“Annyeonghaseyo!” Sapaan dalam bahasa Korea itu
meluncur fasih dari mulut Nurrani Yunita. Tak hanya sampai di situ, mahasiswi
IAIN Imam Bonjol ini pun menyambungnya dengan “Jae ireumeun yunita imnida. Na neun Indonesia saramiyeyo,
Bangapseumida!” kalimat itu maksudnya inti dari buku dari novel bersetting
Korea yang akan ditulisnya. “Ini kisah anak Indonesia yang merantau ke Korea
dan jatuh cinta dengan pemuda Korea,” demikian tutur Rani.
Rani, demikian nama panggilannya berbicara bahasa
Korea layaknya bahasa sehari-hari. Padahal dia itu asal Banten dan tak pernah
kursus bahasa Korea secara khusus. Dia cuma belajar lewat buku dan mempelajari
deialeknya lewat film Korea yang dia tonton. Sebagai cewek yang tergila-gila
pada segala sesuatu berbau Korea, Rani memiliki koleksi yang sangat beragam. Mulai dari kaset sampai
majalah bulanan Korea.
“Aku punya serial Winter Sonata keluaran tahun 2002
sampai Protect the Boos keluaran 2011 yang jumlah filmnya nggak kehitung lagi. Juga punya buku
pembelajaran bahasa Korea, buku filsafat tentang Korea, bahkan majalah bulanan
tentang Korea pun punya,” tutur cewek penyuka warna merah ini seperti dikutip
Harian Waspada (9/10/11).
Rani hanya salah satu penggila apa saja yang berbau
Korea. Di Padang, keeping DVD film=film Korea diburu banyak remaja sepantaran
Rani. “Ya, paling tidak dalam sehari saya dapat menjual lebih kurang 20 hingga
30 keping kaset drama Korea. Padahal sebelumnya jangankan segitu, ada yang laku
aja udah syukur,” ujar salah seorang pedagang keeping DVD di Jl Gedung Arca, Padang.
Di Makassar, banyak remaja yang meminati baju, kaos tangan, kaos kaki, syal,
dan aksesori lainnya yang bergaya Korea. Kaos kaki musim dingin contohnya. Kaos
kaki musim dingin kini banyak dijual meski Indonesia sebagai negara tropis
tidak memiliki musim dingin sebagaimana korea, jepang dan lainya. Mereka
membeli barang bukan karena fungsinya melainkan agar bisa tampil seperti idola
mereka. "Sekarang memang lagi tren hal-hal yang berbau Korea, makanya
mayoritas pernak-pernik kami impor dari korea," kata Raya, supervisor Pink di Mal Panakkukang
Makassar.
"Kaos kaki berbahan dasar woll ini sejak
sebulan lalu laris terjual. Karena disini tidak ada musim penghujan, pembeli
yang mayoritas ABG menggunakan kaos kaki ini pada musim penghujan seperti
sekarang," kata Raya lagi seperti
dikutip Harian Fajar (14/3/11). Sepasang kaos kaki musim dingin dibanderol Rp.
20.000,. Sedikit lebih mahal dari kaos kaki biasa yang dijual seharga
Rp.7500,-hingga Rp.10.000. Meski demikian, toh kaos kaki musim dingin tetap
laris di pasaran.
Cara berpakaian orang Korea pada dasarnya sama
seperti orang-orang di Asia seperti Thailand, Hongkong, Singapura dan
Indonesia. Namun, mereka lebih berani bereksplorasi, mirip gaya harajuku di
Jepang. Salah satu contoh, perempuan di Indonesia belum banyak yang menggunakan
stocking setinggi paha, di Korea justru sebaliknya. Bagi mereka stocking tipis,
setinggi paha, atau bahkan kaos kaki lucu merupakan item wajib dalam
berpakaian.
Untuk acara resmi, mereka juga memiliki gaya
tersendiri. Anak muda Korea selalu menggabungkan jas dengan kaus oblong atau
dalaman yang sekiranya terlihat serasi dengan jas yang digunakan. Untuk
keseharian, mereka biasanya mengenakan pakaian sesuai dengan musim. Uniknya,
meskipun menggunakan bawahan yang agak terbuka tapi hampir semua cewek Korea
memakai atasan yang tertutup dengan cardigan atau mini blazer.
Makin hari semakin banyak orang yang akrab dengan
ingar-bingar yang terjadi seputar drama Korea dan K-Pop. Sosok seperti Kim Hyun
Joong, Lee Min Ho, SNSD, Super Junior, Rain, dan lain-lain juga makin mudah
dikenali remaja. Apalagi Hyun Bin, yang pada Oktober berkunjung ke Indonesia
dalam kapasitasnya sebagai anggota militer Korea (dia tengah menjalani wajib
militer).
Keakraban ini dimanfaatkan baik oleh para promotor konser. Terhitung
ada 3-4 kali konser berbau Korea yang digelar di Indonesia, dan mendapat
sambutan menarik. Produser musik juga tak mau ketinggalan. Memanfaatkan demam
yang melanda, mereka membentuk grup musik yang sepintas meniru grup Korea. Baik
lagu maupun dandanannya.
Indonesia dan juga negara-negara lain, termasuk
Amerika Serikat dan Eropa terjangkit demam Korea. Di Inggris misalnya, Rhiannon
Brooksbank-Jones, seorang pelajar, nekat mengoperasi lidahnya demi bisa
melafalkan bahasa Korea dengan sempurna. Pada tahun 2003, Winter Sonata, serial
TV Korea yang diperani oleh Bae Yong Joon sebagai aktor utama, disiarkan
pertama kali disiarkan di Jepang.
Serial
drama ini menjadi hit dengan mendapatkan setidaknya 20% dari pemirsa prime time
di Jepang dan ditayangkan lagi di tahun 2004 dengan TVR 24%. Keping DVD serial
ini – saat diluncurkan --terjual habis dalam waktu empat jam (Yasumoto, 2006).
Demam panas Korea juga sangat berdampak pada remaja
China. Mereka berusaha untuk meniru gaya rambut dan gaya hidup Korea. Selain itu,
jumlah wisatawan China yang berkunjung ke Korea Selatan meningkat setelah drama
TV Korea ditayangkan di China. (Dae Jang Geum, 2005)
Serial drama TV Korea populer di Vietnam, terutama
di kalangan remaja. Tayangan itu sangat mempengaruhi cara hidup mereka. Mereka
mencoba meniru gaya Korea seperi yang dipertontonkan di serial TV tersebut
dengan membeli sepatu, topi, pakaian, gaya rambut dan kosmetik agar terlihat
seperti bintang favorit mereka.
Meningkatnya demam Korea membuat banyak gadis
bercita-cita menikah lelaki Korea. “Mereka juga banyak yang melakukan operasi
plastik agar memiliki kecantikan atau ketampanan artis Korea,” kata Direktur
sebuah klinik bedah estetika di Ho Chi Minh.
Banyak perusahaan kosmetik asing yang membangun
pabrik mereka di Vietnam untuk mendapatkan
keuntungan dari gelombang Korea ini. Bahkan layanan foto-foto dan stiker
gaya Korea juga diburu remaja Vietnam.
Beberapa bintang Korea yang menjadi presenter merek Korea untuk mempromosikan
produk mereka ke pelanggannya di Vietnam (Nguyen, 2005).
Yang menarik, Korean
Wave juga meluas ke Brunei. Dampak drama TV, musik dan gaya pakaian berdampak
signifikan pada remaja Brunei. Bahkan Universitas Brunei Darussalam sempat
menjadi tuan rumah Forum Korea untuk mempelajari tentang dampak budaya Korea.
(Noor, 2010)
Sejatinya, serbuan budaya Korea tersebut dimulai
sejak 1996. Pada tahun itu, untuk pertama kalinya operas sabun Korea diputar di
Taiwan. Namun, Korean Wave atau dalam bahasa Koreanya, Hallyu, menemukan jati
diriya setelah ekonomi dunia – dimana
Korea Selatan menjadi pemicunya – runtuh 1998.
Agar bisa bangkit dari
keterpurukan ekonominya, pemerintah Korea Selatan memutuskan merekoveri ekonomi
dengan meingkatkan ekspor budanyanya. Sejak itu dicanangkan program
"Korean Wave" atau "Hallyu" sebagai taktik memperluas
budaya melalui industri hiburan termasuk sinetron, film dan musik serta
menghilangkan image negatif akibat kamapnye yang dilancarkan Korea Utara. (The
Economist, 2010).
Pada 2011, ‘Gelombang panas’ Korea mulai terasa
setelah sebuah film komedi romantis berjudul My Sassy Girl beredar di pasar
internasional. Film ini yang diadaptasi dari novel karya Kim Ho-Sik ini menjadi film komedi romantis Korea terlaris
sepanjang masa. Di Korea sendiri film ini mengalahkan popularitas Lord of the
Ring dan Harry Potter yang diputar bersamaan. Hampir 5 juta tiket terjual di
Korea, dan film ini diputar selama10 minggu.
Tak hanya Korea, My Sassy Girl juga menjadi hit di
Asia, seperti Jepang, Cina, Taiwan, Hong Kong, dan Singapura. Film ini juga
dibeli hak ciptanya oleh sineas dari beberapa negara. Pada 2008 misalnya,
Hollywood membuat film tersebut dengan
dibintangi oleh Jesse Bradford dan Elisha Cuthbert.
India juga tak
ketinggalan membuat film ini berjudul Ugly Aur Pagli, disusul China yang membuat
sekuel My Sassy Girl 2, juga Jepang yang membuat serial dramanya, Ryokiteki na
Kanojo. Sejak saat itu, dunia mulai tak memandang sebelah mata kreativitas
insan perfilman Korea.
Fenomena budaya ini mengingatkan kembali kondisi
saat Indonesia dilanda demam film drama
Amerika Latin atau telenovela. Drama ini kemudian digantikan ole demam
film drama Asia Selatan atau yang kita kenal dengan budaya Bollywood.
Selanjutnya Bollywood digeser oleh film drama yang disebut trendi (atau drama
idola) dari Jepang.
Menjelang tahun 2000 silam, beberapa televisi menyiarkan
film seri Jepang yang diangkat dari manga (komik Jepang). Demam Jepang pun
melanda Indonesia. Fenomena itu kemudian sempat digantikan oleh demam film Lord
of the Ring. Film ini bukan cuma membuat
penggemarnya mengkoleksi pernak-pernik film tersebut, tapi juga sampai
mempelajari bahasa Elf (salah satu tokoh di film itu) dan membangun rumah
seperti rumah kaum hobbit.
Femonema diatas menunjukkan beberapa trend. Pertama,
perkembangan terbaru dari globalisasi budaya ini muncul dalam bentuk
konvergensi selera dalam konsumsi media di dalam wilayah geo-budaya. Fenomena
tersebut menggarisbawahi tesis bahwa budaya popular membantu memoles citra
bangsa dan dengan demikian memperkuat daya saing ekonomi di pasar global.
Implikasinya, nation brand seyogyanya dimasukkan ke dalam nation building.
Kedua, adanya negisoasi identitas dari audience-nya.
Disini identitas seseorang dibentuk melalui negosiasi ketika seseorang
memodifikasi atau menantang identifikasi dirinya atau orang lain. Ketiga, dua
fenomena yang menarik adalah dua kutub berseberangan antara pola penyebaran
budaya Jepang dan ekspansi budaya Korea di Asia Timur.
Dalam konteks ini,
Jepang-mania dianggap diprakarsai oleh konsumen setia di negara penerima (Nakano,
2002), sedangkan gelombang Korea difasilitasi oleh pemerintah Korea dalam
rangka untuk meningkatkan industri budaya (Ryoo, 2008). Sebab dibandingkan
dengan Jepang, Korea lebih gencar mempromosikan produk budaya Korea melalui
iklan di luar negeri.
Sebagai contoh, pemerintah menyelenggarakan tradeshow
Broadcast Worldwide tahunan di seluruh dunia sejak tahun 2001. Pemerintah juga
mensubsidi para produser TV Korea untuk membuat program dengan konten yang bisa
menumbuhkan pasar luar negeri (Shim, 2006).
Fenomena itu juga makin memperkokoh gagasan bahwa
konsumen menggunakan merek adalah untuk mengekspresikan identitas mereka. Atas
dasar itu, memreposisi merek dari berfokus pada atribut fungsional ke fokus
pada bagaimana mereka masuk ke gaya hidup konsumen menjadi makin penting.
Dengan memposisikan merek mereka sebagai alat untuk ekspresi diri, maka
terhindar dari persaingan berdarah-darah karena merek tidak bertarung
head-to-head dengan pesaing langsung mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar