Apa artinya, itu menunjukkan bahwa sekarang ini affluent
market di Indonesia sedang tumbuh.
The American Affluence Research Center
mendefinisikan affluent market sebagai kumpulan orang-orang yang termasuk dalam
10 persen terkaya di Amerika Serikat. Pendefisnisian ini, menurut AARC, Penting
karena kuantifikasi dari pasar itu memberikan tentang segmen yang dipercaya
bakal menerima bila pemasar atau penjual menawarkan produk atau jasa yang
tergolong mewah. Kata ‘mewah’ memiliki makna yang sangat ambigu dan sangat
longgar. Ini karena “mewah’ tergantung pada persepsi individu terhadap suatu produk.
Karena itu, mewah dalam konteks ini sering dikaitkan dengan harga dan merek.
Affluent generasi sekarang berbeda dengan affluent generasi
lalu. Afluent generasi lalu tidak hanya
kaya tapi sadar benar bahwa mereka kaya dan berbeda. Karena itu, mereka bisa
menjaga dirinya untuk tidak menyakiti perasaan orang lain.
Kelas affluent sekarang mungkin tidak merasa kaya
karena penghasilan mereka tersedot untuk biaya perumahan, perawatan anak dan
iuran sekolah. Namun, mereka berperilaku pembelian mengikuti kehidupan masa
lalu mereka, yang dimulai pada tingkat emosional. Pendapatan mereka memang
lebih tinggi, namun – seperti yang ditulis Ronald D. Michman dan Edward M.
Mazzese (2006) kecenderungan belanja mereka di toko khusus bergengsi untuk
berburu busana Armani, Loro Piona, dan mengenakan baju tenis Lacoste saat
berbelanja di toko-toko seperti Target dan Wal-Mart. Mereka tinggal di
lingkungan kaya dan mengendarai mobil seperti Mercedes Benz S class, Porsche
911 Sport, dan Ferrari 355 Spider F.
Konsumen affluent sekarang lebih sadar dan memiliki
informasi informasi yang lebih baik dari pada generasi masa lalu. Riset yang
dilakukan iProspect Luxe Group, Juni tahun lalu atau saat krisis ekonomi global
berlangsung -- menunjukkan bahwa affluent mencari informasi melalui online
tentang produk mewah. Hanya saja yang dicari adalah produk-produk mewah yang
menawarkan kemudahan pembayaran dan tingkat bunga kredit yang lebih murah.
Selama lima tahun belakangan Harrison Group dan
American Express menerbitkan studi tahunannya yang diberi judul Survey of Affluence and Wealth in Amerika.
Studi ini mempelajari bagaimana gaya hidup, pola pengeluaran, strategi
keputusan pembelian dan preferensi dari sekitar 11 juta rumah tangga AS
berpenghasilan lebih dari $ 100.000 setahun.
Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa hampir 90%
keluarga-keluarga ini (per Desember 2010) percaya negaranya tengah mengalami
resesi besar. Lebih dari 60 persen percaya bahwa krisis tersebut masih terjadi
satu atau dua tahun ke depan. Terlepas
dari fakta-fakta ekonomi atau prakiraan ekonomi saat ini yang menjanjikan,
sikap mereka ini mengendalikan pola belanja mereka. Mereka mengurangi secara
dramatis untuk belanja santai.
Orang-orang Amerika yang sukses secara finansial
sekarang ini menjadi lebih banyak akal, lebih diskriminatif, lebih mandiri, dan
lebih berorientasi nilai. Begitu konsumsi mereka menjadi lebih didorong oleh
kebutuhan, bukan keinginan, dan sebagai saluran informasi baru telah dibuka
untuk konsumen melalui web dan penerbitan digital, serta perubahan dalam peran
penjual.
Memperhatikan trend ini, ada pertanyaan yang mencuat,
yakni lalu bagaimana nasib orang-orang berprofesi sebagai penjual produk atau
barang high-end bertahan? Penulis Jim Taylor, Stephen Kraus, dan Doug Harrison
percaya jawabannya terletak pada satu kualitas: gairah (passion). Dalam buku
SELLING TO THE NEW ELITE: Discover the Secret to Winning over Your Wealthiest
Prospects ini, para penulis Taylor, Kraus, dan Harrison mengungkapkan bagaimana
gairah para penjual sehingga bisa menjual barang untuk kalangan atas itu secara
lebih efektif ketika gairah individu mereka terhubung dengan gairah orang kaya,
dan mengenali gairah dalam suatu produk atau jasa secara superlatif.
Karakteristik apa saja yang mencirikan interaksi
antara penjual dan pembeli sehingga bisa saling memuaskan saat prospecting
maupun terjadi transaksi penjualan, sementara ketika mereka sejatinya ingin
“berhenti” memuaskan keinginannya, para penjual itu berhasil menjual barang
dari tas yang berharga $ 10.000 sampai
jet pribadi senilai $ 10 juta?
Dengan mendiskripsikan studi ekstensif mereka
terhadap penjual-penjual produk yang lebih menonjolkan impian menjadi
terpandang seperti Lexus, Chanel, Neiman
Marcus, Four Seasons, Cartier, Hermes, dan Louis Vuitton yang sukses, Taylor,
Kraus, dan Harrison memberikan sesuatu yang menarik, tepat waktu, dan solusi. Dengan
berfokus pada pola pikir kedua pihak – penjual dan pembeli -- yang interaksinya
saling memuaskan, Selling to New Elite menuntun pembaca kepada suatu cara yang
dapat mengungkit keuntungan dengan
memanfaatkan gairah yang melekat pada suatu situasi penjualan.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Tidak seperti orang kaya baru yang gemar pamer, tipe pasar super premium—atau sering diistilahkan Hermawan Kartajaya sebagai orang kaya lama—justru aktivitasnya enggan diketahui publik. Hanya di ruang pamer berkonsep galeri yang elegan, mobil super premium biasanya dijual.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Tidak seperti orang kaya baru yang gemar pamer, tipe pasar super premium—atau sering diistilahkan Hermawan Kartajaya sebagai orang kaya lama—justru aktivitasnya enggan diketahui publik. Hanya di ruang pamer berkonsep galeri yang elegan, mobil super premium biasanya dijual.
Seperti pernah dikutip di majalah MIX-Marketing Communication, Hermawan pernah
menjelaskan, kampanye komunikasi untuk mobil super mewah tak perlu detil
berbicara tentang keunggulan produk. Pasalnya, orang super premium, target
mobil-mobil super mewah di Tanah Air—yang notabene kerap bolak-balik luar
negeri, sudah pasti mengenal merek tersebut dengan baik.
Asal tahu saja, pasar super premium
memiliki karakter yang sudah tidak lagi bermain rasio. Artinya, mereka sama
sekali tidak memedulikan harga, omongan orang, atau yang lainnya. Asal mereka
suka, mereka menikmatinya, maka mereka akan membelinya. Oleh karena itu, tim
pemasar mobil super premium harus mampu memberikan beyond expectation
kepada calon pembelinya secara terus menerus.
Namun demikian, jangan membayangkan bahwa banyak affluent di Indonesia yang mengoleksi mobil mewah. Indah,
humas Importir Umum dan ruang pamer Ivans Motor Pondok Indah, April lalu
mengungkapkan kepada sebuah harian ibukota bahwa saat ini telah terjadi
pergeseran aktivitas transaksi dari konsumen mobil-mobil premium. Menurutnya,
orang-orang berduit di Indonesia sekarang cenderung lebih suka melakukan aksi
beli dengan cara tukar tambah. Mudahnya
proses pembelian dengan cara inilah yang kemungkinan besar membuat merek-merek
semacam Ferrari, Lamborghini, Bugatti Veyron, Maserati, Jaguar, Ducati, Rolls
Royce, Aston Martin, atau Bentley makin gampang dijumpai di jalan-jalan
protokol ibukota. “Masyarakat yang membeli melalui trade-in (tukar
tambah) memang makin marak. Booming terjadi sejak tahun lalu,” terangnya. Ia
mengaku, Ivans Motor hampir tiap bulan melayani pembelian dengan cara tukar
tambah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar