Tak berselang lama setelah Unilever melakukan rejuvinasi
atas mereka shampoo Sunsilk, P&G melakukan hal yang sama untuk Pantene. Yang
unik, pola komunikasi yang ditempuh Sunsilk sebetulnya mirip dengan pakem
komunikasi Pantene yang fokus pada fungsionalitas produk. Ah, pertempuran
mereka memang tidak pernah usai. Bagaimana mereka mengolah consumer insight menjadi materi komunikasi?
Awal
Juni 2010 silam Sunsilk muncul dengan kejutan. Shampoo yang biasanya dikomunikasikan
dengan emotional touch itu tiba-tiba diiklankan dengan memunculkan
Thomas Taw, seorang hair expert yang memiliki salon di London.
Sang pakar menjelaskan tentang perbedaan karakter rambut rusak dengan yang
sehat. Bersama Thomas, digandeng juga 6 pakar rambut lainnya dari Los Angeles,
New York, Paris dan Tokyo.
Para
pakar rambut tersebut, seperti diungkapkan Christ Oey, Senior Brand Manager
Sunsilk, juga dilibatkan dalam formulasi baru Sunsilk Co-Creation di pusatnya
sana. “Jadi bukan sekadar endorsement biasa seperti produk lain. Mereka
benar-benar masuk, melihat produknya, testing sampai akhirnya ikut dalam
formulasi dan produksi,” ujar Christ.
Nah
guna menjelaskan keterlibatan para ahli rambut dalam formulasi produk baru
Sunsilk ini kepada publik, selain menggunakan advertising (above the line),
Unilever juga mengkomunikasikannya dalam packaging produk. Wajah mereka
ditempelkan di punggung kemasan yang baru, sementara tanda tangan diterakan di
tampak muka. Secara keseluruhan, desain kemasan baru itu sendiri juga mengalami
perubahan yang cukup signifikan. Foto wanita berambut indah yang dulu menjadi
ikon kemasan Sunsilk ditiadakan sehingga kesannya lebih simple.
“Dari
sisi packaging, kami ingin mempekenalkan bahwa Sunsilk sekarang jauh
lebih premium. Sementara dari sisi produk, kami juga ingin masyarakat tahu
bahwa Sunsilk sekarang jauh lebih bagus karena orang-orang yang bekerja di
belakangnya adalah para pakar,” Christ menjelaskan objektif rejuvinasi kali
ini.
Tentang
pergeseran pola komunikasi menjadi membawa expert ini secara umum
dijelaskan Aurellio Kaunang, Media Relation Assistant Manager
Unilever. Menurut dia, keputusan Unilever untuk menggandeng para ahli rambut
dalam produk ini merupakan follow up
dari consumer insight bahwa perempuan ternyata sangat percaya
terhadap kapabilitas para pakar. Semakin modern wanita, katanya, ternyata
semakin mereka mempertimbangkan faktor fungsional dan kecocokan ketika memilih
produk shampoo—dan makin sedikit dipengaruhi oleh pertimbangan emosional.
Maka,
menjadi sangat beralasan jika Sunsilk kemudian memutuskan untuk menggeser pola
komunikasi yang selama ini selalu bergaya emotional touch yang,
menurut Christ, ternyata membuat orang tidak tahu kelebihan fungsional produk.
“Kami pikir inilah saatnya. Kalau masih dengan cara lama, orang tidak akan tahu
bahwa Sunsilk baru ini jauh lebih bagus,” tegasnya seraya menjelaskan bahwa
rejuvinasi kali ini juga bertujuan untuk meraih segmen social economic
status (SES) yang lebih tinggi.
Guna
lebih meyakinkan target terhadap kelebihan fungsional produk, event launching
juga dirangkai dengan program sampling. Selain itu Unilever juga
menggaet Julie Estelle –yang dinilai memiliki international look-
sebagai brand ambassador Sunsilk terbaru.
Strategi
baru kampanye Sunsilk ini agaknya pun bukan sesuatu yang tiba-tiba dilakukan
oleh Unilever. Procter and Gamble (P&G) pada Februari tahun lalu mengklaim
telah menyalip pangsa pasar kompetitornya dan berhasil menjadi market leader.
Merespon P&G?
Pola
komunikasi dengan melibatkan kalangan expert untuk menguatkan sisi
fungsionalitas produk ini mau tidak mau segera mengingatkan pada gaya
komunikasi kompetitor besar Unilever, Procter & Gambler. P&G Indonesia,
sejak delapan tahun terakhir punya tim Beauty Expert yang kelihatannya memang
fokus pada tujuan jangka panjang.
Tim
tersebut terdiri dari 8 orang expert dari berbagai bidang yang, menurut
Bambang Sumaryanto, External Relation Director P&G
Indonesia, tidak dihubungkan dengan kategori produk. Untuk merek Pantene,
misalnya, nama besar hairstylish Alfons setia menempel dalam perawatan
brand tersebut. Sementara di event global, Sam McKnight, seorang hairstylist
yang memiliki reputasi di Hollywood, tak pernah segan mengikuti program
komunikasi maupun pengembangan produk Pantene.
Bambang
mengaku, keberadaan para expertise itu bukan sekadar untuk tujuan komersial–semacam
endorsement dalam iklan—melainkan juga dimanfaatkan untuk menggali consumer
insight, serta membaca tren masa depan. Sebaliknya, pihak P&G malah
konsisten menempatkan mereka dalam ruang yang elegan dalam kesenimanannya.
“Kami konsisten menyeponsori ide mereka dengan bebas dan tanpa titipan. Yang
mereka cari bukan uang. Jadi kami tidak masuk dalam teritori sensitif,” jelas
Bambang seraya menegaskan hubungan corporate dengan tim tersebut saat
ini sudah serupa ikatan kekeluargaan.
Ikatan
kekeluargaan dan trust, menurutnya, merupakan nilai timur yang tidak
dimiliki semua negara. Karena itu P&G Indonesia memanfaatkan kelebihan
tersebut untuk membina hubungan yang berkualitas dan bukan sekadar
transaksional dengan para anggota tim Beauty Expert. “Itulah PR competitiveness
kami yang tidak bisa dibeli dan tidak bisa ditiru dalam semalam,” ujarnya
yakin.
Bambang tidak bersedia
memberikan komentar atas reaksi komunikasi Sunsilk yang mirip dengan gaya
P&G. Menurutnya, di dalam dunia produk konsumer, peniruan sebuah konsep
selalu akan terjadi, karena itu pihaknya berprinsip tidak mau disetir oleh
reaksi kompetitor. “Memang kami tetap perlu tahu. Kami harus evaluasi diri juga
mengapa kita tidak antisipasi reaksi semacam itu karena setiap situasi harus
diantisipasi. Semacam main catur sajalah,” jelasnya. Dalam kondisi seperti ini,
lanjutnya, secara internal mereka harus merencanakan program ke depan secara
proaktif dan antisipatif dengan mempertimbangkan berbagai asumsi. Dengan
demikian strategi komunikasi selanjutnya tidak reaktif yang hanya mengesankan
kepanikan. “Itu gampang didiskusikan tapi sulit tanpa pengalaman dan pendalaman
konsep,” tambahnya lagi.
Begitupun, meski
samar–samar, aroma persaingan menuju pertempuran tercium kembali dengan reaksi
Pantene beberapa minggu setelah peluncuran Sunsilk co-Creation. Aroma seperti
ini sejatinya tidak terlalu asing bagi hidung para marketer. Seperti
pertempuran abadi, selama puluhan tahun merek shampoo keluaran Unilever selalu
berhadapan-hadapan dengan produk P&G. Anda tentu masih ingat kisah
pertempuran legendaris di gelanggang 2in1 antara Rejoice dengan Dimension yang
terjadi hampir 15 tahun silam. Konon kala itu, melalui aksi Intelligence
Pemasaran Unilever berhasil mendapatkan formulasi 2in1. Dan selanjutnya Unilever
mendahului peluncuran produk 2in1 dibandingkan P&G melalui merek shampoo
Dimension.
Reaksi
P&G atas peluncuran Sunsilk co-Creation terlihat pada bulan Oktober, atau
satu setengah bulan setelah launching produk musuh bebuyutannya. Mereka
mengawalinya dengan membombardir pasar dengan iklan teaser di hampir
seluruh harian nasional serta layar kaca selama 14 hari penuh. Visualisasi
iklan tersebut hanya berupa tanda tanya besar yang sama sekali tidak
menunjukkan identitas P&G. Tanda tanya tersebut mengingatkan logo tanda
seru dalam TVC/adprint Sunsilk. Maka tidak mengherankan jika beberapa juru
warta sempat terkecoh, mengira iklan tersebut merupakan rangkaian program
komunikasi milik Unilever.
Selama periode teaser
P&G juga membesut activation bertajuk ‘14 Days Hair Transformation’
dengan tetap menyembunyikan identitasnya. Aktivasi ini dilakukan serentak di
lima negara ASEAN (Indonesia, Thailand, Vietnam, Malaysia dan Singapore).
Di Indonesia, P&G meminjam tangan hairstylish
Alfons untuk membuka ‘salon dadakan’ di pusat perbelanjaan prestisius Grand
Indonesia. Salon itu menawarkan cuci rambut
gratis bagi pengunjung dengan produk shampoo yang sama sekali tidak
disebutkan mereknya. Selain berhasil memancing worth of mouth dari rasa penasaran pengunjung, menurut Junita
Kartikasari, External Relation Manager, melalui activation buta
merek tersebut P&G bisa menjaring pendapat target market
terhadap produk baru mereka tanpa pengaruh brand.
Sudah tentu di sini peran
Alfons sangat besar. Sebagai tuan rumah perhelatan, menurut Nita, hair
stylish itu berhasil menarik 645 pengunjung, melebihi target semula yang
dipatok 500 orang. Rata-rata setiap hari
pengunjung melebihi 50 orang dan beberapa beberapa di antaranya adalah selebriti ternama
seperti: Marissa Nasution, Aline Adita, Ardina Rasti, Sophie Navita, Olla
Ramlan, Sarah Sechan, dan Titi Sjuman. Sarah misalnya, bahkan mengabarkan
aktivitasnya kepada para follower-nya di twitter.
Dengan kekuatan nama dan networking-nya,
Alfons juga berhasil mengundang wartawan dalam konperensi pers dengan tetap
menyembunyikan nama P&G. Demi menjamin kerahasiaan proyek, PR Agency
yang digandeng pun bukan yang biasa dipakai P&G. Cukup mengagumkan, media
record proyek itu cukup besar, bahkan beberapa radio sempat
melaporkannya secara live. “Jadi secara kualitatif, konsep ini bekerja,” simpul
Bambang. Teaser itu kemudian dijawab dengan peluncuran produk rejuvinasi
New
Pantene Recharging Fluid Pro-V Formula dua minggu kemudian.
Konsep
teaser diakui Bambang merupakan metode usang dalam ilmu pemasaran. Namun
yang paling penting di sini, menurutnya, adalah bagaimana mereka me-manage
konsep itu dengan baik untuk penempatkan konsumen atau kelompok tertentu agar
bisa berperan sebagai influencer. Bagi
P&G, kata Bambang, inovasi bukan sekadar pada produk, namun juga cara
berkomunikasi yang unik dan komunikatif dengan biaya seminim mungkin. Strategi
itu, menurut keyakinannya, membuatnya tidak gampang ditiru kompetitor dan yang
lebih penting lagi memberikan nilai lebih bagi konsumen.
Bambang menjelaskan,
program komunikasi New Pantene menyasar
dua target sekaligus: existing customer sekaligus potential
customer. Existing customer jelas harus digenggam erat
karena peran merekalah yang membuat Pantene saat ini berada di posisi market
leader. Maka perlakuan untuk mereka bertujuan agar lapis konsumen ini
tetap merasakan kepuasan terhadap produk.
Berdasarkan hasil analisa,
lapis konsumen ini pun ada yang loyal, mereka setia meski apa pun yang terjadi
pada brand tersebut. Namun ada juga yang potensial pindah karena
secara alamiah manusia selalu berusaha mencari sesuatu yang lebih bagus. Nah
untuk konsumen ini inovasi produk mutlak diperlukan—untuk meyakinkan mereka
bahwa produk yang dia pakai sekarang adalah produk terbagus. Dengan demikian
ketika dia tergoda mencoba produk lain, dia akan segera membandingkannya dengan
Pantene.
Karakter konsumen loyal
ini pun, menurut Bambang, bermacam-macam. Yang paling ideal adalah konsumen
yang loyalitasnya tertumpah pada brand sehingga jika brand bersangkutan
meluncurkan produk (varian) baru, mereka tetap setia karena percaya pada image
dan kualitas merek. “Jadi kalaupun tidak cocok dengan satu varian, biasanya
mereka percaya kepada brand-nya,” tambahnya.
Dalam hal pengelolaan
loyalitas pelanggan ini, masih kata Bambang, fokus P&G terhadap existing
customer bukan hanya mencegah mereka pindah ke brand lain,
melainkan juga menjaga agar mereka tidak switch kepada merek milik
P&G sendiri. Dengan pengelolaan portofolio yang berbeda-beda—dan segmentasi
yang berbeda pula—perpindahan konsumen untuk sesama brand di dalam P&G pun
dianggap sebagai masalah. Untuk itu, selain mempertahankan emosional pelanggan,
fungsionalitas produk juga harus selalu dikomunikasikan agar tetap yakin mereka
tidak salah pilih.
Sementara untuk segmen potensial,
menurutnya, mau tak mau harus disentuh dengan komunikasi secara massif. Karena
iklan dianggap tidak cukup, komunikasi harus dilakukan secara terintegrasi pada
semua touch point dengan melibatkan endorser, influencer,
expert, sampai level editor (media). “Pada skala Pantene yang
sekarang sudah tahap market leader, kita harus lebih intense
mempertimbangkan berbagai hal. Saat review, kita selalu melihat touchpoint
apa yang belum disentuh,” jelasnya.
Menurutnya, hal ini
konsisten dengan konsep marketing 2.0 Philip Kotler bahwa sebuah brand ada
bukan untuk menguasai pasar, atau sekadar baik dan disukai konsumen. Namun
harus ada misi, bagaimana menyentuh hidup konsumennya sehingga mereka merasa
menjadi sesuatu yang berbeda dengan konsumsi tersebut. “Untuk Pantene kita
berusaha tunjukkan agar konsumen merasa berkilau sehingga suasana hati lebih
nyaman,” pungkasnya. (Nurur R Bintari, Majalah MIX edisi Oktober 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar