Ketika Greenpeace melancarkan kampanye boikot
melalui situs jejaring video YouTube, Nestle mencoba mengintervensi dengan
meminta pengelola Toutube menghapus video tersebut. Hasilnya, Greenpeace malah
semakin kencang berkampenye.
Maret 2010, sebuah klip
video yang menunjukkan seorang pekerja kantor membuka sebuah permen coklat
KitKat dan menemukan jari orang utan diposting di situs web berbagi video,
YouTube. Kampanye yang memparodikan Kit Kat televisi komersial itu dimaksudkan
Greenpeace untuk mengkritisi Nestlé yang telah membeli minyak kelapa sawit -
bahan inti dalam banyak produk - yang dihasilkan dari pengalihan fungsi hutan
tropis – rumah orang utan -- di Indonesia.
Namun, sehari setelah
itu, video tersebut lenyap dari Youtube. Sebagai gantinya di url situs berbagi
video itu diganti dengan pesan, "adalah video ini tidak lagi tersedia
karena klaim hak cipta oleh Societe des Produits Nestlé SA"
Menurut Greenpeace,
penghapusan video tersebut dilakukan atas permintaan Nestlé, produsen KitKat.
Katanya, Nestle meminta YouTube untuk menghapus klip dengan alasan hak cipta. Langkah ini dinilai para aktivis
sebagai salah satu bentuk intervensi. “Klaim pelanggaran hak cipta adalah
"dalih untuk menghentikan kata yang sedang menyebar dan sebuah upaya untuk
membungkam kita." kata seorang juru bicara aktivis lingkungan.
Tapi Nestle Inggris,
salah satu dari beberapa divisi dari perusahaan yang memproduksi Kit Kats,
menyangkal hal ini. Dia mengatakan telah menghubungi YouTube melalui formulir
resmi hak cipta web dan menyatakan keluhan mereka. "Kami diberitahu
YouTube video tentang pelanggaran kampanye dari identitas visual merek Kit Kat
kami," kata seorang juru bicara Nestle CNN.
Namun, intervensi
Nestlé itu tidak menghentikan Greenpeace sehingga tidak membuat krisis mereda.
Pertama, Greenpeace memposting ulang klip tersebut ke situs Web video-sharing
Vimeo.com. Kedua, Greenpeace juga menggunakan Twitter untuk menyebarkan berita
tentang upaya penyensoran tersebut. Kampanye melalui Twitter tersebut dilakukan
Greenpeace setiap 15 menit dan mendapatkan respon yang luar biasa dari tweeps
lainnya.
Ketiga, Greenpeace juga
melancarkan kampanye melalui akun Facebook milik Nestle. Akibatnya, suara-suara
negatif berminculan di halaman akun facebook tersebut. Keempat, banyak pengguna
situs Web berbagi video itu mengunduh dan memposting kembali klip tersebut ke YouTube lagi atau ke
situs-situs Internet lainnya. Hasilnya, video hasil posting itu dilihat oleh
lebih dari 300.000 pemirsa,
Kelima, selain kampanye
melalui media social, Greenpeace juga mengadakan kampanye melalui ke kantor
Nestle di Jl. Simatupang Jakarta.
Akibatnya, kampanye itu mendapat liputan dari media konvensional
termasuk televisi sehingga memperparah keadaan.
Lain Nestle, lain pula
Unilever. Dua tahun sebelumnya, Unilever juga dikritik habis oleh Greenpeace.
Pada April 2008, Greenpeace merilis laporan berjudul “How
Unilever Palm Oil Suppliers Are Burning Up Borneo”. LSM internasional itu, selanjutnya meneruskan judul sensasional
tadi melalui sebuah visualisasi iklan cetak. Dalam waktu bersamaan, laporan
yang bersifat “teguran keras” itu berbuntut dengan aksi demo. Para aktivis
sekaligus masyarakat yang peduli menggelar aksi mereka di sejumlah kantor
maupun pabrik Unilever di Eropa.
Merasa belum cukup,
sebulan kemudian Greenpeace kembali menegur. Kali ini, pilihan jatuh pada
parodi iklan bertajuk “Dove Onslaughter”.
Dalam video berdurasi tak lebih dari
satu menit itu, dikisahkan tentang pembabatan hutan kelapa sawit di Pulau
Borneo, alias Kalimantan. Tak ketinggalan, Greenpeace menyinggung Dove sebagai
merek yang turut bertanggung jawab atas aksi pembabatan kelapa sawit. Lantaran,
merek keluaran Unilever itu merupakan salah satu pengguna terbesar kelapa
sawit. Di sana, diceritakan pula dampak pembabatan tersebut terhadap pemusnahan
populasi orang utan.
Tidak seperti biasanya,
hanya dalam tempo dua pekan, kampanye berupa parodi iklan tadi menggelinding
dengan hebat. Penyebabnya, Greenpeace
menyebarkan kampanyenya itu melalui YouTube—media berbasis internet yang bisa
diakses gratis oleh seluruh penduduk dunia. Jangan heran, jika media-media
di Eropa banyak mempublikasikan aksi Greepeace tersebut. Ironisnya, di
Indonesia dan Malaysia—yang notabene merupakan lokasi perkebunan sawit yang
disoal Greenpeace—kampanye yang terbilang dramatis itu kurang diekspos oleh media.
Sebagai perusahaan
consumer goods besar berkelas dunia, tentu Unilever tidak tinggal diam.
Dikisahkan Cassandra Graham, salah satu pembicara di acara PR
Society Annual PR & Communication Conference baru-baru ini, menyikapi
laporan Greenpeace itu, Unilever segera membentuk tim independent guna
menyelidiki sekaligus membuktikannya. “Hasil sekaligus kesimpulan tim
investigasi tersebut justru menguatkan pernyataan Greenpeace,” cerita
Cassandra, yang kini menjadi direktur komunikasi sebuah law firm besar.
Namun sebagai perusahaan
yang disinggung begitu keras oleh Greenpeace, Unilever tidak pernah alergi.
Selain membentuk tim independent,
Unilever juga begitu terbuka kepada tim Greenpeace guna duduk bersama
mendiskusikan persoalan tersebut.
Di penghujung tahun
lalu Greenpeace kembali bereaksi. Persis 10 Desember 2009, Greenpeace malah
menyebut secara terbuka pelaku langsung pembabatan liar di Borneo. Pada 10 Desember itu pula Greenpeace meluncurkan laporan "Kegiatan Pembabatan
Hutan Ilegal dan Greenwash RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil)”. Laporan
itu membeberkan bagaimana perusahaan milik sebuah kelompok usaha di Tanah Air
terlibat dalam pembabatan hutan alam besar-besaran di Indonesia, termasuk,
perusakan lahan gambut. Tak tanggung-tanggung, aktivis Greenpeace juga menggelar
aksi di depan kantor kementerian kehutanan. Mereka meminta Menteri Kehutanan
Republik Indonesia Zulkifli Hasan untuk
segera menghentikan izin perusahaan tersebut.
Tidak seperti pada 2008, aksi Greenpeace pada penutupan 2009 itu banyak
diekspos media di Tanah Air. Cukup dimaklumi. Lantaran, laporan
Greenpeace tersebut hadir di tengah Pertemuan Iklim Penting PBB di Coppenhagen.
Melalui laporan itu, Greenpeace merekomendasikan terbentuknya dana global untuk
menghentikan deforestasi di negara seperti Indonesia dan Brasil. Sementara
negara maju, harus menginvestasikan dana 45 miliar US$ per tahun untuk
perlindungan hutan.
Kerja keras Greenpeace tak
percuma. Selang sehari, 11 Desember 2009, Unilever langsung mengumumkan
penundaan kontrak dengan perusahaan supplier kelapa sawit dari Indonesia
tersebut. Nilai kontrak yang dibatalkan pun tak tanggung-tanggung, US$ 32,6
juta. Alias, setara dengan Rp 3,26 triliun! “Klaim ini (pernyataan
Greepeace—red) sangat serius untuk kami abaikan. Kami tak punya pilihan. Kami
harus menunda pembelian kelapa sawit kepada perusahaan itu untuk ke depannya,”
ungkap Chief Procurement Officer Unilever Marc Engel.
Berbarengan dengan
pemutusan kontrak itu, Unilever juga mengganti wajah website globalnya. Per 11
Desember 2009, begitu Anda memasuki www.unilever.com, Anda akan menjumpai judul mencolok, “Unilever
& Palm Oil”. Jika judul itu di-klik, maka seputar persoalan laporan
Greenpeace, alasan Unilever memutuskan
kontrak dengan Sinarmas, fakta tentang penggunaan minyak sawit oleh hampir
sebagian besar produk Unilever, hingga dukungan Unilever terhadap
keberlangsungan kelapa sawit dengan
menjadi salah satu anggota pendiri RSPO, diuraikan secara transaparan
dan gamblang.
Cassandra menilai, rangkaian
aksi Unilever dalam menjawab teguran keras Greenpeace tadi sudah tepat. Dalam
hal ini, Unilever sudah mampu membangun kepercayaan lewat tiga hal, yakni
transparansi (Transparency),
bertanggung jawab (Accountability),
dan berkelanjutan (Sustainability).
Artinya, Unilever transparan terhadap isu yang digelindingkan Greenpeace,
bertanggung jawab dengan langsung membentuk tim independent serta memutus
kontrak dengan Sinarmas, serta berkelanjutan dengan menjadi salah satu anggota
pendiri RSPO (organisasi yang peduli atas keberlanjutan kelapa sawit).
Dia menambahkan, “Doing business in a responsible manner.”
Dengan demikian, kepercayaan publik akan tercipta dengan sendirinya. Sejatinya,
reputasi serta profit perusahaan amat bergantung pada persepsi publik. Itu artinya, reputasi yang
baik akan sanggup mengembangkan finansial perusahaan. “Oleh karenanya, saat ini
perusahaan harus mampu memelihara hubungan baik (relationship) secara luas dengan stakeholder. Sudah saatnya
PR lebih proaktif dalam memantau sekaligus memelihara corporate behavior,” Cassandra menganjurkan. (Aruman dan Dwi
Wulandari, Majalah MIX-MarketingCommunication, edisi Februari 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar