Satu
dekade sejak krisis ekonomi 1997-1998, Korea Selatan berhasil menempatkan
dirinya masuk ke dalam 15 kelompok negara dengan ekonomi terbesar di dunia.
Kini, Korea berambisi mencapai Korea 3.0 yang menjadikannya secara ekonomi
sejajar dengan Amerika Serikat.
Tahun 2009 merupakan tonggak baru
bagi industri mobil Korea. Untuk kali pertamanya sejak Korea memulai membuat
mobil, mereka memenangkan North American Car of the Year Award, penghargaan
yang diberikan oleh 50 wartawan otomotif terkemuka di Amerika. Penerima
penghargaan adalah Hyundai Genesis, pendatang baru relative murah ($ 40.000)
dan berhasil menyaingi Lexus, Mercedes, dan BMW.
Sementara itu, Samsung Electronics
yang bercikal bakal sebagai pedagang beras, kini berhasil menjual Samsung
Galaxy Tab sebanyak 2 juta unit. Ini merupakan merupakan pencapaian yang hebat
bagi Samsung sebab angka penjualan dicapai hanya dalam waktu 3 minggu setelah
produk ini pertama kali diluncurkan.
Dengan pencapaian ini, Samsung Galaxy Tab
bisa memproklamirkan diri sebagai tablet Android terlaris di dunia, meski untuk
pasar tablet secara keseluruhan Apple masih memegang pasar dengan iPad mereka.
Di Indonesia, raksasa elektronik asal Korea Selatan itu mengklaim mendominasi
pasar tablet PC Indonesia dengan meraih 71 persen market share.
Menurut Myung Oak Kim dan Sam Jaffe
– penulis The New Korea – An Inside Look At South Korea’s Economic Rise, etos
kerja dan semangat kolektif yang dimiliki oleh bangsa Korea benar-benar menjadi
tulang punggung pertumbuhan ekonomi negara itu sejak 1960-an. Keduanya, menurut
laporan Bank Dunia 2008, telah menghantarkan pertumbuhan ekonomi yang
spektakuler selama empat puluh tahun dan transformasi ekonomi yang berhasil melambungkan
status Korea sebagai negara dengan perekonomian terbesar ke lima belas dunia.
Etos kerja dan semnagt kolektif
itu diimplimentasikan ke dalam strategi perencanaan terpusat, penekanan pada
ekspor, industrialisasi yang tergolong ambisius, dan dedikasi dari angkatan
kerja terdidik. Mempelajari perkembangan ekonomi Korea ini, Myung Oak Kim dan
Sam Jaffe membagi pertumbuhan Korea
menjadi tiga tahap.
Tahap pertama atau yang disebut Kim dan Jaffe sebagai Korea
1.0 digulirkan sejak Park Chung-hee berkuasa pada awal 1960-an. Tanda-tanda
Korea 1,0 menjadi bagian dari raksasa ekonomi dunia mulai kelihatan setelah
Korea membangun industry mobil dan perkapalan. Prestasi itu dicapai karena
industry Korea berhasil mengambil keuntungan dari etos kerja yang disiplinkan
oleh negara dan upah rendah.
Paska krisis 1998, ekonomi negara
ginseng itu memasuki era Korea 2.0. Pada era ini, etos kerja masih menjadi
andalan, akan tetapi upah yang rendah hilang. Perekonomian Korea sekarang
didominasi oleh industri-industri baru, seperti hiburan, perangkat lunak, dan
manufaktur peralatan telekomunikasi.
Bisnis di industry ini menjanjikan upah
rata-rata lebih tinggi. Pendapatan Korea Selatan saat ini lebih besar dari $
20.000 per orang. Ini menempatkan Korea ke dalam jajaran negara-negara industry
Eropa dan mendekati Jepang ($ 38,000) dan bahkan membuka pintu untuk bersaing
dengan Amerika Serikat ($ 47,000).
Tantangan Korea sekarang adalah
bagaimana untuk terus meningkatkan kemajuan dan pendapatan pekerja dari $ 20.000
menjadi $ 40.000. Di sisi lain, Korea harus bersaing dengan negara-negara
berupah rendah seperti China dan India. Mereka juga tak dapat mencapainya
dengan model dekrit Presiden seperti yang terjadi di era Korea 1.0 yang berhasi
menyulap industry baja dan otomotifnya.
Korea saat ini mirip posisi
Jepang tiga puluh tahun yang lalu. Pada 1980an, Jepang berhasil memasukkan dirinya
ke dalam kelompok nyaman sebagai pemimpin ekonomi dunia. Demikian juga, pada
tahun 2010, Korea berhasil menempatkan dirinya ke dalam kelompok lima belas
negara ekonomi terbesar di dunia. Jadi, bagaimana bisa Korea terus tumbuh dan
menghindari dekade yang hilang seperti yang dialami Jepang sekarang?
Selama dua puluh tahun terakhir, Jepang
tetap menekankan keselamatan dalam kebijakan ekonomi dengan mengandalkan
pertumbuhan dan dukungan konglomerat multinasional. Menurut sifatnya, seperti
halnya bila perusahaan besar, pertumbuhannya jarang yang berlangsung sangat
cepat.
Seyogyanya, Korea dapat menghindari dua kesalahan yang dilakukan Jepang
tersebut, karena memiliki pengalaman
bagaimana mereka memperbarui strategi pertumbuhan ekonominya saat dilanda
resesi pada 1998 silam.
Selama 1998 akibat runtuhnya
keuangan, Korea Selatan merupakan salah satu negara yang menghadapi krisis yang
mengerikan. Namun, Korea Selatan berhasil mengubah krisis menjadi kesempatan melalui
kampanye "Hallyu” yang artinya Gelombang Budaya Korea (Kim, 2008). Hallyu sebagai
alat soft power berhasil mengantar Korea Selatan melewati krisis dan bahkan
meningkatkan status ekonomi mereka (The Economist, 2010).
"Hallyu" atau :Korean
Wave" digunakan untuk menggambarkan popularitas budaya populer Korea
(K-popped, 2007). Jutaan orang di Cina, Hong Kong, Taiwan, Singapura, Jepang,
Filipina dan Thailand dipengaruhi oleh budaya pop Korea. Mereka menonton Drama TV
Korea, film dan mendengarkan musik pop mereka. Sebagai suatu fakta, media merupakan
awal dari sebuah gelombang besar.
Konsekuensi dari semua itu adalah
perubahan luar biasa ketika orang yang melihat produk-produk media itu bersedia
menghabiskan uang mereka untuk membeli produk-produk – mulai dari kosmetik
hingga ponsel yang ditampilkan dalam drama TV, atau yang disajikan oleh aktor atau
peyanyi favorit mereka. Selain itu, semakin banyak orang yang tertarik untuk makan
masakan Korea dan bepergian ke Korea Selatan, terutama mengunjungi lokasi-lokasi
pengambilan gambar drama TV atau film Korea terkenal. Yang luar biasa, beberapa
perkembangan itu kemudian menjadi norma, terutama bagi yang fanatik. (Huang,
2009).
Ketika ditayangkan pertama kali pada 2002, Winter
Sonata menyajikan sesuatu yang baru, yakni gambaran tentang keluarga Korea
modern dan percintaan. Sebelumnya, selama puluhan tahun, tayangan drama TV
Korea bergenre sejarah Korea kuno dan cerita-cerita tentang keluarga di
perkotaan.
Format ini memiliki sukses meraih pemirsa Korea, terutama pemirsa
dewasa dan ibu rumah tangga yang melihat pertunjukan ini sebagai cara bersantai
yang menyenangkan setelah seharian sibuk menjalankan tugas rumah tangga seperti
memasak, mengurus suami dan anak-anak.
Kesuksesan Winter Sonata mendorong drama Korea ini
ke panggung internasional. Pada tahun 2003, ditayangkan di Jepang dan menjadi
sensasi seketika. Acara ini lebih populer dari acara dari luar negeri apa pun.
Rating point-nya melebihi rating gabungan serial TV US blockbuster ER, Ally
McBeal, dan Friends. Sementara itu peluncuran pertama DVD-nya terjual habis
dalam empat jam.
Dari Jepang, kesuksesan Winter Sonata terus ke China dan Asia
Tenggara, kemudian ke belahan dunia lainnya termasuk Amerika Latin dan sebagian
Afrika. Serial drama TV ini menjadi lambang dari Hallyu dan kesuksesan film dan
program TV Korea ini mendorong banyak bintangnya menjadi semacam pemandu sorak
untuk industri pariwisata Korea.
Budaya Korea telah menjadi salah satu produk ekspor yang
menyebar ke negara-negara di seluruh Asia. Ini berarti budaya menghasilkan
pendapatan untuk negara. Pada 2005 saja, Korea memperoleh pendapatan total dari
ekspor "barang-barang budaya" dengan jumlah lebih dari US $ 1 miliar
atau dua kali lipat dibandingkan tahun 2002 yang hanya US $ 500.
Keberhasilan
Korean Wave memiliki dampak signifikan pada berbagai sektor di negaranya
seperti kenaikan di bidang pariwisata dan masakan, negara "citra dalam
persepsi negara-negara lain. Ini menghasilkan rasa ingin tahu yang kuat dalam
pikiran kita tentang bagaimana hal ini bisa terjadi.
Keberhasilan Korea Selatan dalam
memperluas budaya pop mereka ke negara-negara lain memiliki dampak positif yang signifikan dalam
meningkatkan PDB (Produk Domestik Bruto) pariwisata dan industri budaya (Dator
& Seo, 2004). Namun di balik keberhasilan ekspor budaya itu, beberapa
peristiwa yang menimpa para artis Korea kini juga banyak mendapat sorotan.
Tekanan
untuk menjadi sempurna begitu terasa di industri hiburan Korea. Operasi plastik
menjadi isu yang lumrah demi kesempurnaan fisik sang bintang. Atau juga masa
training selama bertahun-tahun dan belum tentu calon bintang tersebut bakal
debut jika tidak benar-benar berbakat, membuat mereka depresi yang berakhir
dengan bunuh diri. Banyak artis Korea yang tidak tahan dengan depresi yang
dialami, dan jalan pintas dengan melakukan bunuh diri.
Budaya dan masyarakat Korea
Selatan telah berubah secara signifikan dalam sepuluh tahun terakhir.
Homogenitas etnis negara telah digantikan oleh bentuk multikulturalisme sebagai
konsekuensi dari makin banyaknya pekerja dan eksekutif asing dan pasangan buruh
asing yang merasa Korea telah rumah mereka. Selain itu, semakin banyak
perempuan yang masuk ke sector tenaga kerja sehingga laju pertumbuhan
meninggalkan peran mereka sebagai ibu rumah tangga. Konsekuensinya, struktur
sosial tradisional runtuh cepat.
Namun demikian, etos kerja yang
disiplinkan pemerintah berdasarkan ajaran Konfusius masih melekat pada mereka. Konfusianisme
didasarkan pada keyakinan bahwa orang perlu bekerja untuk kebaikan kelompok dan
bangsa. Ini mengimplikasikan pandangan bahwa kebutuhan, ambisi, dan
kekhawatiran pribadi menjadi kurang penting. Filsafat ini sangat mempengaruhi
dan telah bekerja dengan baik dalam
bisnis di Korea.
Semangat kerja sebagai team dan
loyalitas pekerja sangat berperan dalam meningkatkan kinerja ekonomi negara
itu. Para pekerja Korea, umumnya bekerja beberapa jam lebih panjang dari negara
maju lainnya, bahkan ada kecenderungan terus meningkat.
Pada tahun 2007 –
berdasarkan laporan tahun 2008 Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan
Pembangunan (OECD), rata-rata pekerja Korea bekerja 2.261 jam per tahun atau
200 jam lebih tinggi dibandingkan tahun 1994. Ini jauh melampui sebagian besar
dari dua puluh dua negara maju yang tergabung dalam OECD. Rata-rata pekerja
Jepang misalnya, hanya sekitar 1.800 jam per tahun. Sementara pekerja di
Amerika Serikat berada jauh di bawah itu.
"Perbedaan utamanya terletak
pada falsafah kerja mereka. Mereka menghabiskan seluruh hidup mereka di kantor.
Mereka tidur di sana. Semuanya berhubungan dengan pekerjaan mereka," kata
Rahul Prabhakar, warga negara India yang telah bekerja untuk Samsung
Electronics sejak 2005. "Di Barat,
itu terjadi sampai batas tertentu, tapi masih ada pemisahan antara kerja dan
kehidupan pribadi. Di sini, ada tidak ada pemisahan." (Halaman 178).
Buku ini terbagi menjadi lima
bagian. Bagian pertama buku ini menyoroti tentang sejarah, karena bagaimana pun
sejarah ikut membentuk dan melanggengkan ekonomi Korea. Bagian kedua dari buku
ini berkaitan dengan masalah ekonomi dan perdagangan. Buku ini mencoba menggali
le dalam bencana ekonomi yang menimpa Korea pada 1997-98 dan mengeksplorasi
hubungan Korea Selatan dengan Jepang, Cina, dan Amerika Serikat.
Kemudian, di bagian buku ini
menyoroti perkembangan industri tertentu, seperti sektor otomotif, dan
perusahaan swasta, seperti LG dan Samsung. Bab-bab ini memusatkan perhatian
pada subjek jauh lebih kecil dalam rangka untuk mempelajari sesuatu yang lebih
besar agar dapat memberikan pemahaman tentang Korea secara keseluruhan.
Bagian empat dari buku ini
mengeksplorasi gaya hidup masyarakat Korea modern, termasuk obsesi dengan golf,
bagaimana rasanya bekerja di sebuah perusahaan Korea, dan bagaimana
Konfusianisme mendominasi lanskap budaya negara. Bab terakhir dari buku ini menjelaskan
tentang lompatan lebih lanjut yang harus dilakukan untuk mencapai Korea 3.0.
Pada tahap ini, pengembangan perekonomian Korea berada pada titik dengan
pijakan ekonomi yang sama dengan Amerika Serikat.
Thesis yang diajukan penulis
dalam menyongsong Korea 3.0 itu, tools kebijakan yang membuat Korea 2,0 sukses
tidak akan selalu bekerja untuk Korea 3.0. Perencanaan ekonomi terpusat
bukanlah jawaban untuk pertumbuhan di masa depan. Demikian pula system jaringan
dan komunikasi yang rigid seperti yang erlangsung selama ini, kecil kemungkinan
bekerja efektif. Terlalu general memang,
namun bagaimana pun buku ini bisa membuka wawasan pembaca dalam konteks
pembangunan nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar