Sering diberitakan
sebuah partai politik dengan penuh semangat menjual calonnya kepada para
pemilih. Alih-alih membuat desain keputusan politik yang merupakan terjemahan
dari aspirasi dan kepentingan pemilih, anggota dewan atau pemimpin memberikan
bantuan dan sumbangan yang bersifat karitatif dan berbiaya tinggi.
Di banyak negara demokrasi, termasuk Indonesia , politik sebagian besar
dikuasai oleh pertimbangan-pertimbangan taktis, perilaku taktis serta tindakan
yang bersifat jangka pendek dan seringkali terlalu dangkal. Hubungan partai
atau anggota legislatif dengan konstituennya misalnya, biasanya berpola
hubungan jual-beli/transaksional antara buyer
dan seller.
Untuk mendapatkan suara dalam pemilu, misalnya, parpol atau
calon anggota legilatif dan ekskutif membeli konstituen lewat uang, sembako, kaos,
pembangunan mesjid, pembangunan jalan dan lain-lain. Kenapa? Realitas bahwa
kondisi politik Indonesia
masih tradisional sehingga alasan memilih dan mendukung partai atau anggota
legislatif masih komunal, primordial, kharismatik dan patron klien.
Realitas menunjukkan bahwa tingkat pendidikan dan
pengetahuan rakyat pemilih pada umumnya sangat rendah dan tidak mampu mengerti
program program yang jelimet dan bersifat akademis. Mereka akan lebih mudah
dipengaruhi oleh janji janji yang mengiurkan walaupun tidak realistis. Mereka
hanya memiliki kepentingan jangka pendek.
Di sisi lain, sebagian besar partai politik masih
mengandalkan karisma individu pimpinannya. Pemilihan yang berdasarkan karisma
dan popularitas individu, memang tidak dapat dihindarkan. Namun demikian,
popularitas tersebut secara alamiah akan pudar dan tidak langgeng. Apalagi
kekuasaan yang bersifat abusif akhirnya akan mengkikis popularitas yang
dimiliki oleh individu tersebut.
Secara garis besar perilaku pemilih, dapat dikelompokkan
dalam beberapa kategori. Pertama, penentuan pilihan karena kesamaan ideologi
dengan kandidat. Ideologi disini adalah ide-ide dan prinsip yang menjelaskan
bagaimana seharusnya masyarakat bekerja, dan menawarkan ringkasan masyarakat
seperti apa yang ingin dibangun, termasuk bagaimana mengatur kekuasaan dan
bagaimana seharusnya dilaksanakan. Ideologi
ini menjadi pedoman dan pegangan partai dalam menjalankan kebijaksanaan dan
perilaku para kader/anggota.
Terlalu berat
bagi pemilih harus memahami ideologi. Karena itu, dalam kehidupan Indonesia
sekarang dengan politik aliran yang semakin cair, ideologi agaknya tidak lagi
menjadi faktor penentu. Selain itu, kurang memadainya komunikasi politik antara
partai dan calon anggota legislatif/eksekutif, sangat sulit bagi pemilih untuk
menemukan garis persamaan ideologis. Apalagi
dengan pragmatisme politik yang demikian kuat.
Kedua, pilihan
didasarkan pada afiliasi partai politik. Karena ikatan emosional pemilih yang
kuat terhadap suatu partai, tanpa memperhatikan siapa calon yang disodorkan,
pemilih memilih calon yang didukung partai politik pilihannya. Pemilih yang
berperilaku seperti ini agaknya lebih banyak. Bila diperhatikan di beberapa
daerah, meski sosialisasi bahwa pada pemilihan umum nanti pemilih menentukan
pilihannya dengan memilih nama, namun masih terlihat atribut-atribut partai
yang dipasang di beberapa sudut kampung dan rumah penduk.
Fenomena itu
menunjukkan bahwa ikatan masyarakat terhada partai tertentu masih cukup kuat.
Pada kondisi seperti itu, citra partai lebih dipentingkan ketimbang citra
individu caln. Karena itu, para kandidat berupaya sekuat tenaga untuk
memperoleh dukungan partai politik sebesar mungkin.
Ketiga, pilihan
karena kesamaan etnisitas atau unsur primordialisme lainnya, seperti kesamaan asal
kelahiran, pendidikan dan sebagainya. Banyak yang mengasumsikan, variabel ini turut
menentukan pilihan politik seseorang. Karena itu di beberapa daerah, saat
Pilkada, variael ini diangkat untuk dijadikan sebagai penarik suara.
Keempat, pilihan
didasarkan pada pragmatisme politik. Pragmatisme ini bisa muncul
karena banyak
hal, seperti politik uang, pertemanan dan kedekatan dengan kandidat, dan
sebagainya. Politik uang dalam berbagai bentuk manifestasinya, mempunyai
pengaruh yang sangat besar dalam membentuk pragmatisme politik. Politik uang
sebagai bentuk
pragmatisme
politik tidak selalu dalam arti pemberian sejumlah uang kepada pemilih,
tapi bisa dalam
bentuk-bentuk yang agak soft agar tidak dikesankan "membeli" suara
seperti bantuan sembako, pembangunan masjid, dan sebagainya.
Pragmatisme
politik akan melahirkan pemimpin yang inferior. Bila kandidat berhasil menjadi
anggota legislatif misalnya, ia akan merasa inferior dibandingkan lembaga
eksekuitif. Akibatnya, sadar
akan kekurangannya dari segi pengalaman atau pendidikan misalnya, mereka akan
merasa gamang ketika tiba-tiba harus memainkan perannya sebagai anggota
legislatif. Padahal, saat
ini, peran lembaga ini begitu dominan di Indonesia. Bayangkan hampir semua
keputusan penting, mulai dari pembuatan undang-undang hingga penunjukkan
direktur utama perusahaan harus atas persetujuan lembaga legislatif.
Faktor kelima
adalah pilihan karena program dan integritas kandidat. Pemilih yang rasional
biasanya melihat sisi ini sebagai pertimbangan dalam memilih calon. Namun,
diperkirakan, tidak banyak pemilih yang menggunakan hal ini sebagai
pertimbangan utama untuk menentukan pilihan.
Memang
dimungkinkan, pilihan ditentukan juga karena kombinasi dan perpaduan dari
beberapa unsur di
atas, namun pemilih yang cerdas seharusnya didasarkan pada rekam
jejak kandidat,
integritas, keahlian, dan program yang ditawarkan. Akan tetapi, pesimisme masa
depan dan janji kampanye yang sekadar isapan jempol akhirnya
mendorong pemilih
menjadi pragmatis. Belum lagi adanya anggapan, siapa pun yang
berkuasa tidak
akan mampu melakukan perubahan signifikan.
Dalam konteks
marketing, pragmatisme politik akan menghasilkan hubungan yang tidak langgeng
karena mengabaikan faktor kepuasan pemilih. Ini karena pemenuhan kebutuhan tidak
dibangun dari kebutuhan real masyarakat. Pola hubungan ini juga mengasumsikan
bahwa masyarakat memiliki keengganan untuk memilih sehingga harus dibujuk agar
memilih. Pemilih juga dianggap tidak peduli lagi dengan nilai-nilai dasar
perjuangan atau ideologi yang diperjuangkan partai atau caleg.
Selain itu,
hubungan transaksional tersebut juga mengasumsikan bahwa partai atau caleg
memiliki sumber dana yang luar biasa sehingga mereka bisa mengajukan tawaran
bukan program jangka panjang melainkan benefit sesaat berupa sembako, dan
sebagainya untuk mempengaruhi publik.
Sering
diberitakan sebuah partai politik dengan penuh semangat menjual calonnya kepada
para pemilih. Sadar kalau mereka butuh citra, calon itu akan bangga kalau media
memberitakan bahwa dia mengunjungi seluruh daerah pemilihan sejak dini hari hingga
larut malam, berjabat tangan dengan banyak orang dari lapisan atas hingga
bawah. Mereka menemui tokoh masyarakat –ada caleg untuk DPR yang mengunjungi
seorang Kapolres (kebetulan Polwan) sementara sang suami Kapolres adalah calon
dari partai lainnya -- hingga tukang beca dan kuli serta pedagang di pasar
tradisional. Sang calon mengarahkan reporter TV yang diajak untuk merekam
adegan dia mencium bayi-bayi, bertemu dengan para donatur partai, berpidato,
talkshow di radio atau stasiun TV lokal.
Tak terhitung jumlah uang yang dikeluarkan untuk iklan
radio, TV, dan koran, poster dan surat
menyurat. Tak lupa taktik framing pun digiatkan. Yang digeber adalah
keberhasilan dan semua hal-hal yang positif tentang sang calon. Tapi di sisi
lain, kekurangan-kekurangan calon disembunyikan dari publik. Mereka berupaya
sedapat mungkin aib sekecil apapun tidak terlihat oleh orang lain. Tujuannya
adalah melakukan penjualan, tanpa merisaukan soal kepuasan setelah pemilih
memutuskan memilihnya.
Akibatnya, setelah pemilu, banyak kekecewaan yang terjadi
dan semua mengalami kebingungan. Kemudian pemilu selanjutnya hanyalah merupakan
ekspresi kekecewaan kepada pemimpin atau partai yang berkuasa, yaitu dengan
cara memilih pemimpin atau partai yang baru.
Pola hubungan transaksional ini terus dilestarikan setelah
calon terpilih. Komunikasi politik
para anggota legislatif dan pemimpin politik kental dengan pengelolaan kesan. Alih-alih
membuat desain keputusan politik yang merupakan terjemahan dari aspirasi dan
kepentingan konstituen, anggota dewan atau pemimpin terjebak untuk memberikan
bantuan dan sumbangan yang bersifat karitatif dan berbiaya tinggi.
Yang membahayakan
bila kemudian biaya tinggi itu ianggap sebagai investasi yang hrus kembali.
Bila itu terjadi akan berimplikasi pada perilaku politik dan pengelolaan citra
mereka. Perilaku politik dan pengelolaan citranya akan sangat dipengaruhi oleh
ciri dan karakteristik individu dari pada karakteristik partai politik yang
mereka wakili. Paling tidak ini tercermin dari kasus-kasus yang melibatkan
anggota DPR yang kini ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pola hubungan
buyer-seller itu terus dilanggengkan. Indikasinya, sedikit sekali riset
yang mereka lakukan tentang apa yang diinginkan oleh masyarakat. Malah
sebaliknya, banyak sekali kebijakan publik yang dibuat justru bertentangan
dengan keinginan masyarakat. Mereka terus melanggengkan orientasi penjualannya
dengan membuat publik menerima kebijakan yang diinginkan oleh politisi atau
partai dengan pola hubungan transaksional seperti yang dilakukan saat sebelum
terpilih.
Dalam
industri, kebanyakan perusahaan mempraktekan konsep penjualan ketika mereka
memiliki kapasitas yang berlebih. Tujuannya
mereka adalah menjual apa yang mereka hasilkan, bukannya menghasilkan apa yang
diinginkan oleh pasar. Di bidang politik, fenomena ini juga menggejala. Partai
berlomba-lomba memperbanyak calon yang direkrut berdasarkan kebutuhan partai,
sementara itu kebutuhan partai tersebut seringkali bertabrakan dengan kebutuhan
publik.
Pemilih tidak memahami bagaimana
proses seleksi dan pengambilan keputusan yang dilakukan oleh partai politik. Padahal,
proses seleksi calon yang dilakukan oleh partai politik jauh lebih penting dari
pada proses pemilihan umum itu sendiri. Ini karena rakyat hanya memilih
calon-calon yang disuguhkan oleh partai politik.
Pemilih tidak mengetahui proses
seleksi calon-calon yang dilakukan oleh partai politik tersebut; demokratis,
tidak demokratis, otoriter dan didominasi budaya feodal, atau sarat dengan
politik uang. Pemilih tidak dapat berbuat apa apa karena informasi mengenai hal
tersebut tidak diketahui oleh pemilih. Ini karena wewenang sepenuhnya ada di
tangan segelintir elit pimpinan partai politik.
Pemilih seringkali juga tidak
menyadari bahwa peranan partai politik berada di hulu proses demokrasi yang
terbangun di negeri ini. Karena berada di
hulu dari aliran proses demokrasi, maka dapat dikatakan bahwa bila
proses rekrutmen calon tidak dilakukan secara rasional, demokrasi di bagian
hulu mengalami pencemaran. Jika pencemaran terjadi di bagian hulu, maka bagian
hilir yang dimulai dari pemilu telah mengalami pencemaran. Dengan demikian proses
demokrasi yang dirasakan oleh masyarakat sehari-hari, selanjutnya akan
mengalami pencemaran.
Karena banyaknya calon, setiap
hari publik dijejali dengan iklan atau informasi tentang calon yang
berlomba-lomba memperkenalkan diri. Rekam jejak sang calon tak pernah
ditonjolkan. Akses informasi terhadap sang calon sulit dijangkau. Kalau pun
bisa, publik merasa sia-sia. Sebab diantara para calon bahkan partai tidak ada
perbedaan.
Kurangnya upaya menggali keinginan
dan kebutuhan masyarakat mengimplikasikan dugaan bahwa masyarakat memang tidak
dididik untuk menyadari manfaat yang diperoleh saat bila mereka menggunakan hak
pilihnya. Pernyataan
bahwa memilih itu sangat mudah sangat sering disuarakan. Itu sebabnya, muncul
anggapan bahwa memilih itu suatu pekerjaan
yang mudah dan selesai dilakukan hanya beberapa detik saja.
Asumsi
inilah yang digunakan oleh partai politik sebagai dasar bahwa memuaskan pemilih
itu bukanlah hal yang penting. Partai politik mungkin sadar bahwa pemilih
mungkin tidak menyukainya. Karena itu mereka perlu dibujuk. Kalau pun kelak
mereka kecewa setelah sang calon
berkuasa, publik tidak akan menjelek-jelekkan. Mereka pasti akan dengan mudah
melupakan kekecewaannya. Itu sebabnya, tak jarang banyak kebijakan populis yang
lahir menjelang berakhirnya suatu jabatan. Tujuannya untuk mengobati kekecewaan
publik.
Pada
dasarnya mekanisme hubungan partai politik dengan publik sangat sederhana:
partai politik membutuhkan suara pemilih dalam pemilu umum. Karena itu,
idealnya partai politik memperhatikan keinginan para pemilih sebelum mengambil
keputusan mengenai program dan kebijakan partai. Artinya, politisi harus mencari informasi tentang kesulitan dan masalah
yang sedang dihadapi masyarakat serta kepentingan dan preferensi pemilih.
Kemudian partai dapat menawarkan
suatu program politik yang membicarakan persoalan-persoalan yang aktual. Dalam
kompetisi multi-partai, yang dibutuhkan partai politik adalah responsiveness; kemampuan untuk
mendengar dan menjawab. Tanpa mekanisme pengelolaan hubungan dengan publik yang
responsif partai politik tidak dapat memaksimalkan hasil di dalam pemilu.
Pengelolaan hubungan dengan masyarakat ini penting bagi
keberlangsungan dan survival partai
politik sebagai organisasi sosial. Seluruh organisasi berusaha untuk
menstabilkan dan mengontrol lingkungannya. Lingkungan yang sangat sentral bagi
partai politik adalah konstituennya. Hubungan dan komunikasi dengan masyarakat
yang konsisten dan dua arah dapat merupakan stabilisator bagi partai, sebab
pemilih merasa lebih akrab dan terikat pada partai dan akan memberikan
kontribusi kepadanya.
Maka dari itu, partai politik harus berusaha membangun
hubungan dengan konstituen yang stabil dan berjangka panjang. Agar hubungan
dengan konstituen dapat didirikan dan dikelola dengan baik partai harus
mengembangkan pemahaman ideologi dan nilai-nilai dasar partai dan membangun
(infra-) struktur partai dulu.
Setelah ideologi, partai harus mengembangkan program
perbaikan kesejahteraan dan kemajuan bangsa. Ketika partai politik berhasil
menempatkan wakil-wakilnya yang duduk sebagai penyelenggara negara, maka mereka
seharusnya menciptakan dan melaksanakan kebijakan yang berpedoman kepada
program (platform) partai mereka. Program partai harus dikomunikasikan kepada
rakyat pemilih dan selanjutnya menjadi kontrak politik yang harus dilaksanakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar