Penggelembungan
merek tanpa diikuti strategi yang matang ternyata menimbulkan dampak yang
dramatis, terutama di industri consumer
packaged goods (CPG). Bagaimana agar tetap selamat?
Beberapa waktu lalu, perusahaan
global seperti Sara Lee, Heinz dan Kraft harus menerima kenyataan bahwa kondisi
perusahaannya berada diambang kebangkrutan kronis akibat keliru menerapkan
strategi akuisisi dan diversifikasi brand. Mereka tidak menyadari bahwa langkah
tersebut berbuntut pada pembengkakan biaya dan pemekaran jabatan (brand
portfolio). Pada akhirnya situasi ini menciptakan kekakuan
manajemen, lambat mengambil keputusan, informasi yang bias di level top
manajemen dan tumbuhnya ketegangan stakeholder dengan manajemen.
Kendati
langkah penyelamatan sempat ditempuh lewat program perampingan jabatan dan
pemangkasan merek, namun itu tidak mampu mengubah situasi. Kekeliruan strategi
telah membuahkan dampak. Bahkan sumber penghasilan perusahaan tidak lagi
mampu untuk membayar karyawan. “Bukan hal mustahil kondisi ini melanda
perusahaan global. Kalau sudah begini kasusnya, perusahaan tinggal menunggu bom
waktu kejatuhannya,” ungkap Nikhil Bahadur, konsultan perusahaan global
sekaligus principal Booz Allen Hamilton di USA .
Semestinya,
menurut Bahadur – bersama Edward Landry dan Steven Treppo menulis artikel “How to Slim Down a Brand Portfolio” –
kita bisa belajar dari Unilever, perusahaan global yang sukses menerapkan
strategi akuisisi dan brand portfolio. Hal fundamental yang dilakukan
Unilever adalah bahwa akuisisi tersebut harus sejalan dengan strategi
investasi pada merek-merek yang masih mempunyai potensi untuk tumbuh di pasar
yang juga berkembang pesat.
Salah
satunya pada dekade 2000 lalu dimana Unilever mengakuisisi perusahaan
parfum Elizabeth Arden dan sirop Golden Griddle. Bahkan pihak manajemen
meluncurkan pakem yang disebut “Path to Growth” yang menargetkan memasukkan
hingga 1.200 brand portfolio dalam lima
tahun mendatang.
Akuisisi
Unilever dalam beberapa tahun terakhir ini telah mendongkrak tingkat penjualan
sampai 15%. Padahal, tahun 1999 lalu hanya sebesar 11,2%. Hingga tiga tahun
terakhir, Unilever telah menginvestasi lebih dari 100 perusahaan – termasuk di
dalamnya perusahaan Knorr, Dove, Hellman’s, Lipton dan Bird”s Eye - dengan
total penjualan produknya di atas 27 miliar dollar AS.
Sukses
akuisisi yang diraih perusahaan raksasa global Unilever ini di samping
bermotif investasi terhadap brand yang prospek, juga dilandasi motif
lain, yakni motivasi untuk mencoba pada sebuah kategori produk baru, mencari
kompetensi yang dibutuhkan dengan cara yang lebih cepat (misalnya jaringan
bisnis atau customer base-nya), serta mencari pijakan untuk
menyerbu pasar pada kategori yang belum dikenalnya. Lebih jauh, strategi
akuisisi yang mampu memberi kontribusi yang gemuk terhadap total pendapatan
perusahaan, tak ayal Unilever akan terus melanjutkan pengembangan bisnisnya
melalui akuisisi dan berbagai inovasi guna memenuhi kebutuhan konsumennya.
Belakangan,
akuisisi seperti yang dilakukan Unilever ini diikuti oleh perusahaan-perusahaan
lokal/multinasional dalam ekspansinya ke pasar global, baik yang
dilakukan lewat akuisisi bisnis maupun akuisisi merek.
Lantas, apa yang harus dilakukan
perusahaan saat memutuskan untuk menempuh akuisisi ataupun diversifikasi brand?
Terhadap hal ini, Nikhil Bahadur menyuguhkan formula yang setidaknya
dapat menjadi pegangan dalam menerapkan strategi tersebut. “Langkah pertama
yang harus diambil perusahaan adalah kemampuan mengeksploitasi kategori
tertentu hingga mendatangkan keuntungan. Dari sini kemudian membangun brand
portfolio yang tangguh,” katanya.
Perusahaan Frito-Lay misalnya,
berani investasi jutaan dolar AS untuk membenahi sistem distribusi yang
langsung ke toko-toko dengan dukungan database teknologi. Kemudian Wringley,
brand permen karet dan gula-gula tersohor yang mengekploitasi areal sekitar
mesin kasir pertokoan sebagai areal merchandisingnya. Konsumen bisa
langsung menambahkan tagihan pembayarannya saat diketahui Wringley dipajang
dekat mesin kasir dan langsung membelinya. Cara ini merupakan sukses perusahaan
dalam mengekploitasi kategori tertentu hingga mendatangkan keuntungan
yang optimal.
Frito-Lay tidak perlu melakukan
inovasi produk atau meninjau kembali harga jual ke konsumen, tapi cukup dengan
membangun sistem distribusi yang jitu untuk menuai profit. Begitupun Wringley,
penempatan merchandising di dekat mesin kasir merupakan solusi tepat
tanpa harus mengubah kemasan produk atau inovasi lainnya. Inilah yang oleh
Nikhil Bahadur disebut kemampuan mengeksploitasi kategori tertentu hingga
mendatangkan profit (exploit advantaged capabilities).
Terkadang
perusahaan mempunyai berbagai macam merek sesuai dengan portfolio bisnisnya.
Tiap-tiap merek akan melayani sebuah sasaran pasar yang ditugaskan oleh
strategi di tingkat korporat, fungsional maupun unit bisnis.Misalnya Toyota punya
Lexus, dan Honda punya Accura untuk melayani sasaran pasar yang berbeda.
Pemahaman seperti inilah yang mestinya dikembangkan perusahaan, yakni
menetapkan pada segmen, kategori atau aspek mana yang kemungkinan bisa memegang
peran penting sehingga perusahaan akan menuai profit besar.
Menjadi tugas top
manajemen untuk menetapkan kategori-kategori yang dapat menjadi mesin uang
perusahaan, seperti kategori merek dagang kuat, job description yang
jelas, penunjukkan jabatan sesuai kapabilitas atau menciptakan inovasi baru
untuk menambah profit. Pada perusahaan rokok umpamanya, inovasi produk dengan
meluncukan tembakau tanpa asap bisa jadi merupakan langkah strategi mengejar
koherensi (pursue strategic coherence) demi meraup keuntungan.
Sayangnya, ungkap Nikhil, banyak perusahaan menanamkan
uangnya dalam kategori yang keliru dan tidak strategis. Jika perusahaan terus terlena dan tidak menyadari
kekeliruan ini, dampaknya akan mengganggu eksistensi perusahaan.
Cadbury-Schweppes misalnya, manajemennya mulai menyadari kekeliruan dan
memutuskan tetap bermain di produk permen. Produk minuman yang sebelumnya juga
digarap Cadbury mulai ditinggalkan karena pasarnya di Eropa kurang
menguntungkan.
Langkah terakhir
yang mesti dicermati perusahaan menyangkut aset perusahaan. Apakah nilai
asetnya masih mampu menggerakkan roda perusahaan kendati sebagian besar
bujetnya dialokasi untuk membiayai implementasi strategi yang diambil? Sebab,
strategi pada dasarnya adalah investasi yang harus dibayar mahal, termasuk pada
biaya upah bagi para karyawannya.
Terlebih pada karyawan, yang boleh
jadi untuk sementara tidak “terkait” dengan kondisi perusahaan. Baik saat
profit maupun saat perusahaan rugi, harus ada anggaran untuk membayar gaji
mereka. Memangkas struktur jabatan yang terlalu panjang atau membayar lebih
tinggi pejabat dengan skill dan kapabilitas yang lebih unggul merupakan cara
bijak manajemen untuk mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan.
“Diversifikasi brand maupun
pengembangan bisnis perusahaan pada hakekatnya bukanlah menambah struktur
jabatan secara membabi buta, namun membangun job description secara
profesional dan proporsional dengan dilandasi strategi yang jitu,” tandas
Nikhil Bahadur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar