Di hampir semua
penelitian yang berkaitan dengan krisis, hampir bisa dipastikan bahwa krisis akibat
faktor manusia – bukan bencana alam --
muncul dimulai dari adanya isu yang dibiarkan menjadi bola liar. Karena
itu, mendeteksi isu pada pada awal merupakan langkah penting yang perlu
dilakukan perusahaan guna menghindari terjadinya suatu krisis.
Dalam konteks ini, isu
merupakan suatu gagasan yang secara potensil memiliki dampak pada organisasi atau publik
dan dapat mengakibatkan tindakan yang membawa kesadaran dan atau reaksi dari organisasi atau sebagian publik lain (Hainsworth, 1990).
Biasanya, isu muncul muncul ketika sebuah
organisasi atau kelompok melihat adanya sesatu
yang dirasakan penting atau ada gap antara yang diharapkan dan realitas yang
dialaminya sebagai konsekuensi dari dampak dari perkembangan politik/peraturan,
ekonomi atau sosial (Crable dan Vibbert, 1985).
Dari perspektif manajemen, perusahaan harus mengidentifikasi isu-isu yang mungkin muncul. Tren mungkin pertama kali diartikulasinya oleh para akademisi atau para pemerhati khusus baik yang tergabung dalam kelompok kerja, kebijakan dan unit perencanaan atau perorangan. Dalam beberapa situasi, mereka mengungkapkan suatu masalah atau peristiwa yang secara potensial memiliki dampak dan menuntut respon dari suatu lembaga, organisasi, industri atau kelompok lain. Selanjutnya, isu tersebut direspon -- sering kali berbentuk pro dan kontra dari mereka yang menginginkan status quo atau perubahan.
Ketika terjadi “heboh” makanan mengandung lemak babi pada 1987-1988 silam misalnya, awalnya adalah dimulai dari adanya sekelompok akademisi (dosen dan mahasiswa) yang konsen dengan tingkat kepatuhan perusahaan dalam berbisnis. Dalam hal ini adalah kepatuhan perusahaan menghargai pemeluk agama untuk mengkonsumsi makanan sesuai dengan syariahnya.
Dari perspektif manajemen, perusahaan harus mengidentifikasi isu-isu yang mungkin muncul. Tren mungkin pertama kali diartikulasinya oleh para akademisi atau para pemerhati khusus baik yang tergabung dalam kelompok kerja, kebijakan dan unit perencanaan atau perorangan. Dalam beberapa situasi, mereka mengungkapkan suatu masalah atau peristiwa yang secara potensial memiliki dampak dan menuntut respon dari suatu lembaga, organisasi, industri atau kelompok lain. Selanjutnya, isu tersebut direspon -- sering kali berbentuk pro dan kontra dari mereka yang menginginkan status quo atau perubahan.
Ketika terjadi “heboh” makanan mengandung lemak babi pada 1987-1988 silam misalnya, awalnya adalah dimulai dari adanya sekelompok akademisi (dosen dan mahasiswa) yang konsen dengan tingkat kepatuhan perusahaan dalam berbisnis. Dalam hal ini adalah kepatuhan perusahaan menghargai pemeluk agama untuk mengkonsumsi makanan sesuai dengan syariahnya.
Seperti diketahui
heboh makanan mengandung lemak babi tersebut dampaknya luar biasa. Makanan yang
divonis mengandung lemak babi itu seperti kena hantam. Produksinya melorot
tajam. Akibatnya, pemerintah pun turun tangan. Tak tanggung-tanggung Presiden
Soeharto memerintah Pangkopkamtib (waktu itu) Laksamana Sudomo mengusut dan
menyelesaikan masalah tersebut. Era itulah muncul pertama kosa kata “actor inlektual”
karna beberapa kali Sudomo mengatakan akan menangkap actor inlektual di balik
heboh itu.
Adalah Dr. Tri Susanto, dosen Teknologi Pangan Fakultas
Pertanian Universitas Brawijaya, yang mengajak mahasiswanya meneliti kandungan makanan yang beredar di pasar.
Penelitian itu, menyimpulkan: 34 macam makanan "mengandung bahan yang
patut dicurigai atau syuhbat". Penelitian itu dilengkapi kajian literatur
-- tapi tak dilakukan di laboratorium. Kemudian, hasilnya dimuat majalah Canopy
yang diterbitkan mahasiswa FP Unibraw. Tapi, entah bagaimana,
daftar itu beredar dari tangan ke tangan dan ditambah-tambahi hingga menjadi 63
macam, dan dimuat oleh beberapa harian. Daftar baru itu menyebut: beberapa
merek makanan terkenal sebagai "makanan haram untuk umat Islam".
Dalam konteks isu
management, sepeti yang dikemukakan Michael Regester dan Judy Larkin dalam Risk Issues and Crisis Management (Kogan
Page Limited, 1997), ketika Tri Susanto mengajak mahasiswanya melakukan
penelitian, tahap itu masuk dalam kategori potential issue, atau tahap dimana suatu
kondisi atau peristiwa yang dianggap memiliki potensi untuk berkembang menjadi
sesuatu yang penting. Jenis-jenis masalah yang ada dalam fase ini,
bagaimanapun, belum ditangkap para
pemerhati sebagai isu atau belum
mendapat perhatian
publik, meskipun beberapa spesialis mulai menyadari pentingnya masalah tersebut.
Ketika persoalan itu
dimuat di media terbatas, persoalan masuk ke tahap berikutnya dimana masalah tersebut secara bertahap meningkatkan perhatian
yang memungkinkan munculnya tekanan pada organisasi untuk menerima
masalah tersebut sesuai
sesuatu yang perlu diselesaikan. Dalam kebanyakan kasus, eskalasi masalah muncul sebagai hasil dari kegiatan oleh
satu atau lebih kelompok ketika mereka mencoba untuk mendorong atau
melegitimasi masalah yang diangkatnya (Meng, 1987).
Pada tahap ini –
seperti dikatakan Michael Regester dan Judy Larkin -- perkembangan isu itu masih
relatif mudah untuk dikendalikan melalui campur tangan perusahaan. Perusahaan
dapat secara berperan proaktif dalam mencegah atau memanfaatkan isu tersebut. Namun,
seperti yang terjadi pada beberapa merek yang diisukan mengandung lemak babi --
seringkali perusahaan megalami kesulitan sulit untuk menentukan urgensi dari
masalah tersebut, selain tentunya – dalam konteks isu makanan berlemak babi –
itu diluar jangkauan atau pantauan perusahaan.
Karena itu, seringkali
perusahaan baru mendeteksi masalah tersebut setelah masalah tersebut berkembang
jauh sehingga langsung masuk ke tahap krisis. Disini masalah telah menjadi
perhatian public karena isu telah dipublikasikan oleh media massa mainstream. Pada
tahap current dan crisis issue ini, masalah berkembang dan
berpotensi penuh menimbulkan kerugian dan memaksa institusi yang berwenang
dalam masalah regulasi turun tangan.
Dalam kasus heboh
makanan mengandung lemak babi, proses berkembangnya isu menjadi krisis
berlangsung relative panjang. Sekitar tiga bulanan. Bahkan kalau dilihat dari
publikasi melalui Canopy, isu berkembang menjadi krisis membutuhakn waktu enam
bulan. Cukup dimaklumi karena saat tu teknologi informasi tidak berkembang
seperti sekarang. Sarana komunikasi yang tersedia saat itu hanya telepon
fix-line, teleks dan mesin fax. Media massa pun paling cepat terbit dalam
bentuk harian.
Sekarang, teknologi informasi berkembang cepat. Setiap saat public memperoleh informasi baru melalui internet dan dimediasi oleh telepon seluler atau modem dan laptop atau tablet yang bisa dibawa ke mana-mana. Karena itu, perkembangan isu menjadi krisis bisa jadi menjadi begitu cepat dan dampaknya juga bisa seperti tsunami. .
Detik ini, konsumen
akan online guna mencari segala sesuatu ulasan tentang merek atau produk, baik
ketika dia butuh informasi karena akan membelinya atau sekadar mencari bahan percakapan
tentang perusahaan. Demikian pula, mereka juga akan online bila suatu hari akan
melakukan bisnis dengan perusahaan lain. Mereka akan mencari informasi baik
reputasi dan sebagainya tentang perusahaan tesebut.
Satu sisi, teknologi
itu memang bisa berdampak negatif, tapi di sisi lain bisa bermanfaat. Dalam konteks
monitoring isu misalnya, internet atau media social – facebook, blog, twitter groups,
dan sebagainya -- sangat bermanfaat untuk memantaui percakapan tantang merek
atau perusahaan. Karena itu, sangat disarankan bagi perusanaan untuk secara aktif
terlibat dalam percakapan.
Dalam kaitannya dengan
masalah monitoring itu, banyak pakar yang menyarankan agar perusahaan untuk memantau
merek. Saat ini banyak aplikasi yang bisa memantau percakapan yang berlangsung melalui media sosial, melalui Google Alerts misalnya. Mereka juga perlu segera menanggapi
posting baik positif maupun negatif sesegera mungkin. Langkah lainnya,
• Buat blog sendiri
dan isi blog tersebut dengan informasi bermanfaat baik tentang merek atau
perusahaan secara teratur. Sebuah blog
juga merupakan cara yang bagus untuk menyajikan informasi dengan cepat kepada
publik selama krisis atau ketika perusahaan menemui berita buruk.
• Gunakan Twitter.
Beberapa perusahaan besar dan terbaik dan organisasi nirlaba menggunakan Twitter
untuk menyampaikan pesan mereka kepada pelanggannya atau publik. Ini adalah
cara yang bagus untuk membangun sebuah pasuka
pengikut yang bisa jadi sangat bermanfaat manakala perusahaan atau merek
diserang lawan.
Di luar itu yang lebih
penting adalah bagaimana memantau pemberitaan media mainstream. Sebab seperti
diketahui, meski media social sekarang begitu powerful, namuan kekuatan media
mainstream seperti koran tak bisa diremehkan. Dalam beberapa kasus, koran malah
bersinergi dengan media social dan mengamplitudo sebuah isu. Ingat kasus Prita,
pasien RS Omni Alam Sutera Tangerang?
Ada beberapa
tanda-tanda yang bisa dicermati manakala muncul isu tentang perusahaan Anda.
Sinyal itu tentunya dari wartawan. Katakanlah sang wartawan tersebut mendapat
bocoran kabar negatif tentang perusahaan Anda. Dengan asumsi bahwa wartawan
tersebut patuh pada kode etik, maka sebelum menurunkan tulisan tantang hal
negatif Anda itu tentu dia akan mengubungi Anda. Karena itu sangat bermanfaat
bila Anda mengenali tanda-tandanya. Salah satunya adalah wartawan tersebut
berusaha menghubungi Anda karena Anda dinilai memiliki kompetensi untuk
menjelaskan masalah tersebut.
Ketika Anda berbicara
dengan sang wartawan simak pembicaraannya. Katakanlah dia ingin memawancarai tentang
sesuatu tentang perusahaan Anda. Wartawan yang memiliki isu tentang Anda
tersebut, biasanya menghubungi Anda berkali-kali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar