Inilah hasil survei
pertama kali untuk perguruan tinggi ilmu komunikasi dan pemasaran. Hasilnya
memang seimbang antara sekolah negeri dan swasta.
Tahun 2008, terbetik kabar bahwa minat ulusan SLA untuk melanjutkan ke perguruan tinggi swasta turun.
Indikator yang muncul di Jawa Barat ini setidaknya dilihat dari tingkat penerimaan
mahasiswa baru di sejumlah perguruan tinggi swasta belum mencapai kuota ideal.
Ini disebabkan kecenderungan menurunnya peminat. Apalagi, tingkat melanjutkan
kuliah di Jawa Barat masih rendah.
Penurunan minat terhadap perguruan tinggi swasta tersebut
antara lain disebabkan oleh dua hal. Pertama, semakin banyaknya perguruan
tinggi negeri yang membuka program penerimaan mahasiswa baru, misalnya
ekstensi. Kedua, sebagian besar besar perguruan tinggi swasta yang kurang
diminati itu adalah baru. Di sisi lain,promosi yang mereka lakukan sangat minim.
Sehingga ketika mereka membuka
penerimaan mahasiswa baru, nama mereka relatif kurang dikenal. Ketiga, makin gencarnya promosi oleh perguruan tinggi luar negeri untuk publik Indonesia.
Tapi, benarkah
dari sisi kualitas perguruan tinggi swasta masih kalah dibandingkan perguruan
tinggi negeri. Hasil penelusuran Majalah MIX-MarketingXtra mendapati bahwa
sejatinya masyarakat sudah menilai tinggi – bahkan bisa disejajarkan –
perguruan tinggi swasta. Setidaknya ini tercermin pada perguruan tinggi
manajemen dan komunikasi oleh calon mahasiswa (saat ini masih duduk di SLA
kelas III).
Hasil survei
tersebut memberikan gambaran bahwa untuk sekolah manajemen, pilihan calon
mahasiswa jatuh pada Universitas Indonesia (negeri), diikuti Insitut Teknologi
Bandung dan disusul oleh dua sekolah swasta, yakni Universitas Bina Nusantara
dan Universitas Trisakti. Sementara itu utnuk kategori sekolah komunikasi, peringkat pertama diduduki oleh Universitas Indonesia, dan ITB untuk sekolah negeri, serta Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi LSPR untuk sekolah swasta.
Survei universitas
terbaik ini adalah yang pertama kali dilakukan – untuk jurusan komunikasi dan
pemasaran – di Indonesia. Survei ini dilakukan untuk melihat persepsi calon
mahasiswa dan orangtuanya tentang perguruan tinggi setara S1 yang menyelenggarakan
jurusan atau program studi manajemen (termasuk marketing) dan komunikasi
(termasuk desain komunikasi visual, public relations, dan advertising) di
Indonesia.
Survei dilakukan pada 2-16 November 2009 terhadap 399 responden yang berasal dari
keluarga dengan tingkat penghasilan kelas A ke atas. Subjek survei adalah
orangtua siswa dan siswa SMA kelas 3 di lima wilayah DKI Jakarta, yaitu Jakarta
Barat, Timur, Utara, Selatan, dan Pusat yang berminat terhadap jurusan
komunikasi dan manajemen.
Teknik pengambilan sample-nya dilakukan dengan metode multistage random sampling di mana
tingkat kesalahan sampling-nya (sampling
error) sekitar 5,99% pada interval kepercayaan 95%. Untuk mengukur
persepsi, kepada responden disebutkan 24 perguruan tinggi yang memiliki jurusan
komunikasi untuk evaluasi terhadap perguruan tinggi komunikasi. Untuk persepsi
terhadap sekolah marketing, dipilih 57 perguruan tinggi yang memiliki jurusan
manajemen dimana marketing terdapat di dalamnya. Dalam survei ini, hanya perguruan tinggi yang
terakreditasi A yang disertakan.
Pengumpulan
datanya dilakukan melalui wawancara tatap muka dengan mendatangi rumah mereka
maing-masing dan menggunakan alat bantu wawancara berupa kuesioner. Ada empat
variabel persepsi yang diukur dari responden, yaitu reputasi, kualitas lulusan,
kesesuaian antara biaya dengan nilai/manfaat, dan kesetaraannya dengan
perguruan tinggi berkualitas di luar negeri. Untuk evaluasi, responden diminta
untuk menyebut skor mulai dari 1 yang berarti terjelek sampai 10 yang berarti
terbaik. Pemeringkatan hasil survei dihitung berdasar indeks rata-rata keempat
variabel persepsi tersebut di atas.
Profil Responden
Seperti
dikemukakan sebelumnya, untuk siswa, subjek survei ini adalah siswa kelas 3 SMA
dan SMK di lima wilayah DKI Jakarta. Setelah dilakukan wawancara, mereka
terbagi ke dalam 11 jurusan. Yang terbanyak adalah jurusan eksakta, diikuti
jurusan sosial. Sedangkan yang terkecil adalah jurusan informatika. Proporsi
SMU negeri dan swasta hampir sebanding meski seolah negeri lebih banyak.
Sebagian besar responden adalah siswa sekolah negeri (58,4%) dan swasta (41,1%)
serta sekolah egeri atau swasta yang masuk dalam kategori SMU berstandar
internasional (0,5%).
Pekerjaan
orang tua mereka sebagian besar adalah karyawan swasta (42,2%) dan wirausaha
(38,7%). Hanya 13,2 % yang berprofsi sebagai pegawai negeri. Hanya 25%
responden siswa yang menyatakan keinginannya untuk melanjutkan sekolah ke luar
negeri. Dari hasil survei diperoleh gambaran bahwa sebagian besar responden
(90,68%) siswa merasa diberi kebebasan oleh orang tuanya dalam memilih
perguruan tinggi yang akan dimasukinya. Karena itu, sebagian besar (93,6%)
responden merasa bahwa keputusan memilih perguruan tinggi yang akan dimasukinya
adalah di tangan mereka, meski dalam perspektif orang tua, mereka masih harus
mempertibangkan pilihannya dengan orang tua.
Pertimbangan Dalam Memilih Perguruan Tinggi
Lalu apa
yang menjadi pertimbangan mereka dalam memilih perguruan tinggi? Disini
terdapat perbedaan antara kepentingan orang tua dan calon mahasiswa. Seperti
yang dikemukakan pada tulisan tentang Academia 2.0 sebelumnya, dalam memilih
perguruan tinggi, calon mahasiwa tidak selalu mandiri. Ada pihak lain, yakni
orang tua, yang ikut mempengaruhi kalau tidak mau dikatakan menentukan.
Peliknya adalah seringkali kepentingan orang tua bertabrakan dengan kepentingan
sang anak.
Tengok
saja dalam pertimbangan pemilihan perguruan tinggi. Bagi calon mahasiswa,
kualitas perguruan tinggi yang dicerminkan oleh tingkat akreditasi yang diperoleh
perguruan tinggi tersebut masih kalah penting ketimbang besar kecilnya biaya
kuliah (67,1%). Sementara itu dalam pandangan orang tua, kelengkapan fasilitas
merupakan pertimbangan utama (88,2%) mengalahkan ketersediaan bea siswa (82,4%)
dan besar kecilnya biaya kuliah (82.4), apalagi tingkat akreditasi. Dari sini dapat ditarik gambaran umum
bahwa soal akreditasi bukan masalah utama.
Top of Mind
Dalam survei ini, ada dua kategori Top of Mind (TOM).
Pertama adalah TOM untuk iklan dan TOM untuk merek atau nama perguruan tinggi
sendiri. Dalam marketing TOM merupakan salah satu indikator dari tingkat
kesanggupan seorang calon pembeli untuk mengenali atau mengingat kembali bahwa
suatu merek merupakan bagian dari kategori produk tertentu. Ini biasanya berkorelasi
dengan promosi yang dilakukan oleh bersangkutan. alam survei ini, kategori
produk tersebut adalah perguruan tinggi komunikasi atau perguruan tingg yang
memiliki jurusan manajemen dimana marketing biasanya terdapat di dalamnya.
Dari survei tersebut diperoleh gambaran bahwa untuk iklan,
terdapat 16 iklan perguruan tinggi yang disebutkan oleh responden. TOM iklan
Universitas Indonesia
menduduki peringkat teratas, diikuti Universitas Bina Nusantara, Universitas
Trisaki dan perguruan tinggi lainnya. Semenara itu, untuk merek atau nama,
terdapat 14 merek perguruan tinggi yang disebutkan oleh peminat jurusan komunikasi.
Yang tertinggi adalah Universitas Indonesia , diikuti Universitas Bina
Nusantara, Universitas Trisakti dan perguruan tinggi lainnya.
Gita Gayatri, Ketua Program S1 Ilmu Manajemen FEUI, mengakui
bahwa promosi elatif gencar. Ini antara lain dilakukan dengan mengadakan
berbagai kegiatan. Antara lain iklan (Koran dan majalah); personal selling
(menawarkan program S2 dan S3 ke instansi pemerintahan dan perusahaan swasta);
public relation (press conference, press release, open house, edutrade, dll.
Format promosi itu dilakukan secara below the line dan above the line. Sesuai
tuntutan jaman, mereka juga memanfaatkan
channel alternatif untuk melakukan kegiatan komunikasi. Misalnya dengan website
Departemen manajemen (Dibawah website FEUI dan UI) , serta koran elektronik,
publicity dan aktifitas PR.
Sementara aktivasi brand dilakukan secara rutin dengan
roadshow ke SMA (sederajat) yang potensial memiliki target market yang dibidik;
edufair afiliasi dengan program UI
dan eksternal; serta personal selling ke
perusahaan (untuk program S2); sponsorship (kegiatan sosial dan seni).
Program-program tersebut diakui Gita cukup efektif dalam menarik minat calon
mahasiswa untuk berkuliah di Manajemen.
Selain itu, yang juga ikut berperan dalam membangun
awareness adalah usia perguruan tinggi tersebut. Usia dan pengalaman – untuk
jurusa komunikasi lahir sejak 50 tahun silam- menjadi faktor yang paling kuat dalam mencapai
awareness dan persepsi tentang kualitas sekolah ini di benak para responden.
Best Universities: School of Management
Terdapat tiga dimensi yang membangun persepsi publik
terhadap sekolah manajemen terbaik, yakni reputasi, kedua kualitas lulusan,
kesesuaian antara biaya dan manfaat, dan kesetaraan dengan perguruan tinggi
luar negeri. Untuk kategori sekolah manajemen terbaik, terpilih 10 sekolah
terbaik. Mereka dipilih berdasarkan kuota responden yang minimal 30 responden.
Peringkat pertama diduduki oleh Universitas Indonesia, diikuti Universitas
Padjadjaran, Universitas Gadjah Mada, dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM)
LSPR. Dengan demikian, STIKOM LSPR merupakan perguruan tinggi terbaik untuk kategori
perguruan tinggi swasta.
Menurut Gita Gayatri, Ketua Program S1 Ilmu Manajemen FEUI,
departemen Manajemen UI menerapkan value based marketing. Yaitu harga yang dibebankan kepada konsumen
sepadan dengan nilai/manfaat yang diterima oleh mahasiswa/I (bukan mengacu pada
competitor based or cost based pricing). Kemudian dari sisi place, mereka
memiliki dua akses/lokasi yang memudahkan mahasiswa untuk mengenyam pendidikan
di Manajemen FEUI. Pertama Kampus Depok yang menyediakan lokasi asri dan
nyaman, kedua, Kampus Salemba terletak di pusat kota sehingga memudahkan para
mahasiswa yang bekerja di Ibu Kota atau para praktisi yang mengambil strata 2
dan 3 untuk mengakses perkuliahan dengan nyaman.
Sementara
itu, menurut BM Purwanto, PhD, Wakil Dekan Bidang Akademik,
Penelitian dan Pengabdian kepada Masyrakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM, saat ini FE UGM memang sudah
cukup dikenal di dalam negeri, sehingga tantangannya adalah untuk membuka mata
dunia terhadap kualitas pendidikan di almamater Wakil Presiden Boediono
tersebut. “Kami ingin ada pengakuan secara internasional terhadap kualitas UGM
dan akreditasi UGM dari lembaga seperti International Accreditation Agency,” tambah Purwanto. Menurut dia,
popularitas PT hanya sekadar gimmick. “Kalau sudah ada pengakuan
internasional, berarti sudah ada standar yang lebih tinggi, dan awareness
akan otomatis mengikuti.”
Best Universities: School of Communications
Seperti halnya
dengan pemeringkatan untuk sekolah manajemen, pemeringkatan untuk sekolah komunikasi juga berdasarkan tiga
dimensi yang membangun persepsi publik terhadap sekolah komunikasi terbaik,
yakni reputasi, kedua kualitas lulusan, kesesuaian antara biaya dan manfaat,
dan kesetaraan dengan perguruan tinggi luar negeri. Untuk kategori sekolah komunikasi
terbaik, terpilih 9 sekolah terbaik. Mereka dipilih berdasarkan kuota responden
yang minimal 30 responden. Peringkat pertama diduduki oleh Universitas
Indonesia, diikuti Institut Tenologi Bandung yang memiliki jurusan Desain Komunikasi Visual, dan the London School of Public Relations
Jakarta, serta enam perguruan tinggi lainnya.
Menurut Ifa Safira, Ketua Program Studi DKV Fakultas Seni Rupa
dan Desain (FSRD) ITB, sampai saat ini minat calon mahasiswa terhadap program
studi tersebut sangat tinggi. Dari kapasitas 200 kursi yang disediakan FSRD
untuk setiap angkatan (dengan jumlah pendaftar yang biasanya mencapai 3000-4000
peserta seleksi), dalam sepuluh tahun terakhir peringkat DKV selalu yang
tertinggi. Minat mahasiswa berkisar 50%-60%, padahal kapasitas program studi
DKV hanya sekitar 40 mahasiswa per angkatan.
Sementara itu,
menurut Elke Alexandrina -- Dean Department PR and Marketing LSPR
Jakarta -- seiring dengan membangun reputasi, sejak awal LSPR terus menumbuhkan
kualitas produknya. Sebagai communications school berkonsep city school, LSPR
terus menggenjot kekuatannya. Jika di awal LSPR hanya menawarkan kursus singkat
ilmu komunikasi, kini LSPR sudah menjadi sekolah tinggi yang memiliki lima jurusan, yakni, PR, Marketing, Mass Communications,
Advertising, dan paling anyar,
Performing Arts Communication.
Melalui dosen-dosen ahli yang juga pelaku industri,
kurikulum dan sertifikasi berstandard internasional, serta fasilitas yang
lengkap dan nyaman seputar keilmuan. “Kami ingin menciptakan alumnus yang siap
kerja. Artinya, selain skill, kami juga menciptakan attitude maupun behavior
lulusan terbaik,” kata Elke.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar