Anda pernah lihat iklan Maicih? Jangan harap. Hanya dengan berkampanye lewat social media twitter,
Maicih, merek keripik pedas asal Bandung, berhasil menaklukkan hati para
Icihers. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang ingin naik kelas menjadi
“Jendral” Maicih. Efeknya, baru satu setengah tahun, omzet Maicih menembus Rp 7
miliar per bulan. Bagaimana cara Republik Maicih membuat kalangan
anak muda urban di Tanah Air bisa “tericih-icih”?
Siapa sih yang gak kenal kenal dengan Maicih? Itu loh,
keripik pedas asal Bandung yang sekarang sedang happening dan tengah
“digilai-gilai” kaum muda. “Gak gaul kalau belum tahu dan nyoba Maicih sampai
tericih-icih (tergila-gila—red),” demikian diungkapkan para icihers, sebutan
untuk para penggemar keripik Maicih. Ruar biasa memang. Dalam seminggu terakhir misalnya, tak kurang 3800 percakapan di Twitter membicarakan Maicih.
Ya, salah satu yang membuat unik dari Maicih adalah
sebutan atau istilah yang dilemparkan manajemen Maicih ketika berkomunikasi
dengan para calon konsumen dan pelanggannya melalui Twitter. Ada “Emak” (nenek) untuk pembuat keripik Maicih dan “Cucu” untuk konsumennya. Kemudian, ada “Jendral” untuk reseller-nya, “Icihers” sebutan gaul
penggemar Maicih,
“Republik Maicih” untuk manajemen, hingga istilah “tericih-icih” untuk menggambarkan ketagihan akan pedasnya Maicih.
Sejak diluncurkan akhir Juni 2010 lalu, keripik Maicih
memang menjadi salah satu hot isu dan fenomenal di kalangan anak muda urban,
terutama para peselancar dunia maya. Maklum saja, cara memasarkan keripik
Maicih memang beda dengan keripik pedas lainnya—yang notabene sudah lebih dulu
beredar di Bandung. “Awalnya kami memasarkan tiga varian Maicih, keripik,
seblak, dan gurilem, lewat jaringan pertemanan dan kekeluargaan,”
cerita Reza Nurhilman, pemilik sekaligus President Keripik Maicih yang akrab
disapa Axl (baca: Axel).
Melalui jaringan kekerabatan, Axl mencoba menciptakan isu
atau word of mouth (WOM). Salah satunya, dengan tingkat
kepedasan keripik. “Keripik yang kami jajakan memiliki tingkat kepedasan yang
berbeda. Mulai dari level satu sampai lima, dan langsung ke level 10 yang
tingkat pedasnya paling tinggi,” lanjutnya.
Walhasil, dengan diferensiasi seperti itu, produk pun
direspon positif oleh lingkar kekerabatan Axl. Mereka pun tak segan-segan
meng-endorse keripik Maicih lewat kicauan mereka di akun twitter masing-masing.
Dua bulan berjalan, permintaan untuk level tiga dan lima melonjak tajam. Oleh
karena itu, produksi keripik pun lebih diperbanyak untuk dua level tersebut.
Melihat efektivitas kicauan teman-temannya di dunia maya,
maka Axl pun memutuskan untuk fokus hanya berkomunikasi lewat twitter
@infomaicih, facebook #maicih, dan situs www.maicih.co.id.
Diterangkan Axl, jumlah follower Maicih saat ini sudah mencapai lebih dari 354
ribu, sedangkan jumlah fanpage mencapai 49.000-an.
Untuk itu, jangan harap Anda akan menemukan gerai fisik
Maicih. “Kami memang sengaja tidak membangun gerai fisik. Dari sisi biaya
operasionalnya sangat tinggi. Dan yang terpenting, gerai fisik tidak
mampu menciptakan interaksi antara brand Maicih dengan konsumen,” ungkap Axl
beralasan.
Lantas, bagaimana cara Maicih dikomunikasikan dan
dijajakan? Rupanya, Maicih punya sederet “jendral”—sebutan untuk pasukan
penjual atau reseller Maicih. Jendral tersebutlah yang bertugas berkicau di
akun twitter mereka masing-masing tentang lokasi-lokasi mana saja yang bakal
disambangi mobil yang membawa keripik Maicih untuk dijajakan. Dan, tiap harinya
lokasi yang disambangi berpindah-pindah, alias nomaden.
Konsep jualan nomaden itu rupanya justru menggelitik rasa
penasaran sekaligus memicu antusiasme konsumen. Dampaknya, tak sedikit
anak-anak muda justru menunggu-nunggu kicauan dari para jendral Maicih plus
berharap lokasi kampus atau rumah mereka bisa disambangi mobil Maicih.
Melalui konsep nomaden itu, urai Axl, “Kami ingin
mencapai misi pertama kami, yaitu menciptakan gengsi di dalam
diri konsumen kalau bisa mengkonsumsi Maicih. Bahkan, punya gengsi
jika bisa menjadi icihers.” Itu artinya, jika belum tahu dan mencoba Maicih,
boleh dibilang mereka belum masuk kategori “bergaul”.
Kini, misi berikut dari Axl dan kawan-kawan adalah
menciptakan gengsi profesi seorang jendral. Menjadi seorang jendral Maicih
jelas tidak mudah. Seleksi dilakukan sangat ketat. “Ada tiga batch yang kami
tawarkan kepada para calon jendral,” imbuhnya. Ketiga batch itu dibedakan
berdasarkan pembelanjaan keripik Maicih.
Untuk batch pertama, nilai pembelanjaan para jendral
minimal Rp 5 juta per minggunya. Batch dua, nilai pembelanjaan produk Maicih
minimal Rp 10 juta per minggunya. Sementara batch tiga, kategori baru, nilai
pembelanjaan minimal Rp 100 juta per minggunya. “Para jendral dibebaskan untuk
berinovasi dalam memasarkan produk Maicih,” ungkap Axl.
Selain syarat pembelanjaan, yang terpenting adalah calon
jendral Maicih harus datang ke Bandung untuk interview dan mengikuti Akademi
Jendral Maicih. “Di sana, calon jendral di-training seputar team work, inovasi,
character building, dan soft skill lainnya. Pendeknya, para calon jendral harus
mampu menjadi Independent Bussiness Owner (IBO),” tegas Axl.
Jangan heran, jika para jendral Maicih dituntut untuk
inovatif memikirkan cara-cara efektif dalam memasarkan keripik Maicih di area
mereka masing-masing. “Kami tidak men-support dana sepeser pun untuk para
jendral. Mereka sendirilah yang harus mampu membangun brand Maicih dan
memasarkannya di wilayahnya masing-masing,” ia menambahkan.
Axl mencontohkan, area Cirebon memiliki
karakteristik yang berbeda dengan wilayah Jakarta. Di Cirebon, komunikasi jauh
sangat efektif menggunakan medium radio. Maka, jendral di sana pun bekerja sama
dengan sejumlah radio lokal untuk menggelar talkshow seputar Maicih.
Sementara di Jakarta, ketika Axl diundang hadir di salah satu program Metro TV
dan Trans7, permintaan Maicih langsung booming. “Beda lagi dengan Bekasi.
Pendekatan di sana justru sifatnya harus personal,” tuturnya.
Kerja keras para jendral—yang merupakan anak-anak muda
kelahiran era 80-an—itu tak percuma. Kini, Maicih sudah sampai seantero
Indonesia, dari Aceh hingga Papua. Bahkan, Maicih juga sudah menjangkau
mancanegara. Sebut saja Jepang dan Singapura. Tak mengherankan, dengan modal
awal yang hanya Rp 15 juta, kini omzet Maicih membengkak. Per bulan, omzet
Maicih—yang didapat dari pembelanjaan keripik para jendral—sudah menembus Rp 7
miliar.
“Untuk jendral batch dua, tak sedikit pembelanjaan mereka
tiap minggunya Rp 200 juta-Rp 300 juta. Kontribusi tertinggi memang masih di
kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Jogja, dan Semarang,” ia mengaku.
Lantas, berhasilkah Axl pada misi keduanya: membangun
gengsi menjadi jendral Maicih? Jawabannya, jelas berhasil. Ini dibuktikan
dengan membludaknya anak-anak muda yang ingin menjadi jendral Maicih. “Dalam
sehari, lebih dari seribu orang yang ingin mendaftar menjadi jendral Maicih.
Dan, ada dari kalangan artis muda yang sudah menjadi jendral Maicih,” terang
Axl.
Namun, Axl mengaku tidak bisa sembarangan menerima para
jendral. Lantaran, di tangan para jendral-lah reputasi dan nasib brand Maicih
digantungkan. Selain reseller, para jendral juga menjadi endorser sekaligus
talker brand Maicih. Oleh karena itu, seleksi para jendral dilakukan sangat
ketat. “Selain harus memiliki mindset Independent Bussiness Owner dan lulus
Akademi Jendral Maicih, kami lebih mendahulukan wilayah-wilayah yang masih
kosong pemain dan memiliki potensial market,” jelasnya.
Setelah sukses dibincangkan di jejaring sosial
serta diliput banyak media elektronik, cetak, maupun online, diakui
Axl, Maicih mulai kedatangan kompetitor. Di daerah asalnya di Bandung, tak
kurang dari 30 brand keripik—dengan jenis varian yang serupa—mulai agresif memasarkan
produknya.
Oleh karena itu, Axl mengaku, tidak bisa tinggal diam.
Dalam waktu dekat, tepat di awal tahun 2012, diungkapkan Axl, “Kami akan
re-packaging dan meluncurkan varian baru, seblak keju.” Jika saat ini kemasan
Maicih masih terlihat biasa, bahkan terkesan jadul (jaman dulu—red), tahun
depan akan segera berganti. Untuk re-packaging dan peluncuran varian baru itu,
saat ini Axl dan tim sedang menggodok konsep event-nya.
Tak cukup, Republik Maicih pun akan jauh lebih agresif
menjadi pembicara di acara seminar atau workshop, menjadi narasumber di media
elektronik, cetak, maupun online, hingga menggelar program corporate social
responsibility. Bahkan, untuk menunjukkan bahwa Maicih adalah sang pionir, tak
segan-segan Republik Maicih memasang reklame Maicih di papan bilboard akbar di
wilayah Bandung. (Dwi Wulandari – Majalah MIX-MarketingCommunications, Desember 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar