Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi pergeseran pola pendaftaran, alokasi keuangan, dan sumber daya di dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Perubahan itu terjad karena pengaruh berbagai kekuatan baik sosial, ekonomi, dan politik. Setidaknya tahun lalu misalnya, ada perubahan waktu penerimaan mahasiswa baru, termasuk seleksi mandiri.
Seleksi masuk perguruan tinggi negeri tahun lalu dilakukan sesudah pelaksanaan ujian nasional SMA/SMK. Sementara itu, seleksi mandiri dilakukan setelah pelaksanaan seleksi nasional masuk PTN (SNMPTN). Pola ini merupakan perbaikan karena tahun-tahun sebelumnya sejumlah PTN menyelenggarakan seleksi masuk sebelum ujian nasional dilaksanakan.
Sementara itu, kebijakan pemerintah tentang wajib belajar
sembilan tahun, peningkatan pendapatan sebagian masyarakat, dan kemudahan akses
ke dunia pendidikan sekolah menengah semakin mendorong masyarakat untuk mencapai pendidikan yang lebih tinggi. Di
sisi lain, kemudahan bagi lembaga pendidikan untuk menyelenggarakan pedidikan
tinggi makin mendorong pertumbuhan jumlah perguruan tinggi. Salah satu akibat
dari kondisi-kondisi ini adalah meningkatnya persaingan perguruan tinggi dalam
merekrut calon mahasiswa dan kecenderungan ini makin meningkat di masa
mendatang.
Dalam konteks ini, mengidentifikasi faktor-faktor kelembagaan yang pertimbangan seorang calon mahasiswa memilih perguruan tinggi sangat penting. Namun proses pemahaman terhadap factor-faktor yang menjadi pertimbangan calon mahasiswa dalam memilih perguruan tinggi tidaklah mudah. Diakui atau tidak, bagi calon mahasiswa, proses pemilihan perguruan tinggi merupakan keputusan besar. Tidak hanya dalam hal keuangan, tetapi juga karena melibatkan suatu keputusan jangka panjang yang mempengaruhi kehidupan siswa. Ini karena – dalam persepsi banyak orang -- pilihan ini dapat mempengaruhi karir masa depan siswa, persahabatan, kehidupan sosial di masa depan dan kepuasan pribadi siswa.
Dalam konteks ini, mengidentifikasi faktor-faktor kelembagaan yang pertimbangan seorang calon mahasiswa memilih perguruan tinggi sangat penting. Namun proses pemahaman terhadap factor-faktor yang menjadi pertimbangan calon mahasiswa dalam memilih perguruan tinggi tidaklah mudah. Diakui atau tidak, bagi calon mahasiswa, proses pemilihan perguruan tinggi merupakan keputusan besar. Tidak hanya dalam hal keuangan, tetapi juga karena melibatkan suatu keputusan jangka panjang yang mempengaruhi kehidupan siswa. Ini karena – dalam persepsi banyak orang -- pilihan ini dapat mempengaruhi karir masa depan siswa, persahabatan, kehidupan sosial di masa depan dan kepuasan pribadi siswa.
Ibarat memilih produk yang ingin dibelinya, pemilihan
perguruan tinggi melibatkan berbagai
tahapan proses pengambilan keputusan. Secara umum model pengambilan
keputusan terdiri dari sejumlah tahap atau fase di mana faktor-faktor individu
dan berbagai organisasi berinteraksi untuk menghasilkan sesuatu yang mempengaruhi tahap pengambilan keputusan berikutnya.
Sejumlah studi (misalnya, Baird, 1976; Goldberg dan
Koenigsknecht, 1985; Malaney dan Ishak, 1988; Ethington dan Smart, 1986) memberikan
gambaran bahwa keputusan awal untuk melanjutkan
sekolah ke jenjang lebih tinggi (pascasarjana) dipengaruhi banyak hal. Siswa
yang mempunyai keinginan kuat untuk mencapai prestasi akademik yang lebih
tinggi, latar belakang sosial ekonomi yang lebih tinggi, dan integrasi antara
kehidupan akademik dan social sangat menentukan keputusan yang diambil siswa
untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi atau tidak.
Studi-studi lain memfokuskan pada alasan mengapa siswa
melanjutkan pendidikan pascasarjana, seperti yang dilakukan Malaney (1987) juga
menunjukkan berbagai alasan umum, seperti keinginan untuk belajar lebih lanjut
tentang bidang studi yang lebih khusus, kepuasan pribadi, prospek pekerjaan
yang lebih baik, dan gelar yang lebih tinggi diperlukan untuk kemajuan dalam
bidang kerja yang dipilih, menjadi pertimbangkan utama. Selain itu, studi kelompok
lain (misalnya, Jackson, 1985; Malaney, 1985, 1987b; Moore, 1984) menunjukkan bahwa
kontak langsung dengan dosen dan alumni dapat berpengaruh secara positif pada
minat siswa dalam program tertentu.
Temuan ini menunjukkan bahwa keputusan mahasiswa pascasarjana dipengaruhi oleh beberapa faktor yang sama dengan yang mempengaruhi siswa dalam memilih suatu perguruan tinggi. Faktor tersebut antara lain reputasi akademik, kualitas program, biaya, bantuan keuangan , lokasi geografis, kontak dengan perguruan tinggi bersangkutan, dan karakteristik individu siswa seperti kemampuan akademis dan prestasi. Yang membedakan antara siswa yang akan masuk perguruan tinggi dan mahasiswa yang melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi ada pada pengaruh pasangan, keluarga, dan pertimbangan pekerjaan.
Temuan ini menunjukkan bahwa keputusan mahasiswa pascasarjana dipengaruhi oleh beberapa faktor yang sama dengan yang mempengaruhi siswa dalam memilih suatu perguruan tinggi. Faktor tersebut antara lain reputasi akademik, kualitas program, biaya, bantuan keuangan , lokasi geografis, kontak dengan perguruan tinggi bersangkutan, dan karakteristik individu siswa seperti kemampuan akademis dan prestasi. Yang membedakan antara siswa yang akan masuk perguruan tinggi dan mahasiswa yang melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi ada pada pengaruh pasangan, keluarga, dan pertimbangan pekerjaan.
Dari gambaran tersebut, dapat dikatakan bahwa keputusan
untuk memilih universitas yang akan dimasukinya cukup kompleks. Untuk mengurai kompleksitas tersebut, sesuai dengan model stimulus-respon perilaku
konsumen, Vrontis et al. (2007) mengklasifikasikannnya
keputusan pemilihan perguruan tinggi oleh para siswa ke dalam model-model
ekonomi, model status pencapaian dan model gabungan. Model stimulus-respon mengasumsikan
bahwa ketika harus memilih, siswa
menghadapi stimulus eksternal
seperti aktivitas pemasaran yang
dilakukan perguruan tinggi, atribut kelembagaan dan faktor-faktor yang di luar
kendali seperti orang tua dan pengaruh teman.
Dalam
konteks ini, model ekonomi berasumsi
bahwa konsumen sangat rasional. Karena itu, keputusan pemilihan perguruan
tinggi didasarkan atas perhitungan biaya dan manfaat yang dirasakan untuk
masing-masing institusi. Dengan asumsi ini, maka pilihan jatuh
pada lembaga pendidikan yang menyediakan nilai tertinggi. Salah satu penganut
model ini Kotler dan Fox (1995).
Sementara itu, model pencapaian status menganggap
bahwa pilihan siswa dipengaruhi oleh interaksi antara variabel perilaku dan
latar belakang sang siswa (Sewell dan Shah, 1978). Model didasarkan pada Teori Sosial, yang berfokus pada proses seperti
sosialisasi, peran keluarga, jaringan sosial dan kondisi akademis. Model
semacam ini menolak asumsi mahasiswa dan keluarga sebagai decider yang
rasional.
Alternatif
lainnya, yakni model gabungan menggambarkan secara
bersamaan pada pendekatan rasional model ekonomi dan pada perspektif
sosiologis, sehingga memberikan penjelasan yang lebih komprehensif untuk sebuah
pilihan (Hossler et al, 1999). Model Gabungan mencoba menangkap esensi
dari kedua model sebelumnya. Ini semacam model yang memungkinkan dilakukannya
sejumlah besar kekuatan analitis, karena mereka menggabungkan aspek sosiologis
dengan keputusan rasional. Salah satu penganut model ini adalah Hossler dan Gallager (1987).
Menurut Hossler dan Gallagher (1987), model ini meliptui tiga fase yang meliputi: predisposisi, mencari dan memilih. Tahap kecenderungan merupakan tahap awal dimana siswa memutuskan apakah mereka akan melanjutkan pendidikan mereka di perguruan tinggi atau tidak. Selanjutnya fase pencarian merupakan tahap dimana siswa mengumpulkan informasi tentang institusi pendidikan tinggi. Sedangkan ketiga adalah tahap siswa menentukan lembaga yang akan dimasukinya.
Menurut Hossler dan Gallagher (1987), model ini meliptui tiga fase yang meliputi: predisposisi, mencari dan memilih. Tahap kecenderungan merupakan tahap awal dimana siswa memutuskan apakah mereka akan melanjutkan pendidikan mereka di perguruan tinggi atau tidak. Selanjutnya fase pencarian merupakan tahap dimana siswa mengumpulkan informasi tentang institusi pendidikan tinggi. Sedangkan ketiga adalah tahap siswa menentukan lembaga yang akan dimasukinya.
Melengkapi pendekatan ini, Vrontis al el. (2007)
mengembangkan model pendidikan tinggi kontemporer siswa-pilihan bagi
negara-negara maju. Model ini merupakan pandangan menyeluruh dari proses
mempertimbangkan baik urutan langkah-langkah keputusan dan berbagai pengaruh.
Determinan ini meliputi: (1) individu (siswa dan atribut pribadi), (2)
lingkungan (kebijakan publik umum dan pengaruh / media), (3) karakteristik
sekolah tinggi (misalnya, komposisi sosial, kualitas), dan, (4) karakeristik
dan tindakan perguruan tinggi.
Survey yang dilakukan Majalah MIX-Marketing
Communications tahun lalu memberikan gambaran
tentang faktor-faktor yang dipertimbangkan siswa dalam memilih perguruan
tinggi. Yang paling besar adalah faktor akreditasi, sedangkan paling kecil
adalah alumni. Hasil seperti
yang ditampilkan dalam tabel di bawah ini memperkuat model yang diajukan
Vrontis.
Tabel
1. Faktor-faktor yang Dipertimbangkan dalam Memilih Perti
Tingkat akreditasi
|
17.5
|
Kelengkapan fasilitas
|
15.2
|
Besar-kecilnya biaya kuliah
|
14.4
|
Ketersediaan beasiswa
|
12.7
|
Lokasi kampus
|
12.5
|
Akses transportasi
|
10.6
|
Pameran
edukasi yang dilakukan kampus tersebut
|
4.7
|
Banyaknya
teman yang kuliah di kampus tersebut
|
3.8
|
Bergengsi tidaknya kampus tersebut
|
3.4
|
Jenis dan
jumlah kegiatan ekstrakurikuler yang tersedia
|
3.0
|
Promosi/iklan
|
1.5
|
Kunjungan
kampus ke sekolah siswa
|
0.4
|
Reputasi
|
0.2
|
Ikatan alumninya
|
0.1
|
Sumber:
Riset MIX-2011
Akreditasi
merupakan faktor yang terstandarisasi, dalam hal ini evaluasi yang dilakukan
oleh Departemen Pendidikan Nasional dengan kriteria tertentu, sehingga unsur
persepsi dalam evaluasi siswa relative kecil bahkan tidak ada. Dalam konteks
ini, akreditasi dianggap sebagai sesuatu yang generik karena sebagian besar
perguruan tinggi memiliki akreditasi. Apalaggi dalam survey ini digunakan
screening bahwa perguruan tinggi yang diperingkat adalah hanyalah perguruan
tinggi yang terakreditasi A.
Dengan
asumsi bahwa perguruan tinggi merupakan sebuah layanan, mengutip Lovelock (2001), tahapan membeli meliputi
tahap pra-pembelian, tahap pemenuhan pelayanan dan pasca-pembelian. Tahap pra-pembelian
meliputi pencarian informasi untuk mengenali , memenuhi kebutuhan dan evaluasi
penyedia jasa alternatif. Fase pemenuhan layanan
melibatkan pembelian layanan sebenarnya dari pemasok yang dipilih. Sementara tahap
pasca pembelian menyiratkan penilaian kinerja dan harapan masa depan. Pada
tahap terakhir ini, klien mengevaluasi kualitas
pelayanan dan kepuasan. ini penting sebab kesetiaan biasanya muncul pada tahap
ini.
Dalam
survey tahun 2011, fokus
informasinya adalah pada pra pembelian. Maksudnya, penelitian dilakukan kepada siswa sebelum
masuk perguruan tinggi. Karena itu responden dalam penelitian adalah para siswa
kelas III yang akan masuk ke perguruan tinggi. Seperti yang dapat dilihat pada tabel 1,
keragaman faktor yang mempengaruhi pilihan siswa yang besar. Beberapa factor berkaitan dengan pengaruh orang lain,
ada pula yang berhubungan dengan faktor pribadi dan individu. Beberapa fakator
berkaitan dengan karakteristik lembaga
dan persepsi mahasiswa tentang nilai dan biaya. Temuan MIX memperkuat model ekonomi sepert yang disinggung sebelumnya.
Dari tabel di atas terlihat, setelah akreditasi, pertimbangan utama dalam
memilih perguruan tinggi meliputi kelengkapan fasilitas, besar kecilnya biaya,
ketersediaan bea siswa dan sebagainya.
Seperti
diketahui, model ekonomi didasarkan pada asumsi bahwa seorang siswa ingin
memaksimalkan utilitas mereka dan meminimalkan risiko mereka. Dalam hal ini mereka
menganggap bahwa pilihan perguruan tinggi adalah proses rasional dan bahwa
siswa akan selalu melakukan apa yang terbaik untuk mereka.
Terkait dengan tahap pra-pembelian, beberapa penelitian menunjukkan bahwa
realitas menunjukkan bahwa proses yang berlangsung pada tahap ini mengarah pada
keputusan akhir untuk pembelian/konsumsi.
Aktivitas
yang terjadai pada tahap ini bervariasi tergantung pada kebutuhan spesifik atau
harapan yang harus dipenuhi. Sebuah aspek penting yang perlu dipertimbangkan pada tahap
ini adalah risiko (Lovelock 2001). Gagasan risiko dalam keputusan pembelian
berkaitan dengan fakta bahwa saat konsumen membuat keputusan pada dasarnya
berada di bawah tingkat ketidakpastian tertentu mengenai produk atau layanan. Dengan
demikian, pertimbangan pilihan merujuk pada kemungkinan terjadinya hasil
negatif dan kemungkinan kerugian (Taylor, 1974; Murray 1991).
Dalam
konteks ini, siswa menghadapi ketidakpastian karena hasil pilihannya itu baru
dapat diketahui sepenuhnya di masa
depan. Untuk mengurangi
persepsi risiko, konsumen menggunakan strategi seperti pencarian informasi yang
meliputi melihat reputasi penyedia layanan, melihat fasilitas layanan,
berbicara dengan karyawan lembaga tersebut, atau browsing melalui internet
untuk membandingkan masing-masing perguruan tinggi.
Temuan ini memberikan
gambaran umum bahwa calon siswa tidak diam. Mereka aktif terlibat dalam
pencarian informasi baik yang berasal dari sumber
formal maupun jaringan sosial (misalnya, teman/ kenalan, guru). Sumber interpersonal ini bisa jadi dianggap sebagai
pelengkap sumber formal.
Temuan lainnya adalah
ketika menentukan pilihan, faktor lokasi juga menjadi pertimbangan utama. Ini
mengindikasikan bahwa 'kedekatan geografis adalah aspek yang paling penting, baik untuk
pertimbangan ekonomi maupun keamanan dan kenyamanan. Seperti diketahui, dalam
beberapa tahun terakhir, biaya pendidikan meningkat secara signifikan. Kedua, Jakarta sangat dikenal dengan
kemacetannya. Karna itu, bagi rumah
tangga yang memiliki kendala ekonomi, ada dorongan untuk mengurangi biaya
(biaya kuliah dan hidup beban) dengan tinggal di rumah sehingga faktor lokasi
menjadi pertimbangan dalam memiliki perguruan tinggi.
Dari temuan
pertimbangan siswa memilih perguruan tinggi tersebut, dalam survey
pemeringkatan perguruan tinggi ini, MIX-Marketing Communication menggunakan
indikator reputasi, kualitas lulusan, kesesuaian biaya, kesetaraan lembaga
pendidikan di luar negeri, lokasi, dan fasilitas. Kenapa reputasi menjadi kriteria meski temuan factor-faktor
yang dipertimbangkan dalam memilih perguruan tinggi relative kecil. Berdasarkan
masukan, reputasi merupakan hal yang penting. Reputasi yang baik dianggap para
akademisi dan profesional bisnis menjadi salah satu aset tidak berwujud yang paling berharga. Ini sekaligus dapat mengurangi
ketidakpastian stakeholder tentang kinerja organisasi di masa depan, memperkuat
keunggulan kompetitif, berkontribusi terhadap kepercayaan masyarakat dan
menciptakan nilai
(Alsop, 2004).
Tahun ini,
Majalah MIX akan melakukan survey perguruan tinggi. Sama seperti tahun lalu, dalam
survey ini yang diperingkat adalah fakultas atau urusan manajemen dan
komunikasi. Sementara yan disertakan adalah fakultas atau juruan yang mendapat
akreditasi A atau perguruan tinggi yan masu dalam 10 besar dalam pemeringkatan
tahun lalu. Siapa-siapa yang menjadi terbaik, tunggu MIX-Marketing
Communication, Maret tahun depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar