Untuk membuat pamor merek
Sampoerna Hijau kembali bersinar, HM Sampoerna berani merevitalisasi strategi pemasarannya. Seberapa jauh hasil
yang bisa dicapainya?
Geng Hijau sedang dibengkel si Ujo. Begitu pengantar
awalnya. Lalu, Iklan yang menampilkan
adegan akhir dimana gerombolan anak muda mendorong mobil sambil iseng menggoda
gadis yang lewat. Di lain kisah, geng ini, meminta berbagai permintaan setelah
melihat bintang jatuh. Namun dalam lain suasana, mengisahkan tentang perjalanan
mengantar gadis yang barang bawaannya buanyakkkk
banget. ‘’Ah enggak apa-apa,’’ serempak gerombolan anak muda ini menjawab,
setiap si gadis bertanya,’’sempit ya?’’.
Kehadiran
Sampoerna Hijau (SH) dengan Geng Hijau (GH)-nya yang khas akhir-akhir ini, tak
bisa disanggah memang luar biasa. Kendati tema yang diusung bersahaja, namun
selalu cerdas dan segar. Ide-ide yang disampaikan adakanya sangat sederhana,
tapi tetap bisa riang, asyik, bahkan mampu membangkitkan nostalgia indah masa
lalu.
Iklan SH yang mengekspos aktivitas GH juga ditayangkan
secara intensif. Malah hingga kini intensitasnya enggak pernah kendor.
Tahun 2000 lalu, menurut ACNielsen Indonesia, total belanja iklan SH mencapai
Rp9,61 miliar, sedangkan di tahun 2001 hingga Agustus telah dihabiskan biaya
iklan senilai Rp8,69 miliar.
Kemunculan GH yang cukup intensif, bisa dibaca bahwa HM
Sampoerna (HMS), produsen SH memang mulai berani memberi porsi yang lebih pada
merek SH. Jika sebelumnya, manajemen HMS nampak lebih disibukkan mengelola dua
‘’mesin uangnya’’ Djie Sam Soe dan Sampoerna A Mild, maka kini SH agaknya mulai
mendapat ‘’jatah’’ lebih.
Sebelum-sebelumnya
boro-boro SH diberi jatah bujet promosi hingga nyaris sepuluh miliaran
rupiah. Promosinya juga hanya melalui media-media yang sangat lokal.
Paling-paling ratusan juta rupiah saja yang harus dikeluarkan per tahun.
Bandingkan, misalnya, dengan Djie Sam Soe atau Sampoerna A Mild yang rata-rata
menghabiskan belanja iklan sebesar Rp15 miliar per tahun.
Demikian
pula kapasitas produksinya yang dimiliki SH, sangat terbatas. Bahkan seringnya
hanya memanfaatkan kapasitas terluang (idle time) dari mesin Dji Sam
Soe. Dari sisi distribusi, cakupan pasar yang dikembangkan sangat marginal,
karena masih bermain di wilayah pedesaan. Makanya enggak heran jika manajemen
HMS merasa pelu merombak (merevitalisasi) semua strategi yang berkaitan dengan
SH.
Cikal
bakal revitalisasi SH mulai terjadi tahun 1992-1993. Langkah awalnya, dengan
menggarap strategi komunikasi yang lebih genah. Terutama melalui media cetak
dan below the line. Namun, sayangnya usaha ini kurang berhasil.
Penyebabnya, tak ada kesesuaian antara isi iklan dengan target pasar. Tahun
1998, baru ada sedikit kemajuan. Waktu itu strategi yang dipakai beriklan di
televisi dengan tagline ‘’Mainkan Saja’’. Meski tak bisa dibilang gagal,
upaya ini belum terlalu mengangkat pertumbuhan kinerja SH secara signifikan.
Ide-ide Kreatif
Momentum
keberhasilan, dimulai ketika SH mengkampanyekan tema promosi baru ‘’Asyiknya
Ramai-Ramai’’, dua tahun lalu. Tepatnya Agustus 2000. Positioning baru
yang dipilih SH ialah nuansa kehangatan dalam kesederhanaan. Dari sinilah,
akhirnya mencuat pula nama Geng Hijau. Julukan untuk gerombolan pemuda yang
jadi tokoh sentral dalam setiap versi iklan SH Versi iklan SH yang sudah
beredar diantaranya tema pengangguran, bekerja di bengkel, puasa dan bintang
jatuh (yang paling akhir).
Perubahan juga
terjadi pada strategi pemasaran. Kalau sebelumnya, secara psikografis produk
ini disasarkan secara umum ke konsumen yang lebih mementingkan value for
money (price concius), kini mulai ditambahi unsur-unsur emosional, sebagai unsur diferensiasi.
‘’Kini
Sampoerna Hijau kami sasarkan pada mereka yang tergolong anak muda yang
produktif, memiliki rasa kesetiakawanan yang erat, saling tolong menolong,
kompak dan mau peduli dengan lingkungannya,’’ jelas Rudolf Tjandra, MSA Manager PT HM Sampoerna
Tbk. Dengan mencitrakan diri sebagai produk yang murah namun trendi, SH
berharap kesan tua yang dikaitkan dengan karakter perokok SKT (Sigaret Keretek
Tangan) pelan-pelan bisa luntur.
Strategi
emotional marketing yang kini dimainkan HMS untuk SH, menurut Rudolf,
tak bisa ditunda-tunda lagi. Karena di bisnis rokok, kelebihan cita rasa atau
kandungan tar sudah tidak bisa dijadikan bahan jualan sebagai pembeda produk
dibanding para pesaing. ‘’Soalnya saat
ini semua produk rokok, baik racikan, kadar nikotin maupun tar sudah
mirip-mirip satu sama lain,’’ tambahnya
lagi.
Tak
hanya mentok disitu. Dari sudut distribusi, cakupannya juga diperluas. Kalau semula
hanya beredar di perdesaan, sekarang mulai bisa ditemui dipinggiran kota.
Kelak, kata Rudolf, dirinya berharap SH juga bisa menancapkan kukunya kuat-kuat
di kota-kota besar di seluruh Indonesia. Di sisi lain, kalau semula hanya
berkutat di wilayah Jabar, maka kini seluruh Jawa dicoba dipentrasi secara
merata. Salah satunya lewat aktivitas ‘’Parade Bedug’’ yang baru saja usai.
Bahkan luar Jawa pun pelan-perlan mulai dijajaki, seperti Lampung dan Medan.
‘’Jadi kami juga berupaya menggarap secara nasional.’’
Yang patut dicatat, strategi cerdas lain yang dijalankan
HMS adalah penciptaan berbagai pusat pertumbuhan pasar SH. Caranya cukup
asyik dan nyeleneh. Untuk
meningkatkan brand loyalty, HMS membuat dan mengembangkan satuan basis
massa SH, yang tersebar di berbagai wilayah pasar. Komunitas ini punya kesamaan
tertentu. Misalnya masyarakat nelayan, petani, penduduk penggiran kota
(marginal), anak jalanan, pelabuhan dan penjual kiki (kacang ijo dan
ketan item).
Lewat
komunitas itulah, SH dikampanyekan secara sistematis. Salah satu caranya dengan
memberi berbagai bantuan. Contohnya.
Untuk komuntas nelayan, maka HMS membantu memberi fasilitas layar untuk perahu
yang biasa mereka gunakan untuk mencari nafkah sehari-harinya. “Ketika berlayar mereka juga kami bekali
produk Sampoerna Hijau,’’ sebutnya.
Khusus untuk penjual kiki, idenya lumayan kreatif.
Si penjual diminta mendisain harga barang dagangannya satu paket dengan satu
batang rokok SH. Selain itu, di setiap warung selalu disediakan satu gelas yang
ditempeli logo SH dan juga berisi rokok SH. Sebagai bentuk imbalan bagi para
pedagang kaki lima ini, diantaranya HMS menyelenggarakan mudik bersama rutin
setiap tahun. Setidanya dua ribu orang yang diberangkatkan HMS untuk mudik ke
kampung halamannya, ketika musim Lebaran tiba.
Strategi promosi, dikemukakan Rudolf juga, juga dibuat
lebih kreatif dan tidak monoton. Sebab promosi below the line SH dibuat
jauh lebih besar dibanding above the line. Perbandingannya 60:40.
Anggaran promosi biasanya dibuat 3%-5% dari total penjualab. ‘’Untuk bisnis
rokok, kita harus jago street marketing ketimbang promosi di media lini
atas,’’ katanya memberi alasan. Kembali pada aktivitas promosi. Saat ini, untuk
aktivitas below the line HMS tengah mempersiapkan sandiwara radio serial
yang tokoh sentralnya masih menggunakan Geng Hijau.
Hasilnya? Harus diakui, upaya revitalisasi SH bukan
bualan. Dari waktu ke waktu kinerja pasarnya makin kinclong. Persebaran disribusinya dari semula hanya
kuat di Jabar, kita relatif sudah menasional. Dari 1998 hingga 2000 lalu,
volume pasar SH sudah melonjak tiga kali lipat. Kini kontribusi SH atas total
penjualan HMS mencapai 12%-13%.
Hal menarik
lainnya, diantara merek-merek yang dimiliki HMS, margin keuntungan yang
ditangguk SH lebih bagus dibanding lainnya, khususnya merek-merek Sigaret
Keretek Mesin (SKM). Terlebih dengan permintaan yang makin asoy, belakangan HMS
berani manruh harga SH lebih mahal Rp300-Rp400 dibanding pemain lain di
kelasnya.
Roy Goni, pengamat pemasaran dari RKS Consulting,
menilai, langkah HMS atas HS sudah pas. Sebab sasaran pasar yang dibidik SH
memang dikenal potensial. Terlebih lagi mereka adalah komunitas yang
karakternya heavy smoker. ‘’Sehingga SH tinggal mengandalkan repeat
buyer-nya saja,’’ begitu analisanya.
Di
samping itu, upaya penetrasi pasar SH dari desa ke penggiran kota dan merangsek
ke tengah kota, bagi Roy, pun bukan pilihan yang keliru. Katanya, model
menyerang dari arah samping sangat efektif buat SH karena pusat-pusat pasar di
wilayah urban sudah diisi para pemain yang lebih kuat, dan lebih dulu
menggelinding. Bila SH memaksakan diri langsung merangsek ke pusat-pusat kota,
barangkali kisah bertutur lain. Lagipula berani berhadapan face to face
dengan puluhan merek lain yang sudah ada dan cukup top of mind, tentu
butuh ongkos pemasarannya enggak sedikit.(Tabloid Marketing Edisi 28 Tahun 2002)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar