Dua bulan lalu, saya menuntaskan baca buku Crisis
Communications: A Casebook Approach (Fourth Edition) karya Kathleen Fearn-Banks
(Routledge, 2011). Seperti edisi sebelumnya, edisi keempat buku “Crisis
Communications: A Case Book Approach” ini memfokuskan pada pembahasan tentang
bagaimana organisasi, perusahaan, dan individu mengatasi krisis melalui
komunikasi. Juga tentang bagaimana mereka seharusnya berkomunikasi dengan media
berita, karyawan, dan konsumen. Dibahas pula tentang bagaimana mereka harus memilih
kata-kata terbaik untuk disampaikan ke mereka melalui metode penyampaian pesan
yang terbaik, kepada segmen masyarakat yang tepat.
Berbeda dengan sebelumnya, edisi keempat ini memasukkan enam
studi kasus baru. Ada pembahasan tentang "Häagen-Dazs and Honey Bees"
saat mengalami kesulitan mendapatkan madu dan bagaimana Haagen-Dazs mencari
solusinya. Ada juga “Holland America Line and Cruise Crises" yang
menunjukkan kepada kita tentang bagaimana krisis yang sebenarnya bersifat lokal
bisa meluas.
Selain empat kasus di Amerika, ada dua kasus di luar Amerika
yang dibahas. Salah satunya adalah tentang “Yuhan-Kimberly and Baby Wet Wipes.”
Pembahasannya seputar bagaimana perusahaan yang berbasis di Korea itu
berkomunikasi dengan pelanggannya saat salah satu dari produknya dianggap
membahayakan konsumennya.
Penulis buku ini, Kathleen Fearn-Banks—profesor komunikasi
di Departemen Komunikasi University of
Washington—mendefinisikan krisis sebagai suatu peristiwa besar yang berpotensi
menimbulkan pengaruh negatif kepada nama baik organisasi, perusahaan, atau
industri, serta masyarakatnya, produk, dan jasa. Sebuah krisis juga memiliki
potensi mengganggu transaksi bisnis yang normal dan kadang-kadang dapat
mengancam keberadaan organisasi. Peristiwa tersebut dapat berupa pemogokan,
terorisme, kebakaran, boikot, sabotase produk, kegagalan produk, atau kejadian
lain (Bab 15, hal 308). Ukuran organisasi tidak relevan sebab krisis bisa
menimpa perusahaa nmultinasional, bisnis perorangan, bahkan individu.
Tambahan lainnya adalah pembahasan tentang“Social Media and
Crisis Communications” dan “Individuals in Crisis.” Tambahan pertama dirasa
penting karena berkembangnya fenomena blogger dan social media. Berita
kadang-kadang bisa lebih cepat diedarkan oleh media social dari pada oleh media
berita tradisional (lihat Bab 5). Di bagian ini penulis memberikan ilustrasi
tentang pemanfaatanTwitter, Facebook, MySpace, YouTube, blog, dan media sosial
lainnya untuk mengatasi krisis. Bab ini juga meliputi saran tentang cara
menggunakan media social dan mengutip beberapa krisis yang disebabkan oleh
penggunaan media sosial.
Satu ilustrasi menarik yang disajikan di bab ini adalah
tentang perbedaan antara wartawan dan blogger. Wartawan harus menghabiskan
waktu untuk mendalami situasi dan tempat krisis berlangsung dan kemudian
mengirimkan cerita. Sementara blogger yang sudah di lokasi, dengan sedikit
keahlian atau bahkan tidak dalam pelaporan, bisa mendapatkan informasi yang
dikirimkan segera.Karena mekanisme peliputan dan penulisan yang berbeda dengan
wartawan, tulisan blogger bisa jadi belum dikonfirmasi.
Sementara itu, seorang wartawan terlatih diharapkan dapat
menemukan informasi yang lebih lengkap daripada blogger atau teman di Facebook.
Ini karena wartawan yang terlatih dalam mengajukan pertanyaan tahu benar
tentang informasi yang harus digali bila menemukan suatu peristiwa.Namun, tanpa
diragukan lagi, baik media sosial dan media tradisional harus menjadi target
komunikasi secepat mungkin.
Idealnya, keduanya harus dihubungi secara bersamaan dan
segera, karena jika data yang akurat tidak disebarluaskan, maka keduanya bisa
menggunakan data yang tidak akurat ini. Jika krisis ini mengembara ke ranah
online, maka komunikasi online mungkin terbaik (lihat Pizza Domino, Bab12,
halaman 258). Jika staf komunikasi Anda terlalu kecil untuk melakukan
komunikasi simultan, maka keputusan mendesak harus dibuat.
Buku ini juga secara mendalam menunjukkan bagaimana para
professional di perusahaan mempersiapkan dan menanggapi krisis, serta bagaimana
mereka mengembangkan rencana komunikasinya. Sebagai ilustrasi, Fearn-Banks
mengungkap kembali ketika sebuah Southwest Airlines melakukan pendaratan
darurat di Charleston, Virginia Barat, Juli 2009. Ketika itu, para penumpang
selamat, namun para pejabat penerbangan tidak bisa memastikan bagaimana reaksi
penumpang yang mengalami peristiwa tersebut. Southwest yang memiliki tim yang
disebut "Tim Media yang Darurat" mengamati Blog, Twitter, Facebook,
dan situs web untuk memastikan reaksi penumpang. Tim menemukan komentar
sebagian besar positif. Jadi Southwest menggunakan informasi tersebut untuk
mem-posting tweets memuji kerja kru dan sikap penumpang di dalam pesawat saat
pendarataan darurat itu berlangsung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar