Ketika
saya lahir, ibu saya ingin memberi nama Edhy Sosiawan. Itu karena saya lahir pas pada Hari Kesetiakawanan Sosial yang diperingati setiap 20 Desember, sehingga saat itu ibu berharap saya
menjadi orang yang suka menolong orang lain.
Namun entah kenapa nama saya menjadi Edhy Aruman, dan ibu saya bersyukur karena tidak jadi memberi nama Sosiawan. Ketika duduk di kelas lima sekolah dasar, ibu saya marah besar karena saya tidak mau menolong seorang teman yang saat itu kesulitan dalam belajar. “Untung saya dulu tidak jadi memberi namamu Sosiawan.”
Namun entah kenapa nama saya menjadi Edhy Aruman, dan ibu saya bersyukur karena tidak jadi memberi nama Sosiawan. Ketika duduk di kelas lima sekolah dasar, ibu saya marah besar karena saya tidak mau menolong seorang teman yang saat itu kesulitan dalam belajar. “Untung saya dulu tidak jadi memberi namamu Sosiawan.”
Dalam perjalanannya, makna sosial memang mengalami pergeseran. Kalau ibu saya dulu memaknai sosial sebagai “suka menolong”, kini menjadi sosial dimensinya menjadi makin luas. Ketika seseorang berinteraksi secara personal dengan orang lain, itu juga termasuk berjiwa sosial.
Dalam konteks bisnis, selama bertahun-tahun, social business dikaitkan dengan organisasi nirlaba yang tidak mempunyai pemilik dalam arti konvensional dan pengendali yang bisa mendapatkan kompensasi di luar kewajaran (Robert A. Katz and Antony Page, 2010).
Belakangan, social business mengalami pergeseran paradigm dengan pendefinisian ulang hubungan interpersonal dan bisnis antara perusahaan atau merek dan rekan kerja, atasan, pelanggan, mitra, dan pemasok. Perkembangan ini dipicu oleh makin kuatnya penggunaan media sosial dalam berkomunikasi yang berimplikasi pada perlunya pola baru komunikasi ketika perusahaan melakukan kolaborasi dan membangun net-working dengan stakeholdernya.
Dalam konteks ini, perusahaan kini memerlukan model baru dalam berkomunikasi yang didasarkan pada otentiksitas, keaslian, dan langsung, menuntut kepercayaan yang lebih besar, transparansi, dan akuntabilitas diantara semua pihak yang berpartisipasi. Transformasi social business menciptakan perubahan besar bagi perusahaan yang bisa digunakan untuk memoles pesan dalam siaran pers dan di situs internet.
Hari-hari
ini banyak perusahaan, organisasi atau perorangan yang menghabiskan banyak
waktu, sumber daya, dan uang guna memahami lansekap sosial yang berubah cepat
akibat media sosial. Mereka berusaha meningkatkan interaksi dan keterlibatannya
dengan pelanggan dan prospek.
Mereka berlomba untuk menjadi merek sosial. Mereka berinvestasi dalam aplikasi Facebook, twitter, blog, dan sebagainya. Banyak juga yang memanfaatkan solusi pemantauan online untuk melihat dan mendengarkan apa yang dibicarakan tentang merek atau perusahaan mereka. Friends, fans, dan follower pun diburu.
Mereka berlomba untuk menjadi merek sosial. Mereka berinvestasi dalam aplikasi Facebook, twitter, blog, dan sebagainya. Banyak juga yang memanfaatkan solusi pemantauan online untuk melihat dan mendengarkan apa yang dibicarakan tentang merek atau perusahaan mereka. Friends, fans, dan follower pun diburu.
Tak
salah. Friends, fans, dan follower memang penting. Sebab dengan memiliki
friends, fans, atau follower yang besar berarti kans untuk berinteraksi dengan
mereka lebih besar. Mereka bisa meningkatkan ekuitas sosial merek melalui
keterlibatannya (engage) dengan konstituen-nya dengan cara berdialog dua arah
dengan pelanggannya.
Ketika suatu merek berdialog, transparansi menjadi kunci. Di titik inilah kendala sering muncul. Sebab, nanyak merek atau perusahaan yang berusaha mati-matian untuk memanusiakan merek mereka, tapi di sisi lain, mereka gagal memahami bahwa yang pertama mereka lakukan adalah memanusiakan bisnis mereka terlebih dahulu.
Ketika suatu merek berdialog, transparansi menjadi kunci. Di titik inilah kendala sering muncul. Sebab, nanyak merek atau perusahaan yang berusaha mati-matian untuk memanusiakan merek mereka, tapi di sisi lain, mereka gagal memahami bahwa yang pertama mereka lakukan adalah memanusiakan bisnis mereka terlebih dahulu.
Disinilah
letak tantangan bisnis. Situs jaringan sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram popular dan banyak digunakan orang. Selain telah mengubah cara
pelanggan berkomunikasi dengan bisnis,
adopsi media sosial juga memfasilitasi terjadinya pergeseran paradigma
hubungan pelanggan-merek atau perusahaan.
Bila selama ini paradigma hubungan tersebut berpusat pada pasar yang selalu menggunakan pertimbangan bisnis (business centric), kini bergeser ke customer-centric. Pelanggan yang dulunya statis, diam, kini mendadak dinamis. Pelanggan yang dinamis ini mengelompok atau dikelompok ke dalam pelanggan sosial (social customer). Kelahiran segmen pelanggan baru ini melahirkan cara atau praktik baru suatu bisnis, produk atau layanan dalam berinteraksi dengan pasar.
Bila selama ini paradigma hubungan tersebut berpusat pada pasar yang selalu menggunakan pertimbangan bisnis (business centric), kini bergeser ke customer-centric. Pelanggan yang dulunya statis, diam, kini mendadak dinamis. Pelanggan yang dinamis ini mengelompok atau dikelompok ke dalam pelanggan sosial (social customer). Kelahiran segmen pelanggan baru ini melahirkan cara atau praktik baru suatu bisnis, produk atau layanan dalam berinteraksi dengan pasar.
Pelanggan sosial itu kini menjadi begitu berpengaruh. Tak mengherankan bila perusahaan berbagai skala di semua industri mulai menggabungkan diri ke arena percakapan yang terbangun melalui media sosial. Di sisi lain, pelanggan terus belajar dan mengharapkan perusahaan untuk menjadi bagian dari web sosial. Harapannya, perusahaan mendengarkan suara mereka.
Untuk
mendengarkan suara mereka, perusahaan sekarang agresif mempekerjakan manajer
komunitas dan strategic sosial, mengalokasikan anggaran untuk media sosial,
mempekerjakan agen-agen, dan menciptakan strategi keterlibatan. Mereka
melakukan segala sesuatu yang perlu dilakukan untuk menjadikan merek mereka
menjadi begitu sosial.
Sosial media – seperti dikatakan Jon Ferrara, CEO Nimble.com -- telah memberdayakan pelanggan sosial sehingga memaksa semua bisnis untuk menjadi lebih manusiawi dan selalu berhubungan dengan pelanggan dan calon pelanggannya, bahkan dengan masyarakat.
Sosial media – seperti dikatakan Jon Ferrara, CEO Nimble.com -- telah memberdayakan pelanggan sosial sehingga memaksa semua bisnis untuk menjadi lebih manusiawi dan selalu berhubungan dengan pelanggan dan calon pelanggannya, bahkan dengan masyarakat.
Dalam
konteks ini, kata Ferrara, perusahaan harus memahami arti dari bisnis sosial
dan bagaimana mereka dapat mulai secara efektif berlatih, baik dalam konteks
internal maupun eksternal organisasi mereka. Michael Brito -- kata Ferrara –
melalui buku Smart Business, Social
Business berhasil memberikan panduan kepada perusahaan untuk memahami jiwa
'sosial' tadi. Brito juga menunjukkan langkah yang diperlukan oleh perusahaan
untuk memanfaatkan kekuatannya guna bersaing secara efektif pada era perubahan
lanskap bisnis seperti sekarang ini.
Tapi
buku ini bukan tentang merek sosial. Seperti yang dikatakan Brito, penulisnya,
buku ini adalah tentang evolusi alami (kadang memaksa) organisasi menjadi
bisnis sosial. Sebuah kesepakatan bisnis sosial dengan transformasi internal
organisasi dan membahas faktor-faktor kunci seperti model organisasi, budaya,
komunikasi internal, kolaborasi,governance, pelatihan, aktivasi karyawan,
ekspansi global dan teknologi, dinamika tim, dan filsafat pengukuran.
Untuk
melakukan semua tadi secara efektif, perusahaan harus bertindak lebih cerdas;
memperoleh teknologi baru, kecerdasan, dan bakat, dan menjadi lebih terbuka dan
transparan. Mereka harus menetapkan proses bisnis, model governance dan aturan
keterlibatan di web sosial yang melindungi organisasi sebelum memberdayakan
karyawan mereka. Mereka harus mengubah cara mereka melakukan bisnis. Proses itu
dimulai dari orang-orang yang ada di dalam organisasi.
Sebuah
organisasi yang menggunakan media sosial untuk terlibat secara eksternal dengan
pelanggan bisa disebut merek sosial, tetapi belum tentu bisnis sosial. Ketika
memberikan kata pengantar dalam buku ini, pakar media sosial Brian Solis
mengatakan bahwa begitu pelanggan melihat bisnis sebagai salah satu kesatuan
sebuah merek dan tidak sebagai rangkaian unit atau departemen yang terputus,
itulah bisnis sosial. Kenapa? Pada dasarnya, sebuah bisnis sosial menuntut adanya keterhubungan, keterlibatan,
dan adaptif.
Dalam
konteks ini, bisnis sosial selalu menghubungkan antara titik nilai dan
pengalaman pelanggan. Disinilah transparansi dan kepemimpinan yang terbuka menjadi
pentnu kunci keberhasilan dalam membangun sebuah bisnis sosial. Dengan
demikian, suatu bisnis sosial adalah bisnis yang menyatu dengan masyarakatnya,
dimanapun mereka berada. Sebuah bisnis benar-benar menjadi bisnis sosial, bisa
dilihat dari apakah mereka berhasil menyesuaikan diri dengan perilaku
pelanggannya secara efektif. Misalnya dengan memenuhi kebutuhan dan harapan
pelanggan, bukan hanya dengan menanggapi keluhan mereka.
Tampak
mudah memang. Tapi realisasinya tidaklah mudah. Dilihat dari luar, kebanyakan
orang tidak mengetahui bahwa di dalam suatu perusahaan pada dasarnya selalu
muncul sikap anarki, protes, perseteruan, konflik, kebingungan, kurangnya
komunikasi dan kolaborasi. Dengan kata lain, apa saja yang terjadi di panggung
belakang perusahaan, seringkali tak terlihat oleh orang luar.
Tantangan-tantangan ini membuat proses untuk menjadi sebuah merek sosial yang efektif jauh lebih sulit dan kurang efektif. Padahal, untuk beberapa organisasi, upaya untuk menjadi merek sosial, sekaligus memwujudkan bisnis sosial bisa dilakukan secara bersamaan.
Tantangan-tantangan ini membuat proses untuk menjadi sebuah merek sosial yang efektif jauh lebih sulit dan kurang efektif. Padahal, untuk beberapa organisasi, upaya untuk menjadi merek sosial, sekaligus memwujudkan bisnis sosial bisa dilakukan secara bersamaan.
Premis
buku ini adalah bahwa organisasi tidak bisa dan tidak akan melakukan percakapan
dengan konsumen eksternal secara efektif kecuali mereka mampu membangun
percakapan di internal perusahaan secara efektif terlebih dahulu. Ini
melibatkan lebih dari percakapan internal, panggilan konferensi, dan forum
kolaborasi. Agar evolusi ini berlangsung, organisasi harus mengadopsi perilaku
sosial dalam setiap aspek bisnis mereka.
Sebuah
proses evolusi bisnis sosial dimulai dengan menumbuhkan pengaruh pelanggan
sosial. Perusahaan lalu menanggapi pertumbuhan pelanggan sosial dengan mulai
mengadopsi perilaku sebagai merek atau perusahaan sosial. Setidaknya hal itu
diakukan merek atau perusahaan melalui keterlibatanya dengan pelanggan sosial
di media sosial.
Saat
ini, secara internal, sejatinya banyak tantangan yang dihadapi perusahaan.
Sebab seperti diketahui, saat ini banyak karyawan yang bergabung dan
beriteraksi dengan sesama atau dengan orang luar melaui media sosial. Banyak
perusahaan yang tidak memiliki aturan dan kebijakan bagaimana mereka sebaiknya
melakukan hal itu sehingga seakan-seakan perusahaan tidak mampu mengontrol
mereka.
Di sisi
lain, kondisi seperti itu bisa juga dianggap sebagai sebuah potensi. Sebab
bagaimanapun mereka bisa digerakkan untuk kepentingan positif perusahaan.
Tantangan perusahaan sekarang adalah bagaimana mengoperasionalkan media sosial
secara internal tersebut untuk membangun sebuah bisnis sosial yang kolaboratif.
Buku ini
bertujuan untuk membekali para pemimpin bisnis, pemasar, dan profesional yang
mendalami tentang komunikasi dengan pengetahuan yang diperlukan untuk mengubah
bisnis mereka. Buku ini memberikan wawasan yang bisa mereka tindaklanjuti untuk
mengembalikan tim dan organisasi mereka
untuk memulai perubahan. Yang perlu diingat adalah bahwa sebuah evolusi bisnis
sosial tidak akan terjadi hanya dalam waktu semalam. Mungkin membutuhkan waktu
bertahun-tahun. Tetapi sebuah evolusi harus terjadi dan akan terjadi. Buku ini
membantu membuat evolusi itu terjadi.
Buku ini terdiri atas 12 bab. Pada bab 1 buku ini (Human Capital, Evolved) menyoroti tentang aset organisasi yang paling berharga, yakni people. Disini penulis seakan mengingatkan bahwa people berperan penting dalam proses evolusi, karena mereka sebenarnya pelaku dari evolusi tersebut.
Menurut penulis, people berperan dalam memfasilitasi sebuah perubahan dalam organisasi melalui upayanya mendobrak sekat-sekat yang menghalani terjadinya proses komunikasi secara efektif.
Karena itu, sebagian besar dari bab ini membahas tentang perlunya memberdayakan karyawan untuk terlibat dalam jejaring sosial. Dalam bab ini dipaparkan beberapa contoh bagaimana mengelola tim dan karyawan di semua unit bisnis dan geografis yang berbeda ketika mereka masuk ke dalam jejaring sosial.
Di Bab
2, penulis memaparkan tentang teknologi dan pentingnya memilih perangkat lunak
sosial yang tepat. Bab ini diakhiri dengan bahasan yang berisi beberapa
prediksi lanskap sosial untuk Facebook dan Twitter di masa mendatang. Sementara
Bab 3 buku ini membahas kebutuhan organisasi untuk membangun model pengelolaan
dengan memanfaatkan karyawan yang aktif di media sosial. Disini juga
digambarkan tentang situasi yang terjadi bila organisasi tidak memiliki
kebijakan untuk memandu perilaku karyawan dalam bermedia sosial. Buku ini
ditutup dengan contoh praktek bisnis sosial yang dilakukan EMC dan Intel.
Disini penulis memberikan contoh karakteristik bisnis sosial yang berhasil.
Banyak
hal-hal baru yang bisa ditemui dalam buku ini.
Sangat beralasan bila kemudian Chip Rodgers, Vice President and COO, SAP
Community Network, SAP AG mengatakan bahwa cakupan bahasan buku Smart Business,
Social Business begitu komprehensif. Karenanya harus dibaca oleh semua pebinis
yang bergulat dengan dunia media sosial yang kini berubah cepat guna mengambil
potensi positif (atau negatif) dan
berdampak pada bisnis.(Majalah SWA, 15-28 Maret 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar