Membuat
kemasan yang dapat berperan sebagai penjual yang diam (silent salesman) sangat
bergantung pada pemahaman terhadap pasar. Idealnya, kemasan dirancang
agar memiliki workability tinggi.
Pada 1930-an Louis Cheskin, seorang
psikolog pemasaran, mulai memperhatikan faktor psikologi dari desain kemasan.
Cheskin mempelajari bagaimana respon emosional konsumen terhadap kemasan dengan
melakukan eksperimen. Dalam
eksperimennya, dia menempatkan dua produk yang sama dalam dua kemasan yang
berbeda. Satu kemasan berbentuk lingkaran dan kemasan lainnya berbentuk
segitiga.
Partisipan dalam eksperimen itu diminta untuk memilih mana produk yang
paling disukai dan kenapa. Mereka tidak ditanya sama sekali soal
kemasan. Juga tidak diminta untuk mengatakan sesuatu apapun tentang kemasan
tersebut. Hasilnya, 80 persen partisipan memilih produk yang dikemas berbentuk
melingkar. Ketika ditanya lebih lanut kenapa, mereka menganggap produk tersebut
memiliki kualitas yang lebih tinggi dibandingkan produk dalam kemasan segitiga.
Cheskin kemudian mengulang
eksperimennya dengan meletakkan produk lainnya dalam kemasan yang sama – berbentuk
segitida dan melingkar. Hasilnya sama. Karena itu, Cheskin berkesimpulan bahwa desain kemasan memberikan pengaruh
besar pada pengalaman seseorang akan isi yang terkandung dalam kemasan
tersebut.
Fenomena ini dia sebut sebagai
“sensation transference”. Fenomena ini oleh peneliti lainnya dikatakan sebagai
ketidaksengajaan bantuan untuk suatu produk yang datang dari perasaan yang kita
peroleh saat melihat pembungkus luar dari produk tersebut. “Sensation
transference” ini bisa dicapai melalui suatu design kemasan secara menyeluruh
dari suatu produk. Design menyeluruh
ini terdiri atas lima unsur, yakni bentuk, ukuran, warna, grafis, dan bahan.
Sejak saat itu orang percaya akan besarnya peranan dari packaging. Beberapa
penelitian selanjutnya makin memperkuat anggapan bahwa packaging sangat efektif
dalam membuat ketertarikan konsumen. Ini karena packaging menimbulkan daya
tarik bawah sadar pada konsumen dan membuat mereka membeli suatu produk. Produk
dengan kemasan tertentu yang pertama dilihat konsumen seringkali menjadi produk
yang dibeli konsumen. Reaksi emosional spontan yang disebabkan oleh stimulus
(kemasan) pertama yang dilihat mendorong konsumen untuk mempertimbangkan produk
tersebut. (Hine, Thomas (1995) The Total Package: the evolution and secret
meanings of boxes, bottles, cans and tubes. Little, Brown and Co., Boston).
Itu sebabnya, studi ini juga
menyimpulkan bahwa berbelanja adalah suatu proses yang irasional. Konsumen sering masuk ke toko tanpa
memiliki bayangan produk atau merek apa yang akan mereka beli. Sebagian besar
produk yang dibeli konsumen di toko bukanlah dihasilkan oleh proses
pertimbangan yang hati-hati atau analisis yang mendalam. Konsumen seringkali tidak merasa perlu untuk
membaca atau melihat sara lebih dekat kemasan dari suatu produk. Yang memegang
peranan penting dalam proses pembelian saat itu adalah persepsi yang
dibangkitkan oleh warna atu bentuk kemasan. Jadi disini warna dan bentuk
kemasan produk hanya stimulus untuk meretriev ulang memori kualitas dari suatu
produk bukan menjadi sesuatu yang dipertimbangkan. (Hine, 1995, pp
205-210).
Akhir 1980-an, para produsen dan
marketer makin menyadari pentingnya kemasan. Mereka sadar bahwa kemasan
merupakan salah satu faktor paling penting dalam menciptakan dan memelihara image
tertentu. Kemasan bukan sekadar memberikan image pada produk yang terkandung di
dalamnya, tapi juga mencerminkan identitas.
Karena itu, dewasa ini semakin
banyak produsen yang berusaha meningkatkan kekuatan dan daya tarik kemasan
untuk membantu mempengaruhi keputusan konsumennya dalam memilih dan membeli
produk. Terutama melihat kondisi pasar saat ini yang sesak dengan berbagai
macam merek. Menurut data dari assosisasi industri kemasan dan bahan kemasan
dunia, sekitar 182.000 produk kemasan baru diperkenalkan sepanjang tahun 2006.
Jumlah tersebut masih terus mengalami kenaikan sampai pertengahan tahun 2007
ini.
Tantangan bagi perancang kemasan
adalah bagaimana menciptaan kemasan yang mampu melindungi produk, melindungi
konsumen, membuat produk menjadi mudah untuk disimpan dan dipindah-pindahkan,
memberikan informasi tentang produk, menciptakan daya tarik saat didisplay,
ramah lingkungan, memberikan kenyamanan, ekonomis, legal, dan menciptakan
promotion value.
Konsumen seringkali membeli suatu
produk tidak untuk segera dikonsumsi tetapi untuk persediaan, sehingga ia
membutuhkan produk yang terlindungi secara baik isinya, dari kerusakan,
berkurangnya isi dan pengaruh cuaca. Dari sisi distribusi, kemasan juga
memegang peranan penting karena dengan kemasan produk akan mudah disusun,
dihitung, ditangani dan disalurkan secara lebih baik dan cepat. Kemudahan dalam
distribusi menjadikan kemasan didesain tertentu dan dengan ukuran yang mudah
untuk dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lainnya.
Dimensi tantangan tersebut semakin
dinamis dengan semakin cepatnya perubahan yang
terjadi di lingkungan luar, khususnya pada konsumen dan budayanya. Suatu
kemasan yang dulu berhasil menciptakan image, saat ini berkurang kemampuannya
akibat terjadinya pergeseran persepsi terhadap kemasan dan produk tersebut. Itu
sebabnya, agar efektif, suatu kemasan harus diadaptasikan dengan budaya baru,
perbedaan selera, dan pola konsumsi yang baru.
Dengan kata lain, membuat kemasan yang
dapat berperan sebagai penjual yang diam (silent salesman) sangat bergantung
pada pemahaman terhadap pasar. Dalam kaitan ini, studi budaya dari aspek
komunikasi membantu perancang dalam merancang kemasan yang cocok untuk suatu
pasar. Disini, kemampuan produsen dan marketer dalam mengantisipasi
tantangan, peran dan kekuatan kemasan dalam meningkatkan minat dan pilihan
konsumen makin menjadi taruhan bagi keberhasilan suatu produk.
Kembali ke premis bahwa kemasan mencerminkan identitas. Premis ini
mengimplikasikan bahwa unsur-unsur seperti gambar grafik dan struktur desain
dari sebuah kemasan dituntut mampu mencirikan dan membedakan suatu produk atau
merek dari yang lain serta mampu memberikan kepuasan dan kenyamanan bagi
konsumennya.
Seperti yang ditunjukkan beberapa
penelitian, sering kali pembeli mengambil keputusan untuk membeli suatu barang
hanya karena kemasannya lebih menarik dari kemasan produk lain yang sejenis.
Jadi, kalau ada produk yang sama mutu, bentuk dan persepsi kualitas konsumen
terhadap dua atau lebih merek sama, maka kecenderungannya pembeli akan memilih
produk yang kemasannya lebih menarik.
Di sisi lain, karena makin
banyaknya merek yang beredar di pasar, konsumen kini dipaksa untuk lebih banyak
menghabiskan waktu untuk memilih produk yang dicari. Produk sabun mandi yang dipajang di rak-rak
swalayan misalnya, kini beragam jenis an mereknya. Sampo, minyak goreng, dan
kebutuhan sehari-hari lainnya juga semain beragam. Bahkan minyak goreng branded
kini tercatat terdapat lebih dari 30 merek di rak-rak supermarket. Disinilah
pentingnya kemasan sebagai pembeda dan petunjuk serta ajakan bagi konsumen
untuk membelinya.
Adalah penting bagi marketer untuk
mensinergikan kemasan dan produknya sehingga menciptakan image yang sama. Jika
konsumen mempunyai sikap tertentu terhadap suatu produk, maka penting bagi
marketer bagaimana caranya agar kemasan bisa memberikan asosiasi yang sama.
Bila tidak maka konsumen akan bingung, tidak mengetahui dan tidak bisa
memutuskan apa yang sebenarnya diharapkan dari sebuah merek.
Dalam konteks ini, suatu kemasan
dituntut untuk bisa menciptakan dan memantapkan hubungan antara merek atau
produk dan konsumen. Seorang konsumen sebenarnya bereaksi secara intuitif
terhadap suatu kemasan sebagaimana konsumen tersebut bereaksi bahasa tubuh
seseorang.
Sebagai contoh, dalam keseharian,
terdapat dua cara bagaimana seorang perempuan menyelesaikan pekerjaan rumahnya.
Jika perempuan mempunyai kebiasaan grudak-gruduk
dalam menyelesaikan pekerjaan rumahnya, dia cenderung menggunakan merek yang
mencerminkan karakter agresif dan kuat yang disimbolkan dengan garis persegi
yang dikombinasikan dengan warna seperti merah, biru dan putih. Konsumen jenis
ini senderung tidak memperhatikan lagi soal aestetika dari sebuah produk.
Sebaliknya, seorang perempuan yang
memandang pekerjaan membersihkan rumah merupakan suatu proses yang
berkesinambungan dan dia mempunyai sikap menghargai kebersihan, maka dia selalu
membuat rumahnya bersih. Konsumen jenis ini pada umumnya memperhatikan unsur
estetika kemasan. Karena itu, konsumen ini akan lebih memilih produk dengan
kemasan yang indah dan cantik sesuai dengan karakter sikapnya.
Ini berarti suatu kemasan dirancang dengan mempertimbangkan kebutuhan dan
keinginan konsumen. Ini mengimplikasikan bahwa suatu kemasan seyogyanya
mempertimbangkan target market. Disini marketer dituntut memahami karakter dan
kebiasaan tentang bagaimana mereka menggunakan produk. Marketer juga dituntut
mmahami perubahan-perubahannya. Sebagai contoh, produk botol minuman ringan
kemasan empat liter akan sangat cocok untuk konsmen keluarga yang sering
bersantap di rumah. Akan tetapi, kemasan tersebut tidak cocok bila disajikan di
arena olah raga atau dijual pada mesin jual automatis.
Kemasan dituntut memiliki workability. Artinya suatu merek dituntut
memudahkan konsumen dalam menggunakan dan memberikan kenyamanan misanya.
Persoalannya, workability tersebut menjadi sesuatu relatif. Misalnya, suatu
kemasan dituntut untuk ramah lingkungan dan memberikan keamanan bagi konsumen.
Karena itu, menggunakan kemasan bermaterial kertas atau karton atau gelas lebih
disarankan dibandingkan plastik atau styrofoam misalnya. Pesoalannya, kemampuan
produsen untuk menyediakan tingkat workability setinggi itu diatasi oleh
biaya.
Karena itu, untuk merancang kemasan selain mempertimbangkan kepentingan
konsumen, seringkali terkendala oleh kemampuan produsen serta didesain sesuai
dengan parameter teknologi yang tersedia. Idealnya, desain kemasan berfungsi
optimal. Namun, faktor biaya juga sangat menentukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar