Tahun
lalu pasar Indonesia memunculkan banyak kejutan. Beberapa merek yang selama itu
tidak diperhitungkan, tiba-tiba menyeruak diantara naga0naga yang sengit
bertarung. Siapa saja mereka? Bagaimana siasat mereka?
Dua tiga tahun lalu, ketika orang melihat persaingan
merek, fokus utama ditujukan pada perilaku merek penguasa pasar dan
penantangnya. Ambil contoh, bila melihat persaingan di mie instant misalnya,
fokus perhatian orang tertuju pada bagaimana perilakuka Indomie selaku penguasa
pasar (market leader) dan MieSedaap, sang penantang.
Kini, disadari atau tidak, orang terkaget-kaget
melihat bagaimana BlackBerry merebut pasar smartphone, kemudian diikuti Samsung
yang masuk ke pasar tabletnya. Dua tiga tahun lalu, ketika orang
memperbincangkan persaingan handphone, pembicaraan selalu tak lepas dari merek
Nokia yang menguasai pasar dan SonyEricsson, sang penantang. Namun kini,
petanya berubah setelah kemunculan BlackBerry dan Samsung.
Demikian halnya di pasar minimarket misalnya. Selama
beberapa tahun, Indomaret – sang pioneer -- kejar mengejar dengan Alfamart.
Alfamart sempat mengalahkan sang pioneer. Namun belakangan, pasarnya mulai
diincar 7Eleven yang sama-sama membuka gerai di daerah pemukiman. Belakangan,
melihat agresivitas 7Eleven, izinnya mulai dipermasalahkan.
Dalam beberapa tahun terakhir, pasar memang berubah
cukup dramatis. Langsung maupun tidak langsung, perkembangan media mempengaruhi
kebutuhan dan ekspekstasi konsumen terhadap suatu merek. Yang kedua adalah
perkembangan ekonomi. Dalam beberapa tahun misalnya, pertumbuhan sector
perkebunan dan pertambangan sangat pesat. Situasi ini mendorong meningkatnya
kebutuhan akan kendaraan niaga misalnya. Tak mengherankan bila penjualan
kendaraan komersial yang tahun 2010 cuma 202 ribu unit melonjak menjadi lebih
dari 291 ribu pada 2011.
Tingkat pendapatan masyarakat – dilihat secara makro
– juga ikut terdogkrak. Yang menonjol adalah makin banyaknya warga kelas
menengah. "Yang perlu dicatat adalah kelas menengah di Indonesia naik
hingga 40 juta orang," kata pengamat ekonomi dari Institute for
Development of Economics and Finance (INDEF), Dr. Aviliani.
Situasi ini menimbulkan pergeseran preferensi maupun
perilaku konsumen. Tak perlu Anda membidik langsung mereka. Sebab mungkin
produk Anda tidak cocok untuk mereka. Akan tetapi, dari sekian banyak perilaku
di semua lapis sosial, ada pola umum prilaku mereka yang bisa diamati. Seperti
diketahui, data terbaru penduduk Indonesia menunjukkan ebih besar pada usia
antara 17-34 tahun. Karakteristik mereka yang lahir pada era video dan kemudian
internet itu adalah kedekatannya dengan alat telekomunikasi atau alat
penghubung lainnya.
Kepemilikan dan penggunaan perangkat yang terhubung
membuat konsumen sangat unik. Mereka selalu ingin berbagi. Survey yang
dilakukan Nielsen seperti yang dipaparkan Direktur Eksekutif Riset Konsumer
Nielsen Indonesia Yudi Suryanata, Desember 2011 lalu menyebutkan bahwa ibu-ibu
rumah tangga memiliki komunitas untuk berbagi pengalaman mengenai merek.
Persentasenya cukup besar, yakni sekitar 88 persen responden. Keunikan kedua,
pertemanan yang terjalin di dunia maya masih kurang afdol bila tidak diikuti
dengan pertemuan tatap muka, kopi darat. Beberapa kasus negatif yang muncul di
mass media tentang pertemuan yang terjalin karena Facebook membuktikan itu. Perubahan
perilaku tersebut di satu sisi menjadi tantangan sekaligus memberikan peluang.
Perubahan itulah yang ditangkap 7-Eleven. Sejak dibawa masuk ke Indonesia oleh PT
Modern Putra Indonesia (grup Modern distributor Fuji Indonesia) pada 2009,
7-Eleven membangun keunikan sebagai community store yang menarget anak muda ibukota.
USP mereka sebagai penyedia kenyamanan,
tempat nongkrong dan sosialisasi, community store, sangat pas dengan karakter
konsumen Jakarta yang haus pertemuan.
7-Eleven Indonesia memang mampu menyedot kehadiran
pelanggan dari golongan komunitas orang muda, serta karyawan yang butuh makan
siang atau tempat nongkrong sepulang kerja. Seperti pernah diungkapkan oleh
Wiwiek Yusuf, Direktur Pemasaran Indomaret, sejak dibawa masuk ke Indonesia
oleh PT Modern Putra Indonesia (grup Modern distributor Fuji Indonesia) pada
2009, 7-Eleven sebagai community store dipandang sangat cocok untuk langsung
menarget masyarakat ibukota, terutama anak muda. Unique Selling Proposition
(USP) mereka adalah penyedia kenyamanan, tempat nongkrong dan sosialisasi,
community store.
Sebuah survei yang dilakukan Vibiz Management
Research terhadap enam gerai 7-Eleven memberikan data menarik sebagai berikut.
Sekitar 65% pengunjung 7-Eleven adalah anak muda, sisanya pelajar (15%),
karyawan (10%), dan keluarga 10%. Sebagian besar di antara mereka datang tidak
sendirian, tapi bersama teman atau rombongan.
Dalam pengamatan lebih lanjut, habit pengunjung
biasanya mengobrol santai (nongkrong). Sekitar 80% di antaranya bahkan
nongkrong lebih dari satu jam, 15% lainnya memanfaatkan untuk short meeting dan
5% lainnya membeli makanan untuk dibawa pulang. Ada juga di antara mereka yang
sibuk sendiri dengan netbook, memanfaatkan fasilitas free wifi yang disediakan.
Sejumlah pengunjung yang di-interview mengaku mereka
menyukai 7-Eleven karena kenyamanan dan kebebasannya. Nilai lebih lain yang
disebut adalah ruang yang terang dan bersih, display barang yang menarik,
konsep self sevice, inovasi menarik, pelayan ramah dan helpful, serta
kemerdekaan untuk nongkrong kapan saja dan selama apapun tanpa diusir satpam
atau ditunggu antrian. Mereka juga menyukai konsep gerai yang smoking area dan
disediakannya wifi gratis. Juga harga yang terjangkau dibandingkan kedai kopi
semacam Starbuck.
Hal lain yang disukai adalah konsep meracik minuman
serta mengambil serta memilih sendiri sesuai dengan selera masing-masing.
Sajian favorit mereka antara lain Slurpee, minuman bersoda setengah beku yang
dijual pada suhu 28 derajat Celsius, minuman soda Big Gulp, dan Big Bite
Hotdog. Namun dari 6 gerai itu, berbeda-beda pula selera pengunjungnya sehingga
produk andalan masing-masing juga berbeda.
Berdasarkan pengamatan, rata-rata jumlah pengunjung
pada keenam gerai itu berkisar antara 600-800 orang pada hari biasa dan bisa
mencapai 1000 orang pada akhir pekan. Yang menarik, Tim riset mengamati
7-Eleven tidak banyak melakukan promosi dan publikasi. Promosi gratis justru
didapatkan melalui proses word of mouth yang dilakukan oleh pengunjungnya. Pada
akhirnya, tim riset mengambil kesimpulan, keberhasilan 7-Eleven adalah karena
mereka mampu menjawab kebutuhan anak muda akan gaya hidup modern ala barat yang
identik dengan kebebasan memilih dan berkreasi. Dengan kata lain, ia berhasil
membaca kebutuhan konsumen terhadap tempat hang out. Karena itu komunikasi yang
mereka lakukan pun melalui social media, kanal yang digunakan anak muda urban.
Twitter @7ElevenID saat ini memiliki lebih dari 50 ribu follower. Sedangkan
page Facebook 7-Eleven Id disukai oleh sekitar 42 ribu fans.
Fenomena ini seakan mengukuhkan pendapat bahwa
sejatinya pasar yang jenuh pada dasarnya hanyalah mitos. Disini fenomena
perkembangan 7-Eleven – dalam tiga tahun ada 57 gerai dan hanya di Jakarta –
seakan membuktikan itu. Ini juga membuktikan bahwa munculnya kuda hitam selalu
saja ada. Menurut Rudolf Tjandra, Direktur Marketing PT Softex, sampai kapan
pun, bahaya kuda hitam memang sangat besar. “Tidak hanya tahun 2012, di tahun-tahun sebelumnya ataupun
tahun-tahun mendatang, kuda hitam pasti
akan terus mengintai,” kata Tjandra.
Disinilah pentingnya mengenali dua hal. Pertama,
perilaku konsumen. Menurut Prof. Agus W. Soehadi, guru besar ilmu pemasaran
dari Prasetya Mulya-Jakarta, kunci utama
dalam memenangkan persaingan adalah pengetahuan yang kuat tentang pasar yang
dilayani. Disini, pengelola merek harus memahami prilaku konsumennya maupun
prilaku dan strategi yang dijalankan oleh para pemain yang ada.
Sebagai contoh strategi yang dilakukan oleh Kuku
Bima ketika mencuri share-nya Extra Joss atau Yamaha mencuri sharenya Honda. Ketika
ExtraJoss lengah, Kuku Bima masuk di segmen tradisionalnya Extra Joss yaitu
kelas menengah-bawah. Kenapa lengah? Karena saat itu Extra Joss tergoda untuk
menggarap segmen kelas menengah dengan menawarkan Extra Joss Tab (effervescent),
kemudian dilanjutkan dengan Extra Joss X dalam bentuk kemasan kaleng. ExtraJoss
juga kemudian meluncurkan Extra Joss Strike (kerja sama dengan Coca Cola).
Varian-varian baru ExtraJoss itu, minimal dilihat
dari harganya, membidik pasar menengah ke atas. Saat itu, pengelola merek
ExtraJoss berambisi membidik pasar menengah ke atas karena melihat peluang di
satu sisi, tapi di sisi lain pasar kelas menengah ke bawahnya sudah mentok.
Namun,fokus yang cukup intens di kelas menengah menyebabkan segmen
tradisionalnya tidak terjaga secara ketat.
Kesempatan ini yang digunakan oleh Kuku Bima untuk
menyusun strategi pemasaran yang lebih efektif dibanding Extra Joss. Hal yang
sama juga dilakukan dengan Yamaha ketika mereka secara serius menggarap pasar
perempuan dengan Mio-nya. “Dimana pasar perempuan ketika itu belum dilihat
secara serius oleh para pemain (Honda dan Suzuki), bahkan Kymko yang lebih dulu
menawarkan moped (motor otomatis),” kata Prof. Agus. Contoh lain yang cukup
menarik adalah keberhasilan Achilles dan Corsa menembus pasar ban yang selama
ini dikuasai oleh Bridgestone.
Kedua, setelah mengenali perilaku konsumen,
pengelola merek perlu mengenali nilai yang dipentingkan konsumen dalam
mengkonsumsi sebuah produk. Beberapa tahun lalu, Tetley adalah merek kedua di
Inggris. Untuk meningkatkan posisinya, Tetley melakukan riset cara-cara membuat
perbedaan secara fisik pada mereknya.
Riset pemasaran mendapati bahwa para konsumen
menerima kantung teh celup berbntuk bundar karena menghasilkan teh yang dipersepsikan
lebih baik oleh konsumen ketimbang kantung berbentuk persegi seperti yang
selama itu ada. Kesimpulan itu diperoleh dari hasil tes rasa dengan menutup
mata (blind test). Tetley lalu memperkenalkan teh celup kantung bulat itu dan
berhasil menjadi market leader.
Dimana kunci keberhasilannya? Selain bentuknya
fisiknya tadi dan kualitas tehnya, teh celup bundar Tetley sukses karena orang
mudah menguji keunggulan atau kelebihannya dan keunggulannya itu dapat
dikomunikasikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar