Banyaknya produk yang dipasarkan membuat konsumen bingung, bahkan frustasi. Karena itu, bebrapa produsen menerapkan stratgi yang disebut para pakar Simplicity Merketing. Apa dan bagaimana penerapannya?Apa pula manfaatnya?
Berbelanja bisa membuat
pening! Mana mungkin? Tak percaya? Coba Anda ke hypermarket. Disitu tersedia
ribuan produk dengan berbagai merek. Untuk pembersih lantai saja misalnya, bisa
lebih dari dua puluh. Beruntung, dari jumlah itu, konsumen – berdasarkan survei
yang dilakukan MARS (Marketing Research Specialist) tahun lalu – konsumen bisa
mengingat 18 merek. Tapi, itu baru merek, belum lagi kemasan dan aroma. Untuk
aroma saja sedikitnya tiga macam.
Ujung-ujung, kalau Anda bukan
loyalis suatu merek, usai membanding-bandingkan Anda memutuskan untuk tidak
membeli. Kalau pun membeli, pilihan Anda didasarkan pada bukan keyakinan
melainkan coba-coba. Itu karena Anda merasa capek, bingung, atau frustasi.
Banyaknya produk dan merek
memang mempunyai implikasi pada pilihan keputusan. Ambil contoh pembersih
lantai tadi. Begitu Anda mampir ke rak display, Anda akan dihadapkan pada 18 x
3 x 2 pilihan. Itu kalau Anda sengaja ke hypermarket. Di rumah atau di
kantor? Coba Anda ingat-ingat, berapa
kali Anda mendapat telepon, e-mail, sms, dan sebagainya dari telemarketers
produk asuransi, baik di rumah maupun di kantor. Itu baru produk asuransi,
belum lagi produk susu, hotel, perumahan, kartu kredit, bank, dan sebagainya.
Konsumen dibombardir dengan begitu
berlimpahnya produk dan merek, tanpa
mereka diberi kesempatan untuk berpikir. Setiap merek baru yang datang,
seringkali menciptakan masalah baru karena mereka menambah barisan masalah yang
sudah ada. Padahal, bisa dipastikan setiap tahun muncul ratusan bahkan ribuan
produk dan merek baru.
Bila Anda sekali waktu ke
Amerika Serikat, Anda akan dihadapkan pada banyak pilihan. Sebab di sana,
rata-rata supermarket memajang 8 ribu macam produk. Orange juice saja, Steven M Cristol & Peter Sealey dalam bukunya, Simplicity Marketing, End Brand
Complexity, Clutter, and Confusion, ada 70 macam. Itu belum termasuk yang campuran jeruk
dan nenas dan sebagainya. Bahkan untuk pasta gigi merek Crest saja, ada 45
macam.
Berangkat
dari masalah ini, Cristol dan Sealey – lewat bukunya tadi – mengajukan
pemikiran, bagaimana kalau para produsen mencoba untuk tidak menimbulkan kebingungan
dan kekusutan pada benak konsumen
(clutter). Itu yang mereka sebut dengan Simplicity Marketing. Disini,
setiap pilihan konsumen dikelola secara proaktif sehingga
produk maupun merek diposisikan untuk menimbulkan dampak declutter di
benak konsumen.
Dengan
demikian, konsumen bisa mengambil keputusan dengan mudah dan sudah tentu tak
membuat konsumen bingung dan frustasi. Dalam soal ini, bukan hanya produk
barang, sektor jasa juga bisa menerapkan strategi ini sehingga bagaimana
konsumen hanya dengan sekali pilih, misalnya, bisa mendatangkan manfaat
lainnya.
Di
masa mendatang, prinsip menyederhanakan pilihan konsumen ini menjadi pilar
utama sukses tidaknya suatu produk karena makin sibuknya mereka. Menurut
Cristol dan Sealey, merek dapat mengurangi stres, khususnya bila para manager
merek memahami dan mendukung penuh merek sebagai penghemat waktu dan
penyederhana.
Beberapa produsen yang sukses
menerapkan strategi ini menurut mereka berhasil meningkatkan nilai ekuitas
merek dan pasar saham mereka. Mereka antara lain Procter & Gamble
(P&G), IBM, Burger King, Wall-Mart dan McDonald's. P&G menerapkan mulai
menerapkan strategi ini setelah merasa bahwa ratusan merek yang mereka tangani
tak berhasil mendongkrak pasarnya.
Antara 1993 hingga 1995,
P&G menciutkan karyawannya. Konsekuensinya, merek yang ditangani juga harus
dikurangi. Kategori produk pertama yang dikurangi adalah produk perawatan
rambut. Dari lebih 30 ragam merek Head & Shoulder, P&G memangkasnya
menjadi separoh. Merek-merek produk yang
dinilai bukan bidangnya juga dilego. Langkah itu juga diikuti dengan
pengurangan produk-produk baru, terutama produk yang masuk telat (me-too)
dan memfokuskan diri produk-produk inovatif yang memberikan nilai manfaat
tinggi kepada konsumen.
Disini, P&G menerapkan
apa yang disebut oleh Cristol dan Sealey sebagai Efficient Consumer Responsise. Strategi
ini bertitik tolak dari lebih sedikit produk dan variasi produk, setiap
hari menawarkan harga 'murah', mengurangi penggunaan kupon, dan menguragi
ambiguitas untuk meningkatkan brand loyalty.
Rempoa, 21 Oktober 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar