Salah satunya melalui diplomasi kuliner. "Potensi pariwisata kita sangat tinggi. Bahkan sekarang kita lagi branding melalui diplomasi kuliner. Misalnya saat bicara rendang, orang akan langsung membayangkan Indonesia," kata Dirjen Amerika dan Eropa Kemlu Retno LP Marsudi saat memberikan sambutan kunci di acara tersebut.
Diskusi
yang juga menghadirkan pakar kuliner William Wongso, Bara Pattiradjawane, dan
beberapa tokoh lainnya itu, menurut panitian, diharapkan menghasilkan suatu
grand design strategy tentang promosi kuliner. Selama ini, Kemenlu telah menggalakan
beberapa program promosi kuliner di luar negeri. "Kita promosikan
makanan-makanan Indonesia. Karena kalau bicara kuliner, tidak akan berhenti di
kuliner saja. Nantinya orang jadi ingin lebih tahu mengenai negara asal kuliner
itu dan budayanya," jelas Retno.
Ia
menceritakan kedutaan-kedutaan Indonesia di luar negeri pun terus mengadakan
acara-acara yang memperkenalkan kuliner Indonesia pada masyarakat setempat.
Selain melalui kuliner, Kemlu bekerja sama dengan Kementerian Kebudayaan dan
Pariwisata juga mengadakan fam trip dengan mengundang
wartawan-wartawan asing. "Kita undang wartawan-wartawan wisata dari
negara-negara Eropa dan Amerika untuk berkunjung ke Indonesia," katanya.
Pertanyaannya sekarang adalah hasilnya ternyata
belum seperti yang diharapkan. Kuliner Indonesia tertinggal jauh oleh kuliner
Thailand misalnya. Dalam konteks ini semua peserta sepakat bahwa ada beberapa
titik lemah dalam promosi kuliner selama ini, yakni lemahnya koordinasi. Disini
menunjukkan lemahnya leadership.
Padahal, peran kepemimpinan dalam keberhasilan
membangun merek sangat penting. Utaamnya disini adalah pada kemampuannya untuk
memanfaatkan perbedaan pemikiran, sikap, dan komunikatif di antara
budaya-beragam di dalam suatu negara untuk membangun suatu nation brand. Dalam
kaitannya ada dua kompetensi perilaku kepemimpinan yang sangat penting.
Pertama, mendefinisikan visi nation brand secara jelas. Kedua, memfasilitasi
pola interaksi verbal dan non-verbal sosial (menunjukkan komitmen, kepercayaan
rakyat, dan nilai bangsa). Hal ini membantu membangun semangat, komitmen dan
identifikasi negara di kalangan rakyat.
Beberapa ilustrasi menunjukkan tingginya komiten
para pemimpin negara dalam membangun nation brand, khusus melalui kuliner.
Korea Selatan misalnya. Kesadaran untuk membangun nation brand melalui kuliner
dimulai dengan kampanye global Hansik pada Maret 2008, Ini ditandai oleh
peluncuran Korean Food Globalization Forum. Pada Oktober di sela-sela acara
Korea Food Expo pertama pada 2008 di Agro Trade Centre di selatan Seoul, Menteri Pangan, Pertanian, Kehutanan dan Perikanan
Chang Tae Pyong resmi mengumumkan rencana globalisasi makanan Korea.
Perdana Menteri Korea Seatan Han
Seung Soo yang juga hadir pada upacara acara bersama dengan puluhan duta besar negara
lain di Seoul mengatakan, "Tahun ini merupakan awal globalisasi makanan
Korea. " Pada Mei 2009, pemerintah
membentuk dua badan -- Komite Promosi Masakan Korea dan Korean Food Promotion
Team Departemen Pangan, Pertanian, Kehutanan dan Perikanan - untuk merencanakan, mengelola dan mengawasi
proyek tersebut.
Rencana ambisius itu dipersiapkan
untuk menggenjot jumlah restoran Korea di luar negeri sehingga mencapai 40.000 restoran
pada 2017, memiliki 100 top-tier restoran hansik di seluruh dunia pada 2017,
dan lebih dari dua kali lipat pertanian. Sebagai dampak dari peningkatan jumlah
restoran tersebut, pemerintah mentargetkan kenaikan ekspor hasil laut dari $ 4,4
miliar pada tahun 2008 menjadi $ 10
miliar pada 2012. Puncak keberhasilannya, diharapkan Hansik menjadi restoran
terkemuka dalam jajaran lima besar masakan dunia bersama dengan Prancis,
Italia, China dan Jepang.
Tujuan utama kampanye ini
sebenarnya adalah untuk meningkatkan citra Republik Korea yang akan dicapai melalui
pengembangan produk makanan yang diekspor Korea, bisnis restoran Korea, dan
industri pariwisata Korea melalui penyebaran budaya makanan Korea baik lokal maupun
global - dalam satu kata. Tujuan ini dicapai dengan langkah-langkah berikut:
(1) Mempromosikan hansik secara
aktif baik di dalam negeri maupun luar negeri melalui media massa, serta
berbagai acara-acara publik seperti festival dan pameran makanan serta konferensi;
(2) Meningkatkan jumlah restoran Korea
berkelas dunia baik di dalam dan luar Korea;
(3) Penelitian ilmiah mendalam untuk
mengeplorasi secara mendalam keunggulan dan kekhasan makanan nasional Korea;
(4) Melakukan pelatihan untuk
chef hansik domestik dan asing, termasuk pengenalan sistem kualifikasi nasional
restoran Korea di luar negeri.
(5) Standardisasi nama (termasuk
ejaan) dan resep masakan Korea untuk dipromosikan ke luar negeri.
Nah, bagaimana Indonesia…..?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar