Dalam pelatihan media yang untuk perusahaan besar di Surabaya,
dua pekan lalu, saya mendapat pertanyaan kritis dari seorang peserta. “Kita
sudah membangun hubungan baik dengan media. Beberapa press release yang kami buat
hampir semua dimuat media. Kalau kita undang, media juga hadir. Tapi kenapa pas
kita ada masalah (baca: krisis, penulis) media kok terkadang malah memusuhi
kita.”
Yang dimaksud penanya tentunya media masss konvensional. Sebab
sampai saat ini meski media social berperan enting, namun kolaborasi dengan
media massa konvensional untuk membuat suatu isu berkembang menjadi krisis masih
memegang peran penting. Banayk kasus mengilustrasikan masih penting media massa
konvensional. Ambil contoh kasus Prita dan sebagainya.
Media massa, baik konvesional maupun baru (media social)
merupakan sumber utama informasi tentang risiko dan krisis bagi orang banyak. Karena itu, memperlakukan media sebagai musuh tidak hanya mengundang
pertempuran yang tidak dapat dimenangkan, tetapi juga bisa berdampak menghilangkan
saluran utama perusahaan yang mengalamai masalah dengan pemangku kepentingan,
yakni public.
Artinya, jika media masih memiliki kesempatan mengakses
informasi ke perusahaan, maka media tidak akan bergantung pada sumber informasi
lain yang mungkin saja kredibel, tetapi kurang mengetahui situasinya secara
mendalam. Media seringkali terpaksa menghubungi narasumber alternative untuk mengisi
kekosongan informasi. Kenapa? Karena sekali lagi saya katakan bahwa untuk
membuat suatu berita, media membutuhkan sumber. Nah, ketika sumber dari tangan
pertama – alam hal ini perusahaan – tertututup, mereka akan mencari sumber
informasi lainnya.
Dalam perspektif organisasi publik, media massa merupakan
salah satu pemangku kepentingan (stakeholder), selain publik dan sebagainya.
Dalam situasi darurat seperti bencana alam, kecelakaan, dan sebagainya,
termasuk pemasalahan yang dihadapi perusahaan atau merek, banyak kelompok
pemangku kepentingan yang mungkin memiliki pandangan dan kepentingan berbeda
yang bisa saja saling mempengaruhi.
Dalam konteks ini,
mensegmentasikan kelompok stakeholder dan harapan mereka terhadap komunikasi merupakan tantangan besar bagi
organisasi publik. Oleh karena itu, kriteria yang bisa menggambarkan posisi
suatu kelompok stakeholder dan peran mereka dalam komunikasi menjadi sangat
penting. Secara umum, stakeholder dapat berupa suatu kelompok (atau organisasi)
atau perorangan yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi guna mencapai tujuan
organisasi (Freeman, 1984).
Implikasi dari teori ini adalah asumsi bahwa sejatinya, dalam
situasi krisis, sejatinya komunikasi yang dibangun perusahaan termasuk dengan
media selama krisis bisa membantu perusahaan keluar dari krisis.
Peran stakeholder dalam dalam komunikasi krisis organisasi
dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, menurut teori ketergantungan sumber daya.
Disini stakeholder dapat dipandang sebagai penjaga sumber daya (Pfeffer &
Salancink, 1978). Kedua, teori bahwa krisis dapat menghancurkan reputasi
organisasi (Coombs, 2006, 2007). Mengikuti premis ini, maka sejatinya komunikasi
perusahaan bisa memperkuat relationship guna memperkuat sumber daya dan mempertahankan
citra positif perusahaan.
Bagi perusahaan, tujuan komunikasi krisis adalah untuk
membantu memulihkan atau meminimalkan kerusakan citra dan harta benda, mencegah
kepanikan dengan memberikan informasi yang berkaitan dengan situasi krisis,
memfasilitasi pembuatan keputusan dan memperkuat efficacy diri dari setiap
stakeholder.
Ilustrasi yang bisa menjelaskan masalah ini adalah kasus yang
menimpa Indo Mie tahun lalu atau Lumpur Lapindo. Dalam kasus Indo Mie ketika
ditolak di Taiwan, sebagian public memang mencela Indo Mie, namun demikian
pembelaan public terhadap Indo Mie juga tidak kalah gencarnya. Sementara itu
dalam kasus lumpur Lapindo, sebagian ilmuwan juga terbelah tentang asal muasal
munculnya sumur lumpur. Ada yang mengatakan karena gempa bumi, ada pula yang
mengatakan karena kesalahan pengeboran.
Dalam kasus Indo Mie, efektivitas relationship yang dibangun produk
Indo Mie benar-benar terbukti. Saat mencuatnya isu tersebut, pesan self-efficacy
yang menjelaskan sesuatu yang dapat dilakukan untuk melindungi diri sendiri dan
orang (dalam hal ini Indo Mie), misalnya dengan mengatakan “Hentikan polemik
tentang IndoMie” banyak bermunculan. Pesan ini memberikan gambaran tentang
loyalitas konsumennya membantu untuk mengurangi kurangnya kontrol terhadap
peredaran produknya yang dilakukan IndoMie sehingga dapat membantu mengurangi
kerusakan.
Jadi – dalam konteks media -- pada situasi yang buruk, media
bisa menjadi sekutu terbesar atau musuh terburuk. Pengalaman menunjukkan bahwa
membentuk hubungan jangka-panjang sebelum peristiwa negatif muncul sangat
membantu dalam mencegah atau menghmabt suatu isu menjadi krisis.
Beberapa studi
menunjukkan bahwa seringkali suatu relationship yang baik tidak mengarah pada
perubahan perilaku segera. Seperti yang dikemukakan oleh penanya tadi, pada
dasarnya hubungan yang dibangun sepert yang diceritakan oleh penanya tadi masih
bersifat jangka-pendek. Ketika landskap komunikasi masih satu arah, mungkin saja
model relationship tersebut masih efektif.
Namun, dengan
berkembangkan media social yang memungkinkan terjadinya komunikasi dua arah,
short-term (ST) relationship nyaris kehilangan efektivitasnya. Dalam short-term relationship yang selama ini
yang dilakukan praktisi media relation hanya memberi input, antara lain berupa
informasi satu arah dari perusahaan ke media tanpa terjadi interaksi atau komunikasi
dua arah. Hal ini setidaknya tercermin dari laporan evaluasi yang sebagian
besar hanya berisi laporan pelaksanaan program kampanye public relations.
Komunikasi dua arah
ada bila misalnya media memiliki peluang atau kemudahan mengakses sumber
infomasi kembali manakala ada persoalan baik yang berkaitan dengan input yang
diberikan perusahaan kepada media atau persoalan atau isu lain yang mungkin
muncul dan diketahui media.
Ilustrasi lain adalah
ketika pada 10 Desember 2011 lalu, ketika penumpang di Bandara Adi Sumarno,
Solo, marah karena keberangkatan pesawat Garuda yang tertunda lebih dari enam
jam. Melalui Twitter, para penumpang itu berkomunikasi dengan teman-temannya
menginformasikan penundaan itu sambil sesekali menyalahkan Garuda. Penumpang
yang kecewa juga menginformasikan kejadian itu kepada media massa. Bahkan ada
rekan media yang menjanjikan menjadi suatu peliputan berita. Namun, sampai
menjelang berakhir, tak satu pun media yang memberitakan hal itu, kecuali
detik.com.
Tidak sekali ini
Garuda “ditolong” media massa. Ketika terjadi pemogokan pilot tahun lalu,
pemberitaan negatif tentang Garuda nyaris tak kencang. Kalau pun ada
pemberitaan dari sisi pilot yang mogok, media berusaha untuk imbang. Bahkan tak
sedikit media yang memberitakan tentang hal positif Garuda ketika terjadi
pemogokan tersebut.
Sekadar informasi,
tahun lalu, Majalah MIX memberikan penghargaan kepada Pudjobroto, VP Corporate Secretary PT Garuda
Indonesia, sebagai salah satu PR
People of the Year 2010, pilihan jurnalis. Mereka dinilai positif karena mudah
dihubungi, kooperatif dan komunikatif menjelaskan data dan informasi yang
dibutuhkan para jurnalis. Mereka menyadari kedudukan jurnalis dalam konstelasi
kepentingan komunikasi perusahaan. Sebagai representasi perusahaan atau
institusi, mereka tahu betul, kapan harus memberikan penjelasan panjang lebar,
kapan harus memberikan penjelasan secukupnya kepada para jurnalis--untuk
disampaikan kepada khalayak yang lebih luas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar