Pada 2 Januari 2012
lalu, publick bisa melihat perubahan nama akun pseudonim populer @soalCINTA menjadi
@DennyJA_CINTA. Ada kabar – seperti ditulis Pitra Satvika (@pitra), 5 Januari
lalu, akun tersebut dibeli oleh Denny JA -- Direktur Eksekutif Lingkaran Survei
Indonesia (LSI), sebuah lembaga penelitian dan konsultan politik pertama
berskala nasional yang berada di Indonesia. Sebelum membeli @soalCINTA mempunyai
akun@DennyJA_Pantun. Ketika dibeli, akun @soalCINTA memiliki lebih dari 1 juta
follower. Ini menjadikan salah satu akun pseudonim paling populer dan langganan
bagi para brand untuk berpromosi.
Orang mungkin menganggap
aneh akuisisi yang dilakukan oleh Denny. Ini karena karakteristik follower akun ini kebanyakan
para ABG yang kemungkinan besar tak terlalu peduli dengan isu-isu politik.
Tetapi, Denny mungkin alasan lain. Misalnya, bahwa melalui akunnya itu ABG yang
merupakan pemilih terbesar saat ini dan potensi sebagai pemilih di masa
mendatang bisa diedukasi sehingga sikap politiknya berubah.
Dalam beberapa bulan
terakhir, jual beli akun atau foloower memang marak. Lihat saja di kaskus (http://www.kaskus.us/showthread.php?t=11500514),
Anda menemukan tawaran follower atau akun twitter berfollower ratusan, bahkan
ribuan dengan harga yang tidak mahal. Ini berbeda dengan yang dilakukan artis
atau tokoh global yang memasang tariff tertentu untuk memberikan jasa mentweet
pesan-pesan promosi perusahaan, merek atau Anda.
Ini sebenarnya bukan
hal yang aneh. Sebab para penggemar media baru mengatakan Twitter, Facebook,
MySpace dan situs jejaring sosial telah mengubah dunia. Mereka menunjuk kampanye
presiden Barack Obama pada 2008, demonstrasi di Iran (2009) dan "Revolusi
Twitter" Moldova di Eropa Timur pada
tahun 2009, Revolusi Mesia (2011) dan kawasan lainnya sebagai bukti bahwa semua tweets dan update
status berhasil membuat perubahan.
Karena keberhasilan
itu, orang pun ingin percaya dan ingin menjajal kekuatan online. Sebagian
terbukti, sebagian lain tidak. Sebab nyatanya, tidak semua rewet atau status –
meski disampaikan oleh orang terkenal sekalipun -- tidak mampu mengubah perilaku seseorang.
Hanya dengan cara tertentu perubahan bisa terjadi.
Pada November 2010, Nicholas
A. Christakis dan James H. Fowler yang menulis untuk CNN, memberikan ilustrasi
kasus aktris Alyssa Milano untuk menjelaskan fenomena tersebut. Menurut mereka,
Milano sering melakukan tweet, dan tweeter mencintai Milano. Menurut catatan
Twitter, dia memiliki 1,94 juta pengikut yang setiap saat dapat belajar
bagaimana dia makan, ketika dia tidur dan apa yang dibaca melalui 19,85 ribu
tweetsnya. Pada tanggal 15 September, tanpa sepengetahuan Christakis dan Fowler,
Milano mentweeted buku mereka yang berjudul "Connected." Dalam
tweet-nya itu Milano juga memasukkan link langsung ke halaman Amazon.com
sebagai saluran bila orang ingin membeli buku tersebut.
Apakah serta merta penjualannya buku itu meroket? Ternyata
tidak. Pembeli buku memang ada, tetapi penjualan buku itu justru berada di
tingkat terendah pada periode 24 jam setelah Milano mentweet-nya. Taka da
penjualan ekstra karena tingginya permintaan. Itu tak mengherankan. Karena,
jaringan online mungkin bagus untuk penyampaian pesan atau informasi, tetapi
saluran ini sulit untuk mengubah perilaku.
Christakis dan Fowler lalu memberikan ilustrasi lain.
Meskipun penelitian Christakis dan Fowler menunjukkan bahwa obesitas,
kebahagiaan dan bahkan perceraian dapat menyebar dalam jejaringa teman dekat,
namun sedikit bukti yang memberikan gambaran bahwa perilaku menyebarkan itu
dilakukan secara online oleh mereka yang hubungan merenggang.
Pada 30 September, Christakis dan Fowler membawa pengalaman
tweet Milano tersebut dalam suatu konferensi yang diadakan di Washington yang
diadakan the American Legacy Foundation. Konferensi itu membahas penggunaan
jaringan online untuk mendorong orang berhenti merokok. Ada potensi besar dalam
jaringan online karena banyak perokok yang terhubung dan satu sama lain saling
memberikan motivasi.
Tetapi, menurut
Christakis dan Fowler, sangat sulit untuk mengubah perokok untuk berhenti
merokok. Mereka lalu memaparkan pengalamannya dengan Milano yang ternyata tak
mampu mengubah menubah perilaku orang tersebut.
Salah satu peserta -- Susannah Fox dari the Pew Research
Center's Internet and American Life Project --
berkomentar bahwa yang ada seseuatu yang tak benar yang telah lakukan.
Fox berpendapat bahwa jika orang lain -- seseorang yang benar-benar berpengaruh
-- seperti Tim O'Reilly mengirimkan
tweet, mungkin bisa memberikan hasi yang berbeda.
Christakis dan Fowler lalu menghubungi O'Reilly dan
O’Reilley bersedia melakukan percobaan kecil-kecilan. Pada 1 Oktober, O’Reilly
mengirimkan sebuah tweet positif tentang "Connected" dan juga
menyertakan link ke Amazon.com ke 1,5 juta follower-nya. Kali ini, penjualan
buku Connected naik sedikit. Buku itu terjual dengan satu atau dua penjualan
esktra. Mengingat jumlah pengikut yang dia miliki, hasil yang dicapai dengan
tweet O’Reilly masih lebih baik dari hasil tweet-nya Milano. Itu berarti
O’Reilly mengalahkan sang aktris meski tak besar perbedaannya.
Jadi, apakah perlu
kita meminta bantuan seorang tokoh yag memiliki banyak follower di Twitter
untuk mempromosikan produk, merek, atau pribadi kita? Christakis dan Fowler
tak berhenti melakukan penelitiannya. Dia lalu meminta bantuan Fox yang saat
itu hanya memiliki 4,345 followers untuk mentweet tentang Connceted. Hasilnya, terjadi ekstra penjualan sebanyak
tiga buku.
Dari ilustrasi
diatas, dapat diperoleh gambaran bahwa sebuah
kelompok – jumlah follower -- yang lebih kecil ternyata -- mungkin -- lebih influenceable dari
pada individu maupun kolektif yang memiliki jutaan orang follower di Twitter. Beberapa studi yang dilakukan dalam beberapa
tahun terakhir memperlihatkan beberapa pemikiran ulang tentang pengaruh dalam komunikasi
melalui online. Pertama, besaran pengaruh tidak hanya dipengaruhi oleh jumlah
orang yang terhubung dengannya, melainkan juga sifat dan kualitas dari hubungan
tersebut.
Malcolm Gladwell,
penulis beberapa buku tentang jejaring seperti the Tipping Point, baru-baru ini mengatakan bahwa seyogyanya kita
tidak terlalu berharap bahwa jejaring sosial online dapat digunakan untuk perubahan
skala besar . Alasannya, ikatan hubungan yang terjalin secara online biasanya lemah,
ikatannya tidak kuat seperti untuk keluarga kita, tetangga dekat dan
teman-teman dalam dunia nyata.
Tapi perspektif ini berhadapan
dengan relatitas yang tidak bisa dipungkiri bahwa meski tidak terlalu kuat,
namun jumlah orang atau kelompok yang tergabung dalam jaringan sosial secara
online ini sangat besar. Dalam kondisi seperti itu, seringkali, kelemahan kecil
bisa ditutupi oleh sesuatunyang besar. Dalam
kasus revolusi Mesir misalnya, isu perubahan merupakan sesuatu yang sangat
penting. Puluhan tahun bangsa Mesir terbelenggu oleh suatu pemerintahan yang
tiran. Saat itu bangsa Mesir sudah muak dengan pemerintahan yang ada. Mereka
ingin berubah. Karena itu, tweet yang dilemparkan – bahkan oleh orang yang tak
dikenalpun – bisa mempengaruhi perilaku orang. Disini ada persamaan ide dan
tujuan antara penyampai pesan dan penerima pesan untuk melakukan sesuatu.
Mereka bekerjasama untuk saling memberitahu, memberi dukungan untuk mencapai
tujuan dan kepentingan bersama.
Disinilah pentingnya
pemasar atau siapa saja yang memanfaatkan seseorang atau kelompok di Twitter
atau jejaring media sosial. Christakis dan Fowler memberikan ilustrasi, pada
tahun 2008, seorang insinyur 33 tahun Kolombia mampu memobilisasi 4,8 juta
orang untuk menghadiri rapat umum di seluruh dunia guna memprotes penyanderaan oleh
kelompok-kelompok revolusioner di negaranya. Insinyur itu memulai dari kelompok
kecil. Mulai dari dirinya sendiri, yang diikuti oleh lima orang teman dekatnya.
Kemudian merambah ke orang-orang lain
yang memiliki hubungan pribadi dengan para sandera, orang-orang lain yang
pernah senasib, orang-orang yang merasa empati, dan seterusnya ke jutaan orang
lain yang concerned dengan masalah penyanderaan dan pembelaan hak-hak asasi
manusia dan anti kekerasan. Mereka digerakkkan oleh tujuan yang sama, yakni
pembebesan sandera.
Pelajaran kedua yang
diperoleh dari febomena ini adalah bahwa untuk membuat menciptakan pengaruh,
yang diperlukan bukan hanya ketikohannya, tapi juga pengaruhnya atau kemampuan
dari sang tokoh untuk menjadi "influenceables." O'Reilly dan
Milano sangat persuasive. Mereka terhubung dengan jutaan orang followernya.
Tapi pada akhirnya, Fox yang hanya memiliki ribuan follower yang berhasil
mememenangkan penjualan. Ini berarti, untuk membuat sebuah perubahan, yang
diperlukan bukan sekadar dombanya, tapi juga penggembalanya.
Akhirnya, yang paling
penting bagi upaya untuk memanfaatkan kekuatan internet untuk mengubah perilaku
masyarakat adalah, pengelola harus belajar mengolah interaksi online sehingga
yang terinteraksi merasa seakan-akan dia berada di dunia nyata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar