Pesan produk boleh sama. Namun,
keberagaman budaya membuat para pemasar mengkomunkasikan pesan merek atau
produk berbeda.
Tahun lalu, saya sempat mengunjungi Provinsi Nusa Tenggara Barat. Dua malam saya
tinggal di kota Mataram, ibukota NTB. Saya sempatkan keliling pusat kota
Mataram pada malam hari dengan jalan kaki, meski tidak semuanya terjangkau.
Namun, menurut beberapa warga yang tinggal disitu, disinilah wajah Mataram
terwakili. Tak banyak minimarket di daerah itu. Malah bisa dibilang
tidak ada sama sekali. Mal-nya cuma satu, Mal Mataram di Jl. Pejanggik. Itu pun tidak lebih besar dari Mal Cijantung bila di Jakarta.
Yang luar biasa adalah kulinernya. Malam hari di Jalan Pejanggik,
Cakranegara Mataram ramai sekali. Kanan kiri jalan banyak dijumpai
warung-warung makan tradisional. Saya juga menjumpai outlet khusus busana
favorit saya yang di Jakarta tidak saya jumpai. Karena kebetulan menjelang
Pilkada Kodya Mataram, maka banyak spanduk dan billboard kampanye calon
walikota.
Di pinggir jalan kawasan Bumi Serpong Damai atau Kelapa Gading Jakarta juga
banyak warung-warung kuliner paa malam hari. Tak jauh dari warung-warung
berdiri mal-mal megah. Dalam jarak tak sampai 300 meter, tidak sulit menemukan
minimarket. Karena kebetulan November 2010 ini menjelang Pilkada Walikota
Tangerang Selatan, di kawasan BSD juga banyak dijumpai billboard kampanye
calon.
Sulit mengatakan sama kondisi Mataram – ibukota provinsi NTB -- yang lebih
dari seribu kilometer jaraknya dari Jakarta dan BSD – enclave bagian dari
Tangerang Selatan – atau Ciputat -- ibukota Kodya Tangerang Selatan -- yang
hanya beberapa kilometer dari Jakarta. Bahkan antara BSD dan Ciputat pun
terdapat perbedaan yang mencolok. Bahkan di dalam satu wilayah atau kawasan
masih terdapat perbedaan yang mencolok di antara wilayah dalam kawasan
tersebut.
Dari sini muncul gambaran bahwa membagi konsumen berdasarkan wilayah memang
tidak selalu relevan, namun konteks media massa elektronik seperti televisi
sebagai saluran penyampai informasi pembagian audiens berdasarkan wilayah masih
relevan. Apalagi Jakarta misalnya, sebenarnya juga terdiri atas berbagai macam
etnis beragam daerah. Ini mengimplikasikan bahwa akan yang lebih relevan bisa
membagi konsumen dalam psikografis tertentu, yang dipengaruhi oleh karakter
daerahnya.
Dari isi marketing, kondisi ini mengimplikasikan bahwa pemasar memang tidak
seharusnya melihat Mataram, Ciputat, dan BSD sebagai komunitas yang sama. Ada
perbedaan karakter fisik masing-masing wilayah. Perbedaan itu menjadi jauh
lebih kompleks manakala bahasannya masuk ke ranah komunikasi yang melibatkan
manusia. Apakah hal itu membuat konunikasi yang harus dilakukan pemasaran
berbeda? ”Main massage-nya tetap sama. Artinya, what to say-nya sama, hanya how
to say-nya saja yang beda,” kata Erlisativani, Corporate Communication
Manager PT Martina Berto.
Secara umum, menurut Erlisativani, karakter orang yang tinggal di kota besar biasanya lebih open mind, suka yang praktis, dan informatif. Sementara di kota
kecil, karena informasinya lebih terbatas, mobilitas juga lebih rendah. ”Jadi
orang masih senang ngobrol, senang dilayani, dan masih punya waktu untuk
komunikasi,” katanya.
Bahasa juga memiliki pengaruh yang signifikan. Ini membuat cara komunikasi
pemasar dan konsumen menjadi berbeda. Dalam menyapa konsumen misalnya, kata
Erlisativani, beauty advisor (BA) yang ada di outlet tersebut seringkali menggunakan
bahasa daerah agar lebih dekat dan intim. Bahkan untuk membangun komunikasi dengan
konsumen di daerah, seringkali BA mengunjungi mereka, terutama saat ada
acara-acara kumpul-kumpul misalnya. ”Sementara, di kota besar, kecenderungan
kalau konsumen didatangi BA malah jadi risih,” katanya.
Pesan memang perlu dirancang sedemikian rupa sehingga mencerminkan budaya
dan bahasa penonton pedesaan. Karena itu, pemasar selalu memperhitungkan agama,
upacara keagamaan, dan sentimen lokal daerah pedesaan. Di India misalnya,
beberapa penelitian menunjukkan efektivitas penggunaan teks-teks atau tema-tema
keagamaan atau upacara keagamaan tertentu. (Das Gupta dan Menon, 1990). Sebagai
contoh, sebuah conditioner menggunakan gambar populer dari mitologi untuk
menarik konsumen pedesaan (Ghosh dan Krishnamurthy, 1997).
Karena banyak bahasa dan dialek di Indonesia, kadang-kadang kata-kata
memiliki arti yang berbeda di berbagai negara dan efektivitas pesan tergantung
pada menyesuaikan untuk variasi regional. Warna misalnya, di Madura warna hijau
kurang populer karena warna itu juga disebut sebagai biru. Demikian pula,
penggunaan kata-kata daerah juga bisa mengaburkan makna dari pesan global yang
ingin dibangun oleh pemilik atau pengelola merek.
Konsumen pedesaan sangat dipengaruhi oleh konteks iklan. Iklan dengan
pengaturan perkotaan atau yang jauh dari kehidupan sehari-hari mereka, tidak
mendukung upaya dirinya menemukan jati dirinya. Karena itu, konsumen pedesaan
tidak dipengaruhi oleh iklan yang menggambarkan sebuah dunia yang berbeda
karena iklan tersebut sulit dipahami.
Pemanfaatan
beberapa media untuk berkomunikasi dengan konsumen 2nd atau 3rd urban yang
secara geografis tersebar bisa jadi bermanfaat. Pemasaran yang efisien dapat
menjangkau konsumen pedesaan melalui program televisi yang populer. Demikian
pula, pemasar juga dapat menggunakan radio sebagai media yang efektif setiap
saat sepanjang hari, tetapi tidak larut malam. Sebab biasanya, malam hari
digunakan masyarakat pedesaan untuk berkumpul bersama keluarga atau tetangga di
depan rumah warga atau balai desa. Meski biasanya di tempat acara kumpul-kumpul
terdapat pesawat televisi, namuan biasanya yang terjadi adalah dialog sesamanya
tentang pengalaman mereka pada siang hari sebelumnya.
Pada kondisi
seperti ini, pemanfaatan komunitas dan word of mouth dalam memasarkan produk
akan bermanfaat. Intinya adalah produk yang ditargetkan pada konsumen dengan
penghasilan rata-rata di daerah pedesaan membutuhkan komunikasi interpersonal
untuk promosi persuasif. Hal ini untuk melengkapi media massa.
Dalam sebuah studi tentang iklan yang dianggap bisa mempengaruhi konsumen,
diperoleh gambaran bahwa konsumen di pedesaan memiliki persepsi yang hampir
sama dengan konsumen perkotaan. Konsumen pedesaan melihat merasa bahwa iklan telah
membuat seseorang membeli 'produk yang tidak perlu’ Persepsi yang sama juga ada
pada konsumen perkotaan. Hanya saja, konsumen pedesaan sedikit lebih tinggi –
dari sisi proporsi – yang mengatakan bahwa iklan-iklan akan menyesatkan,
dibandingkan dengan konsumen perkotaan.
Dalam konteks ini, pesan – termasuk iklan – yang menjanjikan manfaat lebih
akan lebih bisa diterima ketimbang manfaat yang biasa. Sebuah penelitian yang dilakukan
untuk menguji efektivitas pesan utilitarian dalam iklan untuk sebuah sabun
deterjen membuktikan hal itu. Untuk menguji efektivitasnya, peneliti melakukan
perbandingan, pertama, untuk iklan yang menjanjikan lebih putih melalui busa
tambahan. Iklan kedua menunjukkan seorang ibu dan anak dengan pakaian putih
menyilaukan menanyakan penampil apakah dia menggunakan sabun deterjen seperti
yang mereka lakukan. Enam puluh tiga persen responden dari pasar pedesaan lebih
memilih merek yang dijanjikan putih tambahan melalui busa tambahan.
Pada dasarnya desain produk, kemasan, termasuk bentuk, ukuran dan warna
membantu menciptakan citra yang kuat di benak konsumen, termasuk konsumen di
2nd dan 3rd city. Pemasar yang cerdas selalu menggunakan tanda dan simbol yang
dikenal di wilayah itu agar bisa memudahkan konsumen mengidentifikasi
produknya. Di pasar pedesaan, pesan visual dan positioning adalah alat penting
yang tidak bisa diabaikan oleh pemasar.
Sejumlah merek yang sukses di pasar pedesaan memiliki nama merek atau
simbol dengan angka atau hewan. Sebab pada dasarnya, ada hubungan antara simbol
dan merek. Manfaat simbol daka merek
adalah membantu ingatan. Simbol membantu asosiasi fitur produk dengan merek. Simbol
pula yang membuat konsumen merasa dan berpikir tentang fitur-fitur yang relevan.
Untuk produk atau merek, ini sangat penting untuk membangun merek di pasar
pedesaan.
Sejumlah faktor yang mempengaruhi efektivitas pesan. Salah satunya adalah sebuah
pesan haruslah sederhana, mudah dipahami dan dalam bahasa yang dimengerti oleh
konsumen. Konsumen pedesaan dipengaruhi oleh bahasa, tanda, simbol dan
presentasi bergambar. Maksudnya, dibandingkan dengan iklan non-gambar, iklan
bergambar menunjukkan efek lebih efektif
pada konsumen pedesaan dibandingkan dengan konsumen perkotaan. Penggunaan
visual sebagai bagian dari pesan tersebut adalah penting bagi pasar pedesaan
dimana tingkat melek huruf sebagian besar konsumennya rendah.
Ini berarti terdapat peluang bagi pengiklan
untuk menggunakan lukisan dinding sebagai tool untuk secara efektif menciptakan
kesadaran merek atau untuk pengingat merek.
Media
seperti wayang atau drama atau menempatkan pesan di novel benda atau pada hewan
menciptakan perhatian konsumen pedesaan.
Namun demikian, penggunaan gambar juga
perlu kehati-hatian. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa eksploitasi visual
dalam banding sangat berperan dalam daya tancap sutau merek di benak konsumen.
Gambar sepeda motor yang diasosiasikan dengan cheetah atau kuda untuk
menyampaikan kecepatan memiliki daya tarik universal, lebih menudah menancap
dalam ingataan pikiran konsumen
kerimbang gambar lainnya.
Konsumen pedesaan membutuhkan banyak
waktu dalam memahami produk dan manfaat sebelum membuat keputusan pembelian. Karena itu, pesan
cepat yang umumnya digunakan di televisi tidak sesuai untuk pasar pedesaan.
Beberapa penelitian menunjukkan penggunaan cerita untuk promosi produk kepada
konsumen pedesaan
adalah umum. Di pasar Indonesia, Colgate-Palmolive memiliki iklan berbasis
cerita berjalan selama lebih dari 20 menit. Pelumas Castrol juga memiliki film
dengan nama merek pelumas yang digambarkan sebagai karakter dalam film.
Karena narasi dan word of mouth begitu populer untuk mempersuasi konsumen,
pemilihan narasumber begitu penting. Dalam sebuah studi untuk pembelian barang durable,
konsumen cenderung berkonsultasi dengan pemimpin opini saat akan memutusakan
membeli suatu merek atau tidak.
Seorang pemasar harus mengidentifikasi media yang secara spesifik banyak
dikenal dan diakses oleh konsumen di wilayah tersebut. Dia juga harus
mengembangkan pesan yang juga cocok untuk wilayah tersebut. Pemasar juga perlu
melakukan penelitian tentang kesiapan
audiens, selain perilaku mencari informasi produk mereka, untuk mengembangkan
strategi promosi yang efektif.
Pemasar dapat
menggunakan prosesi dan kontes untuk membangun kesadaran dan untuk
mengkomunikasikan posisi produk. Terdapat banyak titik kontak tempat konsumen
berinteraksi dengan merek seperti pameran, pasar mingguan atau sumber air di
pedesaan, penggunaan presentasi audio-visual, kontes, mendirikan kios yang bisa
memberikan edukasi dan membawa tentang sikap berubah. Promosi melalui pengecer dengan menggunakan pemimpin
opini juga merupakan alternatif.
Dari sisi siklus hidup produk, strategi disusun harus berbeda untuk setiap
tahap. Saat peluncuran produk baru yang tidak tahan lama (non-durable good)
baru ke dalam pasar misalnya, dapat
menggunakan demonstrasi dan sampling untuk mendidik konsumen dan menciptakan
keyakinan. Demonstrasi dan sampling juga bermanfaat untuk menciptakan brand
awareness.
Pemasar dari sebuah merek tidak tahan lama juga dapat menggunakan iklan
pengingat dan promosi penjualan untuk mempertahankan loyalitas konsumen di
sub-urban. Peluncuran produk tahan lama (durable) baru dengan menggunakan
demonstrasi akan menciptakan kesadaran dan
menghasilkan sikap positif para opinion leader di suatu wilayah. Dalam
kasus merek baru dari produk tahan lama, demonstrasi membantu menciptakan
pendukung dari kalangan para ahli.
Syaratnya, merek yang ada tahan lama tersebut memastikan kepuasan pelanggan
untuk mendapatkan pendukung dari pelanggan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar