Pada awalnya, marketing
ditujukan untuk merekrut calon mahasiswa sebayak-banyaknya. Orientasi itu kini
berubah, marketing diorientasikan untuk membangun hubungan dan memberdayakan
target market.
Dibandingkan dengan sector lainnya, marketing pendidikan
tinggi relative masih awal. Coba Anda search melalui mesin pencari Google,
berapa banyak literature tentang yang memberi bobot lebih pada marketing di
bidang pendidikan tinggi. Seperti yang dikatakan Gray (1991) dan McMurty (1991)
karakteristik target market pemasaran pendidikan tinggi untuk masih-masing
perguruan tinggi yang begitu unik, membuat para pengelola perguruan tinggi
mengembangkan strategi marketing sendiri sesuai dengan konteks lingkungannya
ketimbang mengadopsi strategi dari luar.
Meski diakui bahwa ada kebutuhan dari target market yang
universal. Penelitian-penelitian tentang motivasi seseorang memilih perguruan
tinggi hampir selalu diorientasikan pada keinginan untuk meningkatkan kualitas
hidup. Kualitas hidup disini bisa dilihat dari perspektif kualitas finansial
maupun emosional. Penelitian yang dilakukan Dr. Sharyn Rundle-Thiele dan Nuray
Buyucek dari Griffith University menunjukkan, lebih dari 60% memilih mengambil
gelar master of marketing karena karir. Implikasinya, perguruan tinggi yang
dipilih harus mendukung karir karir tersebut.
Pada
realitanya, beberapa basis kajian pemasaran untuk perguruan tinggi mulai
berkembang. Pada tahun 1995 misalnya, Foskett
mengeksplorasi strategi pemasaran sekolah menengah. Penelitian itu menyimpulkan
bahwa sebagian besar praktek pemasaran sekolah-sekolah di Inggris diklaim
Foskett sebagai belum lengkap, terbelakang dan dibangun dengan strategi yang
kurang fokus.
Menjelang
akhir 1990-an, perdebatan pemasaran pendidikan bergeser
ke isu-isu pilihan dan rekrutmen siswa. Dalam konteks itu, Helmsley-Brown
(1999) kemudian melakukan studi untuk melihat motif memilih kuliah.
Kesimpulannya, meski awalnya siswa memilih “kecenderungan” dan bekerja dalam
bingkai referensi sosial dan budaya, pilihan remaja juga bergantung pada
informasi yang diberikan perguruan tinggi untuk membenarkan pilihan mereka dan
mengumumkan keputusan mereka kepada orang lain. Karena itulah, strategi yang
diterapkan saat itu lebih memfokuskan pada komunikasi yang ditujukan untuk
menarik siswa masuk ke masing-masing institusi.
Pada
tahun 2003, Maringe melakukan penelitian tentang pemasaran
lembaga pendidikan tinggi di negara berkembang, menyimpulkan bahwa ide
pemasaran masih disalahpahami. Bahkan karena besar kecilnya mahasiswa yang
masuk menentukan hidup matinya perguruan tinggi, para pengelola perguruan
tinggi, bahkan sampai ke level administrasi tertinggi, melihat pentingnya
pemasaran sebagai titik sentral dari semua aspek fungsi perguruan tinggi. Hal
ini yang membuat Gibbs (2002; 2007) gelisah sehingga mempertanyakan apakah
pemasaran tidak justru yang menyebabkan runtuhnya kredibilitas suatu perguruan
tinggi.
Atas dasar itu, ada pemikiran bahwa konsep pemasaran
perguruan tinggi hendaknya memberikan sesuatu yang berarti. Untuk itu, seperti
yang diajukan Felix Maringe dan Paul Gibbs dalam buku Marketing Higher Education: Theory and Practice menyatakan bahwa
aplikasi pemasaran dalam konteks perguruan tinggi hendaknya dibangun atas dasar
tiga asumsi.
Pertama, pendidikan merupakan salah satu unsur penting dalam pembangunan masyarakat. Karena
itu, kegagalan dalam memberikan nilai kepada masyarakat berarti mengingkari
hak masyarakat untuk menentukan nasib
sendiri dan berkonstribusi dalam pembangunan. Implikasinya, karena pemasaran merupakan salah satu cara yang dapat
memberikan dan menukarkan nilai, maka pendidikan perlu mengadopsi filosofi
pemasaran sebagai bagian integral dari pembangunan dan cara mendeliver
nilai tersebut.
Kedua, pendidikan tidak boleh dikomoditasikan. Pendidikan
tidak seyogyanya dilihat
sebagai bagian dari furnitur di toko dengan informasi harga di atasnya.
Pendidikan merupakan sebuah proses dan hasil
interaksi antara peserta didik, materi pembelajaran, instruktur atau
fasilitator pembelajaran, serta berbagai sumber
daya yang digunakan untuk membantu proses pembelajaran. Karena hal
tersebut sangat penting, nilai-nilai pendidikan
akan lebih efektif bila disampaikan melalui metode yang menggunakan perspektif
pemasaran.
Ketiga, pemasaran merupakan sebuah konsep yang tidak sekadar
berupa iklan
dan promosi. Pemasaran harus dilihat dalam konteks pertukaran dan pengiriman
nilai antara yang memberikan jasa pendidikan dan
mereka yang berusaha untuk manfaat jasa tersebut. Dengan demikian, pemasaran
bukan sekadar dilihat sebagai alat untuk mencapai tujuan tetapi sebagai proses
membangun hubungan berdasarkan kepercayaan dan bertujuan memberdayakan klien
atau pelanggan pendidikan tinggi.
Sosial
media kini telah mengubah baik cara organisasi dan merek, termasuk perguruan
tinggi berinteraksi dengan customer
mereka. Media sosial sekarang bisa dianggap sebagai media yang berpengaruh,
jika tidak lebih dari pada media konvensional. Implikasinya cukup besar bagi
merek. Pengaruhnya telah dirasakan seperti yang terlihat dalam kampanye “Real
Beauty” oleh Dove (Deighton, 2008), atau saat terjadi perdebatan antara
Greenpeace vs Kit Kat dari Nestle tentang kelapa sawit.
Saat ini, perguruan
tinggi mencoba memanfaatkan media social, mulai dari Twitter hingga Facebook
untuk mencapai pelanggan yang sudah ada, mendapat keuntungan baru dan membangun
atau mempertahankan kredibilitas dan reputasi. Namun demikian, apakah mereka
bergabung dengan media social atau tidak, mereka tetap “dirasani” public. Fenomena
ini, membuat para pengelola perguruan tinggi semakin menyadari pentingnya untuk
mengatakan dan memonitor apa yang dikatakan orang di media social, seberapa
sering perguruan tinggi tersebut dibicarakan orang, dibicarakan oleh media
tertentu, dan sebagainya.
Grafik di bawah ini mempertunjukkan pembicaraan yang dilakukan public melalui Twitter selama dua pekan teralhir (8-19 Januari 2012). Yang tertinggi adalah tweet tentang Universitas Trisakti, diikuti Universitas Bina Nusantara, dan STIKOM LSPR. Saya sengaja memperbandingkan tiga perguruan tinggi, Universitas Bina Nusantara (Binus), STIKOM LSPR dan Universitas Trisakti karena tahun lalu program studi komunikasi tiga perguruan tinggi tersebut masuk kategori terbaik menurut survey yang dilakukan Majalah MIX.
Pembicaraan tertinggi tentang Trisakti yang terjadi pada 11 Januari 2012 sejatinya bukan tentang Universitas Trisakti secara langsung melainkan berita tentang seorang mahasiswi Universitas Trisakti menjadi korban angin kencang yang menyebabkan banyak pohon tumbang di Jakarta pada Kamis (5/1). Berita itu berisi laporan kondisi mahasiswi tersebut yang masih koma. Berita ini ditweet dan retweet sebanyak 393 dan di-mention 970 kali.
Pembicaraan tertinggi tentang Trisakti yang terjadi pada 11 Januari 2012 sejatinya bukan tentang Universitas Trisakti secara langsung melainkan berita tentang seorang mahasiswi Universitas Trisakti menjadi korban angin kencang yang menyebabkan banyak pohon tumbang di Jakarta pada Kamis (5/1). Berita itu berisi laporan kondisi mahasiswi tersebut yang masih koma. Berita ini ditweet dan retweet sebanyak 393 dan di-mention 970 kali.
Untuk
pembicaraan tentang Universitas Binus juga bukan soal Universitas Binus secara langsung, melainkan berita tentang sidang lanjutan empat terdakwa pemerkosa
dan pembunuh mahasiswi Bina Nusantara (Binus), Livia Pavita Soelistio yang
digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Sidang dijaga ketat polisi guna
menghindari amukan dari keluarga Livia, Selasa (10/1/2012). Berita ini ditweet
dan diretweet sebanyak 129 kali dan di-mention sebanyak 816 kali.
Sementara
itu tentang LSPR, pembicaraannya relevan dengan pendidikan. Tweet ini sengaja dilemparkan oleh LSPR bukan oleh sittus
berita. Pembicaraannya adalah tentang pembukaan konsentrasi baru di STIKOM LSPR,
yakni konsentrasi "International
Relations. Tweep ini diretweet sebanyak 43 kali dan di-mention sebanyak 175
kali.
Pembicaraan melalui media sosial adalah sesuatu yang berharga. Seperti halnya sebuah investasi, apabila pembicaraan itu dikelola dengan baik maka hal itu akan memberikan keuntungan bagi pengelola merek atau perguruan tinggi. Pengelola merek akan memiliki aset yang bisa meningkatkan nilai merek. Karena itu, mengabaikan pembicaraan di media sosial merupakan tindakan yang tidak bijaksana karena hal itu juga And amengabaikan peluang di depan Anda yang bisa menggantikan investasi miliaran rupiah di prmo above the line lainnya.
Pembicaraan melalui media sosial adalah sesuatu yang berharga. Seperti halnya sebuah investasi, apabila pembicaraan itu dikelola dengan baik maka hal itu akan memberikan keuntungan bagi pengelola merek atau perguruan tinggi. Pengelola merek akan memiliki aset yang bisa meningkatkan nilai merek. Karena itu, mengabaikan pembicaraan di media sosial merupakan tindakan yang tidak bijaksana karena hal itu juga And amengabaikan peluang di depan Anda yang bisa menggantikan investasi miliaran rupiah di prmo above the line lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar