Mereka yang melakukan studi sejauh mana sumber daya dan
karakteristik merek menjelaskan variasi
dalam penjualan jangka panjang melalui display, fitur dalam iklan iklan, dan
promosi harga. Dengan menggunakan data dari 43 merek dalam tiga kategori produk
- jus dalam botol, pasta gigi, dan sabun
cuci deterjen - mereka memperkirakan jangka panjang efektivitas pemasaran, dan
kemudian menghubungkan perkiraan mereka dengan sumber daya merek.
Mereka juga mempelajari pendapatan premi merek untuk
memahami efek yang disebabkan oleh pengaruh ekuitas merek. Mereka juga
mempelajari pangsa pasar merek, luasnya lini produk, dan pengenalan produk baru
untuk memahami dampak dari potensi pertumbuhan merek.
Secara keseluruhan, hasil mereka menunjukkan bahwa
produktivitas jangka panjang pemasaran adalah lebih tinggi untuk merek dengan
ekuitas yang lebih tinggi dan untuk merek dengan potensi pertumbuhan yang lebih
besar . Merek-merek yang memiliki potensi pertumbuhan ini adalah merek yang
memiliki pangsa pasar lebih rendah, lini produk yang sempit, dan pengenalan
produk lebih baru. Revitalisasi merek melalui pengenalan produk baru dapat
menghasilkan keuntungan jangka panjang. Caranya adalah dengan mengkomunikasikan
sesuatu yang baru untuk pelanggan.
Sekarang tengok kasus merek-merek keluaran Siantar Top. Kalau Anda pemirsa setia televise, Anda pasti
selalu menjumpai iklan mereknya – snack, mie, kerupuk mentah atau permen --terutama
pada siang hari. PT. Siantar Top Tbk
adalah salah satu kelompok bisnis produk konsumen di Indonesia, yang didirikan
pada tahun 1972. Shindo Sumidomo --
putra daerah asli asal Pematang Siantar -- memulai bisnis dengan
mendirikan sebuah pabrik kerupuk berskala industri rumah tangga di Sidoarjo.
Usaha tersebut merupakan cikal bakal dari berdirinya PT Siantar Top, Tbk,
perusahaan industri makanan dan minuman berkualitas berskala nasional dengan
pabrik pertama di Sidoarjo pada tahun 1987. Perusahaan semakin berkembang pesat
dan pada tahun 1996 mencatatkan sahamnya di lantai Bursa Efek Jakarta (sekarang
Bursa Efek Indonesia).
Pertanyaannya, mana diantara merek keluaran Sintar Top itu
yang pernah menempati sebagai Top of Mind dalam berbagai survey omnibus yang
sering dipublikasikan media? Kayaknya tidak ada. Tapi bukannya Siantar Top
selalu melaunch produk atau merek baru? Nah disini persoalannya adalah
bagaimana merek-merek Siantar Top itu dikomunikasikan. Siantar Top adalah
perusahaan yang benar-benar mengandalkan iklan melalui televise. Dimana
kekuatan TV, semua tahu. Persoalannya adalah ketika melaunch produk baru,
konsumen perlu belajar. Perlu megetahui lebih detail tentang produk baru itu.
TV tidak bisa mengakomgir keinginan tersebut. Yang bisa mengakomodir tentu
media cetak atau dotcom. Sayangnya, Siantar Top tak pernah mencoba itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar