Ini merupakan kali
ketiga Majalah MIX-MarketingXtra bekerjasama dengan Qasa Strategic Consulting
melakukan penilaian atas kinerja distribusi perusahaan. Hasilnya, pertama,
banyak perubahan yang signifikan dan mengejutkan. Kedua, inilah cerminan dari
pertarungan raksasa di bisnisnya dalam mendekatkan produknya ke konsumen.
Teknologi dan krisis global telah mengubah peta pemenang distribution performance tahun ini. Secara
umum, perkembangan dan penggunaan teknologi sangat membantu para prinsipal
dalam mendapatkan informasi secara cepat sehingga ketika pmereknya kosnong di
pasar misalnya, segera terpantau. “Teknologi amat membantu untuk kecepatan
informasi. Ini amat diperlukan untuk produk fast moving seperti kami,” kata
Adrian Baskoro, Sales Director PT Tirta Investama – pemilik merek Aqua.
Sederhana. Namun kontribusi kecepatan informasi dalam
pengambilan keputusan luar biasa. PT Panamas -- distributor produk-produk
Sampoerna – misalnya. Menurut Director Sales Operations Wes Area PT Panamas
Ivan Cahyadi, setiap hari Panamas melayani puluhan ribu customer di seluruh
pelosok nusantara agar konsumen bisa mendapatkan produk Sampoerna dimana saja
dan kapan saja.
Untuk itu, coverage distribusi ditetapkan secara area
sehingga salesman Panamas dapat dengan mudah memantau perkembangan dan memasok
produk kepada peagang di tingkat retail hingga wholesaler. Mereka memantau perkembangan pasar mulai dari
ketersediaan baran hingga perkembangan harga di tingkat wholesaler. Bila
terjadi diskon gedhe-gedhean yang dilakukan oleh merek pesaing, para salesman
tersebut mengetahui dan langsung melaporkannya ke pengelola area saat itu juga.
Untuk menunjang kerja terutama dalam mendapatkan dan
menyampaikan informasi, para salesman ini dilengkapi dengan handheld atau PDA untuk memantau
sekaligus menjamin kelangsungan supply produk. “Lewat handheld atau PDA
ini, kondisi riil per point of sales akan bisa dipetakan
dengan jelas, bahkan di level head
office per harinya” paparnya. Penggunaan PDA sudah diterapkan Panamas sejak
lama. Bahkan untuk pembuatan invoice yang tiba-tiba harus dibuat, masing-masing
salesman dilengapi dengan printer mini yang bisa dibawa kemana-mana tanpa
merasa terbebani.
Selain PDA, mobil-mobil salesman yang bertugas untuk droping
juga dilengkapi perangkat GPS, Sehingga ketika terjadi kekosongan di suatu
lokasi dan harus diisi oleh salesman baru misalnya, lokasi bukan menjadi masalah
lagi karena untuk mencapai lokasi tersebut salesman dipandu oleh GPS. “Meski
kadang-kadang ada masalah, namun keberadaan perangkat GPS ini benar-benar
sangat membantu,” kata salah seorang salesman.
Ke depan, perangkat informasi tersebut akan menjadi jauh
lebih sederhana. Perangkat GPS dan PDA bisa jadi tidak lagi terpisah atau pun
kalau menjadi satu tidak lagi merepotkan penggunanya saat berkendara. Kabarnya,
saat ini ada sebuah provider software yang bisa memadukan itu dengan perangkat
yang jauh lebih sederhana sehingga lebih murah dan mudah dipergunakan bahkan
oleh pengemudi sekalipun tanpa merasa terganggu.
Perkembangan teknologi telah mengubah pasar. Saat ini,
menurut perkiraan, setiap dua penduduk Indonesia memiliki satu handphone,
beberapa diantaranya memiliki kemampuan untuk mengakses internet. Ini berarti
konsumen/pelanggan dan pedagang masing-masing juga memiliki handphone. Mereka
biasa berkomunikasi.
Konvergensi internet dan handphone kini juga membuat
konsumen semakin cepat mendapatkan informasi. Selain informasi yang positif
tentang suatu merek, melalui sms dan sebagainya, konsumen juga semakin mudah
mendapatkan informasi yang negatif tentang suatu merek. Bahkan fasilitas
internet yang yang bisa diakses melalui handphone membuat konsumen semakin
aware dengan informasi yang berkembang di lokasi yang jauh dari geografisnya.
Pada kondisi seperti itu, konsumen bisa langsung
berkomunikasi dengan peritel. Kedekatan lokasi dan emosional antara konsumen di
perumahan misalnya, dengan pedagang tempat mereka biasa membeli produk, membuat
komunikasi mereka tidak berjarak. Mereka bisa dengan akrab berkeluh kesah
(dalam bahasa Jawa ngrasani) bahkan
kadang-kadang terselip kata kasar bila mereka tidak puas dengan produk yang
dibeli atau menyindir sang pedagang bila layanan yang diterimanya kurang
memadai. Tanpa ada perasaan tersinggung.
Palanggan warung – karena terbiasa akses internet – juga
bisa berperan sebagai informan untuk pedagang. Atau bila pedagang juga terbiasa
akses internet, mereka – antara pelanggan dan pedagang atau pedagang dengan
pedagang -- saling memberi infomasi manakala ada kejadian di luar geografinya,
termasuk mereka juga akan memberitahu bila pedagang tempat mereka biasa membeli
mendapat perlakuan kurang adil dari prinsipal. Mereka akan saing membandingkan.
Disinilah pentingnya kecepatan informasi dari salesman yang memantau pasar ke
managemen prinsipal. Dari informasi itu, distributor atau prinsipal bisa dengan
cepat mengambil keputusan untuk meningkatkan atau mempertahankan service level
misalnya.
Adanya perubahan pasar yang mengutamakan efektivitas biaya,
ketersediaan produk di pasar, dan layanan akan sangat mempengaruhi pilihan yang
harus diambil prinsipal atau distributor. Pilihan tersebut antara lain akan
mengikuti trend melalui kecepatan menangkap perkembangan pasar tersebut atau
membiarkan begitu saja trend tersebut. Secara tidak langsung dua kecenderungan
tersebut tergamba dari hasil survey tentang distribution performance tahun ini.
Banyak temuan baru dalam survey kinerja distribusi tahun
ini. Nampaknya, krisis global yang berdampak ke perekonomian nasional mengubah
paradigma prinsipal terhadap retailer. Kalau tahun tahun lalu kontribusi
service level dalam kinerja distribusi bisa dominan, tahun ini berubah. Bila
dilihat dari hasil survey kali ini, juara atau kinerja distribusi paling
mumpuni umumnya adalah prinsipal yang kinerja brand-nya —ditunjukkan oleh
ketersediaan produk yang tinggi dan display serta visibility produk yang mencolok – bagus. Padahal, tahun lalu, lebih
beragam.
Indomilk, pemenang pertama di kategori susu bubuk tahan lalu,
misalnya, menjadi juara karena kinerja pengelolaan account-nya yang sangat
baik. Meski dari sisi kinerja brand, Indomilk jauh di bawah Nestle, Frisian
Flag, dan Sari Husada. Tahun ini, Indomilk
tersingkir dari daftar juara, baik untuk brand index maupun indeks account
management.
Juara tahun ini
untuk kategori susu bubuk diraih Nestle melalui Dancow. Dalam survey kali ini,
Dancow menduduki peringkat teratas karena brand indexnya sangat tingi. Jauh
mengalahkan Susu Bendera maupun pesaing lainnya. Akan tetapi, dari sisi account
management, posisi Nestle tertinggal oleh Susu Bendera.
Seperti
diketahui, Penialaian kinerja (performance) distribusi ini dilakukan dengan
menggunakan dua indeks, yakni brand index dan acount management index. Brand Index
merupakan penilaian pengecer terhadap: ketersediaan barang, sistem pembayaran,
produk display, ketersediaan materi promosi di outlet dan intensitas kegitan
promosi di tingkat pedagang.
Sedangkan Indeks
Account Management mencakup penilaian terhadap salesman sebagai ujung tombak
perusahaan untuk melayani pengecer tradisional ini, antara lain: bagaimana
layanan (service) salesman terhadap toko, frekuensi kunjungan ke outlet,
tanggapan terhadap komplain, pengetahuan salesman terhadap produk yang
ditawarkan dan melakukan tugas merchandising (merawat pajangan produk dan
memasang promosi materi).
Di kategori
minuman isotonik, Danone melalui Mizone menunjukkan dominasinya. Sempat
terjegal karena kasus labelling pada 2006, Mizone berhasil memulihkan
kinerjanya. Performa Mizone di outlet tradisional kini bahkan berhasil
mengungguli brand leader Pocari Sweat. Survei Distribution Performance 2008
menunjukkan Indeks kinerja distribusi Mizone (PT Danone Indonesia) tertinggi
mengungguli Pocari (Amerta Otsuka), Vitazone (Mayora), ProSweat (ABC
President), dan Powerade (Coca-Cola Indonesia).
Di kategori green tea, kategori produk yang untuk pertama
kalinya masuk dalam survei ini, posisi Coca-Cola dan Sosro saling
susul-menyusul. Dalam hal Brand Index, Coca-Cola yang mengusung merek Frestea
unggul, membukukan indeks 54,4%. Sementara dalam Account Management Index,
Sosro yang mengusung merek Joytea berada di urutan pertama dengan indeks 42,3%.
Secara total (Total Index), Coca-Cola (Frestea) yang berada di posisi pertama,
disusul Sosro dan berikutnya sang market leader di kategori ini, Nu Tea yang
diusung PT ABC President.
Banyak indikator
brand index Frestea yang unggul dibandingkan Joytea. Dalam ketersediaan produk
misalnya, nilai Frestea mencapai 81,8% sedangkan Joytea hanya 16,6%. Ini
menunjukkan bahwa Frestea ada dimana-mana sementara Joytea hanya di beberapa
outlet. Bisa dimaklumi karena untuk kategori minuman teh hijau, Joytea relatif
jauh lebih baru ketimbang Frestea. Sebelumnya, untuk kategori minuman teh
hijau, Sosro meluncurkan Greentea.
Namun dalam
perjalanannya, sejak akhir tahun lalu, Greentea digantikan Joytea. Sementara
itu Frestea teh hijau sudah ada di pasar bersamaan dengan varian rasa Frestea
lainnya. Keterbatasan ketersediaan Joytea di outlet bisa jadi juga berkaitan
dengan ketatnya sistem pembayaran yang diterapkan Coca-coa. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa hanya 91,5% pedagang yang mengaku membayar tunai produk
Coca-cola yang ditempatkan di warungnya, sementara itu pembayaran tunai untuk
produk Sosro mencapai 93,1%.
Secara makro,
sistem pembayaran ini seakan memperkuat anggapan bahwa meski jumlah outlet
pedagang tradisional jutaan, namun bargaining position mereka di hadapan
prinsip jauh lebih lemah dibandingkan peritel modern. Kekuatan peritel modern
ditunjukkan oleh kemampuan mereka mendikte atau memaksa prinsipal (pemilik
merek) untuk membayar berbagai macam fee bila produknya ingin dipajang di
outlet retail modern, sementara pengecer tradisional jutsru harus membayar ke
prinsipal bila ingin memajang produknya di outlet mereka.
Diperkirakan
lebih dari 80% produk Coca-Cola dijual melalui para pengecer dan grosir. Sekitar 90% diantaranya termasuk dalam kategori
pengusaha usaha kecil. Mereka mempekerjakan kurang dari lima karyawan dengan
omset penjualan per tahun kurang dari Rp1 miliar. Tim penjualan yang sangat
besar tidak saja menjual produk-produk Coca-cola kepada para pelanggan, tetapi
mereka juga memberikan saran bagaimana sebaiknya mereka menjual produk-produk
Coca-Cola.
Supervisor
penjualan juga teratur mengunjungi para pelanggan dan memberikan bimbingan,
serta menampung masukan yang disampaikan para pelanggan. Kebijakan penjualan
dan distribusi secara menyeluruh diarahkan oleh National Office di Cibitung,
Bekasi. Namun penerapan kebijakan tersebut dilaksanakan oleh para manajer
operasional dan regional yang handal dan berpengalaman beserta staf mereka.
Persoalannya,
kunjungan yang dilakukan supervisor Coca-Cola dirasa kurang oleh pedagang
dibandingkan dengan Tim Penjualan Sosro. Hasil survey ini menunjukkan bahwa
pedagang memang menilai layanan yang mereka berikan baik. Untuk penilaian ini,
nilai Coca-Cola dan Sosro sama. Namun ketika ditanya seberapa sering kunjungan
yang dilakukan Tim Penjualan? Disini
kelebihan Sosro. Nilai kunjungan tim penjualan Sosro lebih tinggi dibandingkan
Coca-Cola. Sekitar 2,9% pedagang mengaku dikunjungi Tim Penjualan Sosro setiap
hari, sementara Coca-Cola hanya 0,5%.
Rutinitas
kunjungan juga lebih pasti pada Sosro ketimbang Coca-Cola. Barangkali
intensitas kunjungan yang lebih tinggi pada Sosro itulah yang membuat para
pedagang sebagian besar tidak pernah komplain kepada Sosro. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa tingkat komplain pedagang kepada Tim penjualan Coca-Cola
masih lebih tinggi dibandingkan kepada Sosro.
Pertarungan
Coca-Cola dan Sosro hanya salah satu dari temuan survey ini. Masih banyak
hal-hal baru lainnya yang mengejutkan. Hal ini menunjukkan dinamika pasar yang
begitu tinggi. Dinamika tersebut salah satunya bisa disebabkan oleh dinamika
dari pedagang tradisional yang berada di ujung terdepan kedekatannya dengan
konsumen juga tinggi. Inilahyang mendasari kenapa penelitian ini dilakukan di
outlet tradisional.
Rempoa, 29 Mei 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar